Aku sudah bersiap di lobby resort. Lima menit kemudian kulihat Aricha keluar dari kamarnya. Suite Room yang ditempatinya kebetulan terletak di sebelah kanan lobby. Sehingga aku bisa melihatnya keluar kamar dari tempatku saat ini.
Ia terlihat cantik dengan padu padan blouse yukensi neck warna putih berbahan satin, outer hijau tosca, dipadu palazzo pants abu-abu dengan pasmina sifon warna abu-abu. Pouch bag warna pink abu menggantung di pundak kirinya, serta kacamata hitam menempel di kepala.
Sapuan tipis make up pada bagian mata, eye liner hitam memberi kesan lebih besar pada mata sipitnya, eye shadow coklat dan lipstik warna peach membuatnya tampak makin segar.
Kuberikan senyum terbaikku dari tempatku berdiri. Ia membalas senyumanku. Hatiku sangat bahagia dan berbunga-bunga seperti sedang jatuh cinta. Bait lagu-lagu cinta mulai bersenandung di kepalaku. Aku tak peduli jika ia telah punya suami dan dua anak, yang jelas hari ini ia akan bersamaku dan berada di dekatku.
Sembari menunggu Zaenal yang tak kunjung muncul, ia menjelaskan hal-hal yang nanti akan kami komunikasikan dengan Bu Umma. Ia membagi materi apa saja yang ia presentasikan, dan materi apa saja yang aku presentasikan. Karena ini kerja tim, maka ia tak mau terkesan mendominasi. Salah satu sifat yang kusuka darinya sejak dulu.
Seperempat jam kemudian Zaenal datang tergopoh-gopoh dan meminta maaf karena terlambat. Sejak subuh ia bolak-balik ke kamar mandi karena masuk angin. Setelah dikeroki dan minum jamu masuk angin, ia sudah mulai baikan.
Satu jam perjalanan dari resort ke pelabuhan terasa sangat lama. Ia yang duduk di kursi penumpang hanya diam sepanjang perjalanan.
Melalui kaca spion, kuperhatikan pandangan matanya yang selalu mengarah keluar kaca mobil. Memperhatikan deretan tumbuhan bakau di sepanjang jalan. Sedangkan aku duduk di sebelah Zaenal.
Sengaja aku mengambil tempat duduk di sebelah sopir supaya ia nyaman. Karena jika kami duduk di kursi yang sama pasti akan membuatnya tak nyaman dan hal itu bisa menimbulkan kecurigaan Zaenal.
***
Seperti perkiraanku, kami berlarian di pelabuhan supaya tidak ketinggalan kapal. Sampai di pintu pelabuhan, dengan cepat petugas memindai tiket kami dan meminta kami bergegas masuk kapal. Kami berlarian sampai lupa berpamitan pada Zaenal.
Aku juga tidak sadar saat kutarik tangan Aricha supaya berlari lebih cepat menuju kapal. Sampai di pintu kapal, kami baru menyadarinya. Ia melepaskan pegangan tanganku dengan tangan kirinya. Ia tersenyum, getir. Sejak dulu, tak pernah sekalipun ia mau kugandeng meskipun kami hanya berdua saja.
"Maaf, reflek," kataku.
Setelah petugas mengecek tiket, kami dipersilahkan masuk ke ruang VIP penumpang. Seorang petugas perempuan dalam ruang penumpang mempersilakan kami meletakkan tas di depan kursi penumpang paling depan atau di bawah televisi besar kira-kira berukuran lima puluh lima inch.
Saat ia menunduk meletakkan tasnya, kulihat sebuah kalung coklat kehitaman menjuntai di antara kerudungnya. Menyadari aku memperhatikan benda itu, dengan cepat ia menyembunyikannya kembali di balik blousenya. Pandanganku beralih ke tangan kirinya. Sebuah gelang Kokka warna coklat dan gelang cangkang kura-kura berbentuk ular melingkar manis di sana. Aku tersenyum.
Lalu kami mencari kursi nomor sebelas dan dua belas. Kursi itu berada di deret sebelah kanan, persis di samping jendela. Aku mempersilakan ia duduk terlebih dahulu. Ia sudah ingin menolak namun kutunjukkan kembali bahwa tiket atas namanya di kursi nomor dua belas. Ia pun mengalah. Aku kembali tersenyum. Posisi duduk yang membuatnya terpenjara.
Ia masih tak banyak bicara. Ia hanya memandang ke arah luar melalui jendela. Seorang pramusaji kapal menawarkan aneka snack dan minuman.
"Kopi hitam dua. Satu dengan gula, satu tanpa gula," kataku. Aricha menoleh ketika mendengar aku memesan dua gelas kopi hitam.
"Masih minum kopi pahit kan?" tanyaku. Ia mengangguk.
"Masih suka pakai kalung tasbih dan gelang Kokka juga?" tanyaku lagi. Ia meringis.
Aricha sangat menyukai kopi, selain aromanya yang enak alasan lainnya karena pesan gurunya.
"Guru diniyah-ku pernah bilang, selama bau biji kopi masih tercium aromanya di mulut seseorang, maka selama itu pula malaikat akan beristighfar untuknya," katanya saat kutanyakan kenapa ia sangat suka minuman pahit itu.
Begitu pula dengan kalung tasbih maupun gelang Kokka. Ia punya alasan sendiri.
"Aku bukan orang yang bisa duduk lama-lama untuk berzikir. Jadi, tasbih maupun gelang yang kadang-kadang kugunakan untuk berzikir ini biar menempel di badanku, dengan berharap semoga Allah memandangku sebagai orang yang banyak berzikir," lanjutnya kala itu.
Gelang cangkang kura-kura itu sengaja aku pesankan pada Arif, seorang pengrajin dari Pulau Parang. Ia sendiri yang meminta model ular. Ia menyukai filosofi ular. Binatang yang terlihat lemah, melata tanpa kaki dan tangan tetapi menyimpan senjata mematikan.
"Gelang cangkang kura-kuranya masih dipakai juga?" godaku.
Ia tersenyum. Mukanya memerah. Mungkin malu atau marah pada dirinya sendiri.
"Terima kasih. Semua kenanganku masih melekat bersamamu," bisikku.
Aku tak bisa menceritakan bagaimana bahagianya diriku. Melihat tasbih, gelang Kokka, dan gelang cangkang kura-kura pemberianku masih melekat di badannya.
Pramusaji menyerahkan kopi yang kupesan. Satu gelas kuberikan padanya. Pikirku inilah kesempatan untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menggangguku.
"Ning," kataku. Sontak ia menoleh dan melotot padaku.
"Oh ya, Maaf." Aku tahu dia sangat tidak nyaman dengan panggilan itu.
"Setelah kita makan siang di warung padang waktu itu, kamu menghilang ke mana?" tanyaku.
"Menyesali kebodohanku karena telah mencintai dan menerima cintamu. Menyesali kebodohanku karena ternyata tak menyisakan ruang kosong di hatiku untuk orang lain," katanya menerawang, kali ini memandang ke arah televisi yang menayangkan film Alladin, tapi tatapan matanya kosong.
"Menyesali kebodohanku memupuk harapan pada orang yang jelas akan meninggalkanku," lanjutnya lagi.
"Aku tak pernah meninggalkanmu. Justru kamu yang tiba-tiba meninggalkanku." Aku memprotes.
"Aku memintamu untuk tetap bersamaku. Bersama-sama memperjuangkan cinta kita, tapi kamu justru menghilang," lanjutku.
"Aku tak punya kekuatan untuk bertarung melawan Ning-mu, apalagi Abah dan Umi. Lebih baik mundur alon-alon, karena sadar siapa aku," jawabnya. Ada getar dalam suaranya.
"Aku bisa jadi kekuatanmu," kataku sedikit meradang.
"Tahukah kamu, satu hari setelah siang itu, aku mencarimu ke pesantren. Katanya, malam kamu sudah boyong. Lalu aku ke basecamp, teman-teman di sana
tidak ada yang tahu kamu di mana. Nomor ponselmu tak bisa dihubungi. Aku tak tahu di mana rumahmu karena kamu tak pernah izinkan aku kesana," kataku. Dadaku terasa sesak, kenangan itu menghimpitku."Aku mencarimu ke mana-mana seperti orang gila. Aku tanya semua temanmu yang aku kenal, tapi tetap saja kamu tak kutemukan. Kamu seperti hilang ditelan bumi. Seandainya saja waktu itu kamu tidak menghilang begitu saja, cerita kita tak akan seperti ini," ucapku nelangsa.
"Cukup, Gus! Cukup! Tidak ada yang perlu kita sesali. Terima saja takdir kita dengan ikhlas. Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk kita. Sekarang kita punya kehidupan masing-masing." Nada suaranya ditekan, supaya penumpang lain tak mendengarnya.
