Share

11. SEBUAH RAHASIA

Seorang Laki-laki bersetelan jas casual dengan gayanya yang terlihat maskulin, berjalan menuju sebuah kawasan kumuh di pinggir pelabuhan.

Dia sangat hati-hati dalam melangkah, seolah takut sepatu hitam mengkilatnya kotor terkena lumpur. Sebab sepatu ini dia beli dengan harga yang cukup mahal dan baru dia pakai satu minggu belakangan ini.

Langkah kaki laki-laki itu terhenti tepat di sebuah pemukiman yang menurutnya sama sekali tak layak dihuni oleh manusia. Selain tempatnya yang kotor, pemukiman itu seolah kelebihan muatan.

Penghuninya banyak, sedang lahan yang mereka huni sangat pas-pasan. Jadilah mereka terlihat seperti hewan ternak yang hidup dalam satu kandang. Pasti tidur pun mereka harus terpaksa saling berdesak-desakan.

Laki-laki itu menghela napas berat. Dia jadi tak bisa membayangkan jika dirinya berada di posisi Samudra sekarang, sudah pasti dia tidak akan sanggup.

"Permisi Bang, saya ada perlu dengan Samudra, orangnya ada?" tanya laki-laki itu pada salah satu penghuni yang sedang bermain catur di luar.

"Kayaknya ada di dalem, masuk aja," jawab Bang Tohir. Bang Tohir memberikan isyarat melalui gerakan kepalanya kepada laki-laki tampan di hadapannya saat ini. Dari penampilannya sih, terlihat seperti bukan orang sembarangan. Pikir Bang Tohir dalam hati.

Laki-laki itu pun mengikuti perintah Bang Tohir. Dia melangkah masuk ke dalam petakan pemukiman itu di mana bangunannya berbahan dasar kayu dan papan yang ditambal secara acak. Seperti rumah-rumahan mainan.

Maklum, ini adalah pemukiman sementara para kuli bangunan yang kini mengerjakan proyek Muara Baru dan Samudra ikut nimbrung menumpang di sini sementara waktu sebagai imbalan karena Samudra seringkali membantu para pekerja itu menyelesaikan pekerjaan mereka bahkan tanpa Samudra meminta bayaran.

Jadilah, Samudra diterima dengan hati lapang oleh para penghuni di pemukiman sementara itu.

Samudra baru saja selesai mandi. Dia keluar dalam keadaan bertelanjang dada dengan handuk yang tersampir di bahunya. Langkah Samudra terhenti saat dia melihat laki-laki yang kini berdiri di depan pintu kamar mandi.

Dia Gara.

Asisten Pribadi sang Papa yang sudah Samudra anggap seperti sahabatnya sendiri.

*****

"Tuan Adipati masuk rumah sakit, Sam," ucap Gara saat dirinya kini duduk di atas kap mobil BMW silvernya. Dia duduk bersebelahan dengan Samudra.

Samudra tidak bereaksi. Dia diam dalam posisi duduknya yang setengah bersandar di atas kap mobil. Kepalanya menunduk menatap ujung jari kakinya yang beralas sandal jepit.

"Kayaknya, dia kangen sama lo, Sam..." ucap Gara lagi. Dia menoleh sedikit ke arah Samudra. Lalu kembali memandang lurus ke depan.

Sejauh ini, Samudra masih tetap diam. Hingga akhirnya Gara mengesah berat, dengan tatapannya yang kembali beralih ke arah Samudra. Bicara dengan Samudra memang harus memiliki kesabaran ekstra, pikir Gara.

"Sam, pulanglah. Udah hampir lima tahun lo ninggalin rumah dan sekarang udah saatnya lo mulai pikirin masa depan lo," ucap Gara memberi wejangan. "Kehidupan lo nggak seharusnya stak di sini cuma gara-gara masalah perempuan kan? Perusahaan butuh seorang pemimpin. Sejak Tuan Adipati sakit, jujur, gue merasa was-was sama keadaan perusahaan. Apalagi sejak Senja menikah sama Alden, sikap Senja jadi berubah, Sam. Adik lo sepertinya udah mulai kena hasutan Alden?"

"Kan masih ada Jingga sama Mutiara, suruh mereka urus perusahaan, kenapa harus gue?" potong Samudra tiba-tiba.

Gara lagi-lagi mengesah. Akhirnya Samudra bersuara juga. Bisik batin laki-laki berusia 35 tahun itu.

"Mereka itu perempuan, tugas mereka bukan di kantor tapi di rumah. Jingga itu berhijab, dia sebentar lagi menikah sama anak seorang Kiayi, mustahil dia bakal diijinkan mengurus perusahaan sama keluarga suaminya. Sementara Mutiara, kuliah aja dia belum lulus, gimana bisa dia mengurus perusahaan? Lo itu satu-satunya harapan Tuan Adipati untuk mengurus perusahaan. Come on, Sam, wake up! Hidup lo masih panjang, perempuan masih banyak Bro."

"Tapi yang seperti Aisha nggak ada lagi, Gar, dan gue cuma mau Aisha! Bukan yang lain!" Tegas Samudra dengan suaranya yang sangat pelan dan sedikit bergetar.

"Sam," Kata Gara, disentuhnya bahu Samudra pelan. "Aisha udah meninggal. Semua ini takdir yang udah diatur sama yang Maha Kuasa. Udah waktunya lo move on, Sam! Apa perlu gue bantuin lo cariin cewek supaya lo bisa move on?" Gara mengerling genit pada Samudra yang masih saja memasang wajah datar. Tanpa senyum.

"Kenapa nggak lo aja yang nikah? Umur lo kan lebih tua dari gue?"

Skak Mat!

Gara berdehem. Dia menjauhkan posisi duduknya dari Samudra yang baru saja menyudutkan dirinya lagi, hanya karena Gara yang belum juga menikah hingga detik ini.

"Niat gue ke sini buat bahas hidup lo! Bukan hidup gue, oke?" balas Gara cepat sebelum anak majikannya itu semakin memojokkan dirinya.

Samudra mengesah berat. Dia berdiri dan hendak pergi.

Membahas dirinya? Cih!

Bahkan Samudra merasa hidupnya kini sudah tak berharga, jadi tak ada lagi yang perlu dibahas. Apalagi jika harus disangkut pautkan dengan masalah Adipati Atlanta, laki-laki kejam yang tak berperikemanusiaan itu. Sungguh, Samudra tidak sudi!

"Eh, lo mau kemana, Sam? Gue belum selesai ngomong?" panggil Gara saat dilihatnya Samudra yang mulai melangkah meninggalkannya. Gara pun mengekor langkah Samudra, dia menahan bahu Samudra supaya langkah kaki Samudra terhenti. "Sam, tunggu, Sam! Tuan Adipati butuh lo, Sam!"

Samudra menepis tangan Gara dari bahunya tanpa berbalik, hingga akhirnya Gara yang mengambil posisi cepat dengan menghadang Samudra di depan.

"Sam, gue tau apa yang udah dilakukan Tuan Adipati sama lo memang keterlaluan. Tapi yang gue tau, sebenernya Tuan Adipati itu sayang banget sama lo. