Gus Nadzim, Ning Adiba, dan Gus Fatih sampai di area parkir mobil setelah lebih dari seperempat jam kami menunggu. Ning
Adiba terlihat sangat cantik dengan baju tunik panjang warna coklat kopi dengan celana bahan warna hitam serta kerudung senada warna baju. Sementara Gus Nadzim juga terlihat sangat tampan dengan kosekylin hitam dan manset pendek warna hitam dibalut cardigan kesayangannya. Benar-benar pasangan yang serasi, batinku.Ning Adiba selalu menyapaku ramah. Tidak ada ekspresi kebencian ataupun kecemburuan di raut mukanya. Padahal jika menilik dari kata-katanya saat pertama kali bertemu, Gus Nadzim sudah banyak menceritakan tentang diriku padanya. Sikap manis Ning Adiba justru semakin menyesakkan dada.
Aku membuang napas cukup keras untuk sekedar melonggarkan himpitan di rongga dada. Adlina menoleh padaku, matanya penuh selidik. Aku terse
SaatGusNadzim masuk ruang praktek Dokter Guntur untuk menemaniNingAdiba, aku pamit pada Adlina untuk sekedar mencari udara segar di sekitar alun-alun dan memintanya untuk tidak menungguku. Sebuahcafekecil di salah satu ujung jalan yang mengarah ke alun-alun cukup menarik hatiku. Suasana rindang dari sulurmillion heartsmenghadirkan suasana kesejukan desa yang damai membawa kakiku memasukicafeitu. Daun yang kaku dan tebal serta berbentuk hati itu menempel pada rancangan kawat membentuk pagar menggantung di bawah atapcafe. Tanaman Terang Bulan dengan corak warna daun hijau muda yang lembut menyambutku di kiri kanan pintu masukcafe. Sementara di sudut-sudutcafe, dinding dalam maupun luarcafejuga banyak tergantung berbagai jenis tanaman sulur yang tertata sangatapik.Dischidia Gerimenjun
Sebuah suara yang sangat kukenal membuatku dan Adlina melepaskan pelukan kami. Seorang laki-laki yang tidak kalah ganteng dengan Chicco Jerikho telah berdiri di hadapanku. Ia tersenyum memperlihatkan gigi putih dan lesung pipitnya. "Yasser?" pekikku. "Bagaimana kamu tahu kalau aku menginap diresortini?" tanyaku heran. Sementara yang ditanya hanya cengar-cengir. Ia kemudian duduk tanpa menunggu kupersilakan. "Karimunjawa itu sempit,Say. Cari kamu di sini sangat mudah. Tidak usah heran," katanya. Tangannya kemudian melambai, dan tidak berapa lama seorang pramusaji datang mencatat pesanannya. "Siapa lagi, Cha?" tanya Adlina. Matanya membola. Aku meringis. "Oh ya. Kenalkan, Ini Adlina. Sepupu sekaligus sahabat terbaikku." Aku memperkenalkan Adlina pada Yasser, begitu juga sebaliknya. "Ini Yasser, temanku selama kuliah magister di Jogja." "Sekaligus keranjang sampahnya," selanya. Aku sudah
Rony memberitahuku jikaGusThoha sudah menungguku di Gazebo dekat musala. Setelah memastikan kenyamanan Aricha malam ini, aku menemuiGusThoha. GusThoha adalah salah satu teman sekaligus seniorku sewaktunyantridi Kudus. Dulu ia sangat terkenalmbeling.Tapi saat itu aku lebih suka menyebutnyaJadzab. Aku berkeyakinan suatu saat ia pasti akan kembali ke jalan perjuangan yang sudah dirintis kakek buyutnya. Ia masih keturunan salah satu kyai besar di salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Kami berpisah sejakGusThoha lulus madrasah aliyah, lalu tiba-tiba datang menemuiku setelah bermimpi mati dan disiksa dalam kubur. Dalam mimpinya, ia bertemu kakeknya yang memintanya datang ke pesantren kami. Sejak saat itu, ia curahkan seluruh hidupnya untuk pesantren kami, dan oleh Abah ia diminta mengelola pesantren yang di Karimunjawa bersamaku. "Assalamu'alaikum,
Rasanya tidak percaya dengan apa yang kulihat. Aricha yang kukenal lugu ternyata fasih bernyanyi. Kurasa tidak hanya itu, dari gaya dan ekspresinya saat menyanyikan lagu-lagu itu terlihat bahwa ia seperti sudah terbiasa. Aku merasa benar-benar sudah tidak mengenalnya. Sepertinya aku pernah melihat wajah lelaki yang menemaninya bernyanyi itu, tapi di mana? Aku memutar kembali memori otakku, berusaha mengingat seraut wajah yang kurasa tidak asing di mataku. Oh ya, aku ingat. Laki-laki itu yang menelfonnya ketika kami di kapal. Apa karena lelaki itu, ia menjadi seperti sekarang ini? Rasa cemburu dan marah seketika bercampur aduk, menyesaki ruang dadaku. Udara menjadi terasa sangat panas. Kuambil ponsel dari saku celanaku. Kupencet nomor Zaenal darilogpanggilan. "Assalamu'alaikum," kata Zaenal dari seberang. "Wa'alaikumussalam. Batalkan kerjasama dengan EO Aricha. Bayarkan komp
PertanyaanGusNadzim benar-benar mengagetkanku. Jantungku terasa berhenti berdetak dalam beberapa detik. Aliran darah ke otakku pun terasa terhenti, sehingga dalam beberapa detik otakku tidak mampu bekerja dengan baik. "Apapun, asal tidak jadi madu istrimu," kataku sekenanya. Ia tersenyum. "Ternyata kamu bukan negosiator yang baik. Masihblindsudah setuju saja," ledeknya. "Lalu apa persyaratannya?" tanyaku tidak sabar. "Hem. Kupikir-pikir dulu." Aku merasa ia mulai mempermainkanku. "Seriuslah,Gus!" kataku mulai jengah. "Santai, tidak perlu marah-marah," katanya sambil menyunggingkan senyum yang benar-benar membuat jantungku memompa lebih cepat. Kulihat Yasser berjalan mendekat ke arah kami. Ia masih asyik dengan percakapannya denganGusFaqih. "Bagaimana, Gus?" desakku kembali. "Nanti kupikir-pikir dulu. Yang penting kamu sudah setuju," ka
Setelah berpamitan denganNingAdiba danGusFaqih, kami menuju ke arah Pak Gatot yang sudah menunggu kedatangan kami. "Langsung ke kampus, ya Pak!" ucapku. Pak Gatot mengiyakan dengan anggukan. Ada kebingungan tergambar di wajahnya. Aku memahaminya. Seminggu yang laluGusNadzim kuperkenalkan padanya, dan hari ini Yasser. "Oh ya. Kenalkan, ini Gus Yasser. Dia teman kuliahku di Jogja." Kedua lelaki itu pun saling berjabat tangan. "Selama aku rapat nanti, tolong Pak Gatot temaniGusYasser jalan-jalan." Yasser langsung melotot yang kusambut dengan senyuman. "Siap, Mbak." Selesai rapat perwalian, aku dan Yasser ziarah ke makam Sunan Kudus dilanjutkan ke makam Kyai Haji Arwani Amin, kyai Kudus yang sangat terkenal alim dantawadu'. Santri tahfidznya tersebar di seantero jagat Nusantara. Bahkan kitabQiro'ah Sab'ahkarangan beliau sangat terkenal di dunia. Selesai zia
Seorang perempuan anggun dengan sisa-sisa kecantikan masa mudanya telah berdiri di belakangku. Setelah berputar mengikuti arah suaranya, kini aku telah berhadapan dengannya. Seorang perempuan cantik dengan bibir tipis, berwajah tirus, dan mengenakan gamis coklat dengan tunik rajut di ujung gamis dan ujung lengan berdiri di samping ibu yang dipanggil Umi olehGusNadzim. "Maaf, Umi. Kenapa tidak menghubungiku dulu?" ujarGusNadzim. Ia bergerak maju dan mengambil tangan Uminya, lalu dibawa ke ujung mulutnya. Sebagaimana adat ketimuran, aku pun mengulurkan tangan, lalu mencium tangan beliau. Karena bagaimana pun, aku telah berdiri di sana bersama putra beliau. Kusalami juga perempuan cantik itu. "GusFatih apa tidak menghubungimu?" GusNadzim mengambil ponsel dari sakujeansnya. Sedetik kemudian matanya telah sibuk menekuri layar ponselnya. "Allah Karim. Maaf, Umi. Aku tadi sibuk sekal
Sebuah pengakuan dariGusNadzim benar-benar mengagetkanku, bagaikan petir menyambarku di siang bolong yang cerah. "NingAdiba bukan Istriku. Aku masih menunggumu sampai kapan pun." Aku tergagap. Tubuhku membeku sebelum memutar ke arahnya. Ia memandangku tajam. Seandainya tidak ada norma yang tidak boleh kulampaui, aku ingin sekali menghambur memeluknya. Membenamkan kepalaku di dadanya, dan menumpahkan seluruh rinduku padanya selama ini. Sekelebat bayangan Umi melintas di pikiranku. Aku memejamkan mata, menahan sesuatu yang tiba-tiba menyesak di dada. "Bukan urusanku,Gus. Aku tidak mau masuk lebih dalam di kehidupanmu. Cukup sekali aku merasakan kehilangan yang sangat menyakitkan. Cukup sekali hidupku porak-poranda karena mencintaimu." Suaraku bergetar menahan tangis yang sebentar lagi pecah. Sebuah mobil Avanza hitam yang kupesan menghampiri, menjadi penyelamatku. Segera kuraihhandlepintu mobil ketika