Ia memegang gelas kopinya semakin erat. Air matanya satu persatu jatuh. Ada luka di matanya. Beberapa kali ia menarik napas berat. Bahunya mulai terguncang.
Suasana terasa hening, meskipun suara televisi menggelegar. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing.
***
Sebuah Fortuner putih telah menunggu kedatangan kami di pelabuhan. Pak Gatot, sopir keluarga Aricha membukakan pintu mobil untuk kami.
"Kita ke RSI dulu, Pak Gatot. Lihat kondisi Avverous," kata Aricha memberi perintah.
"Ya, Mbak," jawab pak Gatot takzim.
"Mas Ave kemungkinan hari ini sudah boleh pulang. Tadi Ibu pesan, habis Asar saya diminta jemput ke RSI," lanjutnya.
"Masuk rumah sakit kapan? Baru tadi malam ‘kan?" tanyaku sedikit heran. Pak Gatot tertawa kecil, memperlihatkan gigi dengan sedikit bekas tar yang menempel.
"Mas Ave masuk rumah sakit sejak Mbak Icha berangkat ke Karimun. Tapi Mbak Icha baru dikabari tadi malam. Ibu tidak mau mengganggu konsentrasi Mbak Icha," jelasnya.
Selama perjalanan, pak Gatot mendominasi pembicaraan. Menceritakan Avverous yang menang juara salawat di masjid, kelucuan Salsabila saat mengikuti maulid Barjanzi di musala, kegiatan abahnya Aricha yang sangat padat di bulan maulid ini.
Hampir tiap malam pak Gatot mengantar beliau memberikan mauidloh hasanah di majelis-majelis maulid, dan kebahagiaannya ketika nderekke Abah, ia ikut mendapatkan ingkung dan satu embor besar nasi.
Setelah perjalanan hampir satu jam, mobil yang dikemudikan Pak Gatot memasuki halaman rumah sakit.
Aricha melewati koridor rumah sakit dengan langkah-langkah panjang, sesekali melewati jalan setapak yang diapit taman rumah sakit menuju bangsal ruang VIP.
Seorang anak laki-laki dengan tangan terinfus, terlihat berbinar ketika pintu kamar dibuka Aricha.
"Mama Ichaaaa," katanya panjang.
Mereka saling berpelukan. Aricha menciumi pipi tembem itu berkali-kali.
"Maafkan Mama Icha ya," katanya dengan mata berkaca-kaca.
"Nggak apa-apa. Mama Icha ‘kan pergi bekerja. Mas Ave sudah ditemani Eyang Uti sama Bulek Aya," katanya polos.
"Bulek Aya bolos kuliah. Sekarang baru nganter Dik Salsa beli ayam goreng. Kemarin Eyang Kung juga nungguin Mas Ave di sini," katanya lagi.
Seorang perempuan, yang aku yakin masa mudanya sangat mirip dengan Aricha, mempersilakanku duduk di sofa yang terletak di ujung ranjang.
"Oh ya, Bu. Ini Gus Nadzim." Aricha memperkenalkanku pada perempuan yang ternyata ibunya. Perempuan itu sedikit terkejut. Mengangguk dan tersenyum kecil. Sedetik kemudian ia telah membawa Aricha keluar kamar.
Kulihat Aricha menganggung-angguk mendengarkan ibunya berbicara. Kemudian ia berbicara dengan gestur sedang meyakinkan ibunya. Bahkan kedua tangannya memegang bahu ibunya dan ia berbicara sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Dari dalam kamar kulihat seorang anak perempuan yang berusia TK, berseragam sekolah batik khas salah satu sekolah khusus perempuan yang terkenal di Kudus, terlihat dari bedge yang menempel di baju, datang dengan membawa tentengan makanan cepat saji bersama seorang perempuan remaja.
"Mama Icha, kapan pulang?" katanya sambil menghambur ke pelukan Aricha.
Aricha membalas pelukan itu dengan hangat. Pipi anak perempuan itu dicium bergantian. Sebaliknya, anak perempuan itu juga mencium Aricha dengan penuh cinta.
Tiba-tiba dadaku terasa sakit menyaksikan adegan-adegan itu.
Ya Allah. Meskipun dalam setiap doaku selalu kumintakan kebahagiaan untuknya, tetapi kenapa hati ini sangat sakit melihatnya bahagia bersama yang lain.
Aricha sudah kembali ke kamar bersama putrinya.
"Mbak Salsa sama Mas Ave salim dulu sama teman Mama Icha," katanya.
Aku beranjak dari tempat dudukku dan menerima uluran tangan-tangan mungil itu.
"Gus Nadzim ini temannya Papa kalian juga lho."
Mendengar kalimat Aricha, tiba-tiba lambungku terasa penuh cairan asam, dadaku panas dan sesak seperti dihimpit batu besar.
***
Kami hampir saja ketinggan kapal. Berlari sepanjang pelabuhan menuju kapal untuk mengejarnya. Tanpa kusadariGusNadzim menggandeng tanganku selama kami berlarian.Aku baru menyadarinya ketika masuk pintu kapal. Sejujurnya, ada hawa aneh yang menentramkan menjalari hati saat ia menggandengku. Namun aku sadar, dia bukan milikku. Maka kukendurkan pegangan tangannya. Ia meminta maaf.Saat kuletakkanpouchbagku di bawah televisi di ruang penumpang, kalung tasbihku menjuntai keluar dan sempat ia perhatikan. Cepat-cepat kumasukkan kembali kalung tasbih itu kedalamblouseku.Ia juga sempat memperhatikan gelang Kokka dan gelang cangkang kura-kura yang masih melingkar di lengan kiriku. Aku merutuki diri.Seorang pramusaji kapal menawarkan aneka snack dan minuman. Ia memesan dua kopi hitam. Kopi hitam manis untuknya dan satu kopi pahit untukku.Ia mulai mempertanyakan ke mana saja aku setelah insi
TatapanGusNadzim yang penuh selidik membuatku urung mengusap layar ponselku untuk menerima panggilan. "Diterima saja," kataGusNadzim. Aku menjadi tidak enak hati. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam. Halo Chacha," kata suara riang dari seberang. Hanya ada satu orang yang memanggilku Chacha, yaitu Yasser Syathibi. Suaranya tambah renyah begitu kusambut sapaannya. "Aku kangen Indonesia. Di sini sepi, tidak ada celotehmu. Tidak ada yang ngomel-ngomel kalau aku menunda salat. Tidak ada yang marah-marah kalau aku tidak ikut Jumatan. Tidak ada yang menyuruhku puasa aneh-aneh." Puasa aneh-aneh yang dimaksud itu puasa-puasa sunah selain puasa Senin dan Kamis. Aku tersenyum. "Aku akan segera balik ke Indonesia. Aku akan melamarmu, membawamu ke sini, dan beranak pinak supaya aku tidak kesepian lagi." Yasser masih mengoceh, namun aku sudah tidak konsen mendengarnya. KulihatGus&nbs
Aku terbangun saat mendengar suara klakson kapal, sebagai pertanda bahwa kapal sebentar lagi bersandar. Cukup lama aku tertidur, hampir satu jam. Aku sedikit menggerakkan badan, menghilangkan penat di badan karena duduk cukup lama. Aku tak begitu mempedulikanGusNadzim yang duduk di sebelahku. Hatiku masih terluka karena kata-katanya beberapa waktu lalu. Sekali lagi kutegaskan pada otak dan hatiku jika pria yang saat ini duduk di sebelahku hanyalahpartnerkerja. Setiap orang punya masa lalu, tapi ia harus tetap hidup menjalani hari-harinya. Masih harus tetap merajut mimpi dan harapan. Meskipun selama lima tahun ini aku tak mampu melakukan itu. Mulai hari ini aku bertekad harus bisa meninggalkan bayangannya sebagai masa laluku. Aku tak perlu lagi mengkhawatirkan kebahagiaannya, ataupun keadaannya. Aku bukan siapa-siapanya. Aku meninggalkan kursi penumpang lebih dulu. Keluar menuju tempat parkir pelabuhan. Alfan dan Zaenal sudah m
Rofiq dan Nisa sudah menunggu kedatangan kami di pinturesort. Sebuah kursi roda sudah dipersiapkan untukku. Aku memprotesGusNadzim melalui tatapan mataku. "Sudah tidak usah protes. Ini standar pelayananresortkami. Kursi roda ini memang dipersiapkan untuk tamu-tamu berkebutuhan khusus." "Tapi aku tidak berkebutuhan khusus," protesku. "Biasanya, iya. Saat ini, kamu berkebutuhan khusus. Sudah jangan rewel!" katanya lembut namun tegas. Aku akhirnya mengalah. Duduk di kursi roda seperti orang tak berdaya. Sebenarnya ada kebahagiaan tersendiri karenaGusNadzim yang mendorong kursi rodaku menuju ke kamar tempatku menginap. Zaenal, Arfan, Rofiq, dan Nisa berjalan mengikutinya dari belakang. Sesampainya di depan pintu kamar, seorang pelayanresortmenemuiGusNadzim. Beberapa saat mereka berbisik. Sebentar kemudian pelayan itu kembali undur diri. "Nisa
