Rony memberitahuku jika Gus Thoha sudah menungguku di Gazebo dekat musala. Setelah memastikan kenyamanan Aricha malam ini, aku menemui Gus Thoha.
Gus Thoha adalah salah satu teman sekaligus seniorku sewaktu nyantri di Kudus. Dulu ia sangat terkenal mbeling. Tapi saat itu aku lebih suka menyebutnya Jadzab. Aku berkeyakinan suatu saat ia pasti akan kembali ke jalan perjuangan yang sudah dirintis kakek buyutnya. Ia masih keturunan salah satu kyai besar di salah satu kabupaten di Jawa Tengah.
Kami berpisah sejak Gus
Thoha lulus madrasah aliyah, lalu tiba-tiba datang menemuiku setelah bermimpi mati dan disiksa dalam kubur. Dalam mimpinya, ia bertemu kakeknya yang memintanya datang ke pesantren kami. Sejak saat itu, ia curahkan seluruh hidupnya untuk pesantren kami, dan oleh Abah ia diminta mengelola pesantren yang di Karimunjawa bersamaku."Assalamu'alaikum, <
Rasanya tidak percaya dengan apa yang kulihat. Aricha yang kukenal lugu ternyata fasih bernyanyi. Kurasa tidak hanya itu, dari gaya dan ekspresinya saat menyanyikan lagu-lagu itu terlihat bahwa ia seperti sudah terbiasa. Aku merasa benar-benar sudah tidak mengenalnya. Sepertinya aku pernah melihat wajah lelaki yang menemaninya bernyanyi itu, tapi di mana? Aku memutar kembali memori otakku, berusaha mengingat seraut wajah yang kurasa tidak asing di mataku. Oh ya, aku ingat. Laki-laki itu yang menelfonnya ketika kami di kapal. Apa karena lelaki itu, ia menjadi seperti sekarang ini? Rasa cemburu dan marah seketika bercampur aduk, menyesaki ruang dadaku. Udara menjadi terasa sangat panas. Kuambil ponsel dari saku celanaku. Kupencet nomor Zaenal darilogpanggilan. "Assalamu'alaikum," kata Zaenal dari seberang. "Wa'alaikumussalam. Batalkan kerjasama dengan EO Aricha. Bayarkan komp
PertanyaanGusNadzim benar-benar mengagetkanku. Jantungku terasa berhenti berdetak dalam beberapa detik. Aliran darah ke otakku pun terasa terhenti, sehingga dalam beberapa detik otakku tidak mampu bekerja dengan baik. "Apapun, asal tidak jadi madu istrimu," kataku sekenanya. Ia tersenyum. "Ternyata kamu bukan negosiator yang baik. Masihblindsudah setuju saja," ledeknya. "Lalu apa persyaratannya?" tanyaku tidak sabar. "Hem. Kupikir-pikir dulu." Aku merasa ia mulai mempermainkanku. "Seriuslah,Gus!" kataku mulai jengah. "Santai, tidak perlu marah-marah," katanya sambil menyunggingkan senyum yang benar-benar membuat jantungku memompa lebih cepat. Kulihat Yasser berjalan mendekat ke arah kami. Ia masih asyik dengan percakapannya denganGusFaqih. "Bagaimana, Gus?" desakku kembali. "Nanti kupikir-pikir dulu. Yang penting kamu sudah setuju," ka
Setelah berpamitan denganNingAdiba danGusFaqih, kami menuju ke arah Pak Gatot yang sudah menunggu kedatangan kami. "Langsung ke kampus, ya Pak!" ucapku. Pak Gatot mengiyakan dengan anggukan. Ada kebingungan tergambar di wajahnya. Aku memahaminya. Seminggu yang laluGusNadzim kuperkenalkan padanya, dan hari ini Yasser. "Oh ya. Kenalkan, ini Gus Yasser. Dia teman kuliahku di Jogja." Kedua lelaki itu pun saling berjabat tangan. "Selama aku rapat nanti, tolong Pak Gatot temaniGusYasser jalan-jalan." Yasser langsung melotot yang kusambut dengan senyuman. "Siap, Mbak." Selesai rapat perwalian, aku dan Yasser ziarah ke makam Sunan Kudus dilanjutkan ke makam Kyai Haji Arwani Amin, kyai Kudus yang sangat terkenal alim dantawadu'. Santri tahfidznya tersebar di seantero jagat Nusantara. Bahkan kitabQiro'ah Sab'ahkarangan beliau sangat terkenal di dunia. Selesai zia
Seorang perempuan anggun dengan sisa-sisa kecantikan masa mudanya telah berdiri di belakangku. Setelah berputar mengikuti arah suaranya, kini aku telah berhadapan dengannya. Seorang perempuan cantik dengan bibir tipis, berwajah tirus, dan mengenakan gamis coklat dengan tunik rajut di ujung gamis dan ujung lengan berdiri di samping ibu yang dipanggil Umi olehGusNadzim. "Maaf, Umi. Kenapa tidak menghubungiku dulu?" ujarGusNadzim. Ia bergerak maju dan mengambil tangan Uminya, lalu dibawa ke ujung mulutnya. Sebagaimana adat ketimuran, aku pun mengulurkan tangan, lalu mencium tangan beliau. Karena bagaimana pun, aku telah berdiri di sana bersama putra beliau. Kusalami juga perempuan cantik itu. "GusFatih apa tidak menghubungimu?" GusNadzim mengambil ponsel dari sakujeansnya. Sedetik kemudian matanya telah sibuk menekuri layar ponselnya. "Allah Karim. Maaf, Umi. Aku tadi sibuk sekal
Sebuah pengakuan dariGusNadzim benar-benar mengagetkanku, bagaikan petir menyambarku di siang bolong yang cerah. "NingAdiba bukan Istriku. Aku masih menunggumu sampai kapan pun." Aku tergagap. Tubuhku membeku sebelum memutar ke arahnya. Ia memandangku tajam. Seandainya tidak ada norma yang tidak boleh kulampaui, aku ingin sekali menghambur memeluknya. Membenamkan kepalaku di dadanya, dan menumpahkan seluruh rinduku padanya selama ini. Sekelebat bayangan Umi melintas di pikiranku. Aku memejamkan mata, menahan sesuatu yang tiba-tiba menyesak di dada. "Bukan urusanku,Gus. Aku tidak mau masuk lebih dalam di kehidupanmu. Cukup sekali aku merasakan kehilangan yang sangat menyakitkan. Cukup sekali hidupku porak-poranda karena mencintaimu." Suaraku bergetar menahan tangis yang sebentar lagi pecah. Sebuah mobil Avanza hitam yang kupesan menghampiri, menjadi penyelamatku. Segera kuraihhandlepintu mobil ketika
Anganku melompat ke masa lima tahun yang lalu "Menikahlah denganku,Ning!" kata Gus Nadzim tiba-tiba. Mataku membelalak. Ada getar aneh menyusup ke dada, menjalar ke syaraf otak dan menimbulkam rasa bahagia. Aku tersenyum tipis dari tempatku duduk. Hatiku terasa sangat ringan. Udara yang kuhirup terasa hangat di paru-paruku, meskipun hawa dingin di sekitar Makam Syaikh Hasan Munadi Nyatnyono menembus kain parasit jaketku dan menusuk sampai ke tulang. Sementara pemandangan kerlap kerlip lampu perkampungan penduduk terlihat seperti hamparan permadani hitam bertabur berlian. "Kuliahku belum selesai,Gus. Kamu tahu bagaimana perjuanganku bisa sampai pada tahap ini. Meskipun aku sangat mencintaimu, aku tetap lebih mencintai diriku sendiri." kataku terkekeh. Ia memasang muka cemberut. "Bukan sekarang,Ning. Aku akan menunggumu selesai wisuda. Aku juga tidak mau punya istritulalit." godanya. GusNadzim
Selepas sore di Ujung Gelam itu, aku mencoba mengabaikan Ning Zahira dan mulai berdamai denganGusNadzim. Kuputuskan untuk menunda kepulanganku hingga monitoring kementerian selesai. Kebetulan perkuliahan baru akan dimulai dua minggu ke depan, dan urusan EO semua bisa diatasi pegawaiku di kantor dengan komando Adlina. Hari ini, tim pendampingan koperasi dan KUB mendatangi satu per satu anggota KUB. Melihat proses produksi, pengemasan, data sirkulasi, data outlet, dan pembukuan yang mereka buat. Semua yang tersapu oleh mataku sudah kutuangkan dalam buku catatan. Mbak Siti, Mbak Sri, dan ibu-ibu yang lain sangat senang ketika kami sampai di rumah mereka. Ada beberapa rumah panggung khas suku Bugis yang tersebar di antara rumah-rumah khas Jawa. Tiap rumah yang kita singgahi memberikan suguhan, sampai perut kami terasa penuh. Mbak Sri memenuhi janjinya, menyuguhiku tongkol bakar sambal korek lombok setan siram klentik. Perutku sudah sangat pen
Kulihat Umi sedang menenangkanNingZahira yang tengah tersedu. Aku tidak mau ambil pusing, maka langkahku tak terhenti ketika melintasi mereka. "Gus." Suara Umi memanggilku. Terpaksa kuhentikan langkahku, lalu memutar badan sembilan puluh derajat. "Ya, Mi. Ada apa?" tanyaku. "Bilang sama Aricha, jangan suka mengata-ngatai orang." Umi sedikit melotot ke arahku. Aku kembali memutar badanku sampai menghadap ke arah Umi. "Icha mengata-ngataiNingZahira? Apa tidak salah? Setahuku, Icha sedang menyelesaikan proposalnya di ruang tamu pesantren sendirian." Aku sangat mengenal Icha. Dia bukan tipe penyerang. Dia baru akan menyerang ketika benar-benar tidak mungkin bertahan. "Ketemu Icha di mana? Kamu menemuinya diam-diam di ruang tamu?" Aku mendelik padaNingZahira. "Gus, jaga bicaramu.NingZahira ini calon istrimu." Suara Umi meninggi. Dari awal kedatangannya, aku sudah menduga jika dia dipersiapkan