"Adiba," katanya sambil menjabat tanganku. "Aricha." Ning Adiba sedikit kaget mendengar aku menyebutkan namaku. "NingIcha?" tanyanya. Aku mengangguk lesu. "KokNingIcha lebih cantik dari yang duluGus eceritakan?" Kaget mendengar ucapanNingAdiba, spontan aku mendongak ke arahGusNadzim, ia tersenyum sambil memainkan anak rambutGusFatih. "Kemarin waktu ketemu, aku juga kaget. Dulu, dia aktifis yang sering lupa mandi dan tidak pernah sempat pakai bedak," kataGusNadzim. Mereka berdua tersenyum. Merasa jadi olok-olokan mereka berdua, maka aku pun pamit undur diri. "Maaf, saya ke kamar dulu," pamitku. Adlina yang tidak memahami situasinya terlihat bingung. "Biar Adlina saja yang mengantarku," kataku saatGusNadzim bersiap mendorong kursi rodaku. "Nisa tidak perlu menemaniku. Adlina akan tidur di kamarku," lanjutku.
GusNadzim,NingAdiba, danGusFatih sampai di area parkir mobil setelah lebih dari seperempat jam kami menunggu.NingAdiba terlihat sangat cantik dengan baju tunik panjang warna coklat kopi dengan celana bahan warna hitam serta kerudung senada warna baju. SementaraGusNadzim juga terlihat sangat tampan dengankosekylinhitam danmansetpendek warna hitam dibalut cardigan kesayangannya. Benar-benar pasangan yang serasi, batinku. NingAdiba selalu menyapaku ramah. Tidak ada ekspresi kebencian ataupun kecemburuan di raut mukanya. Padahal jika menilik dari kata-katanya saat pertama kali bertemu,GusNadzim sudah banyak menceritakan tentang diriku padanya. Sikap manisNingAdiba justru semakin menyesakkan dada. Aku membuang napas cukup keras untuk sekedar melonggarkan himpitan di rongga dada. Adlina menoleh padaku, matanya penuh selidik. Aku terse
SaatGusNadzim masuk ruang praktek Dokter Guntur untuk menemaniNingAdiba, aku pamit pada Adlina untuk sekedar mencari udara segar di sekitar alun-alun dan memintanya untuk tidak menungguku. Sebuahcafekecil di salah satu ujung jalan yang mengarah ke alun-alun cukup menarik hatiku. Suasana rindang dari sulurmillion heartsmenghadirkan suasana kesejukan desa yang damai membawa kakiku memasukicafeitu. Daun yang kaku dan tebal serta berbentuk hati itu menempel pada rancangan kawat membentuk pagar menggantung di bawah atapcafe. Tanaman Terang Bulan dengan corak warna daun hijau muda yang lembut menyambutku di kiri kanan pintu masukcafe. Sementara di sudut-sudutcafe, dinding dalam maupun luarcafejuga banyak tergantung berbagai jenis tanaman sulur yang tertata sangatapik.Dischidia Gerimenjun
Sebuah suara yang sangat kukenal membuatku dan Adlina melepaskan pelukan kami. Seorang laki-laki yang tidak kalah ganteng dengan Chicco Jerikho telah berdiri di hadapanku. Ia tersenyum memperlihatkan gigi putih dan lesung pipitnya. "Yasser?" pekikku. "Bagaimana kamu tahu kalau aku menginap diresortini?" tanyaku heran. Sementara yang ditanya hanya cengar-cengir. Ia kemudian duduk tanpa menunggu kupersilakan. "Karimunjawa itu sempit,Say. Cari kamu di sini sangat mudah. Tidak usah heran," katanya. Tangannya kemudian melambai, dan tidak berapa lama seorang pramusaji datang mencatat pesanannya. "Siapa lagi, Cha?" tanya Adlina. Matanya membola. Aku meringis. "Oh ya. Kenalkan, Ini Adlina. Sepupu sekaligus sahabat terbaikku." Aku memperkenalkan Adlina pada Yasser, begitu juga sebaliknya. "Ini Yasser, temanku selama kuliah magister di Jogja." "Sekaligus keranjang sampahnya," selanya. Aku sudah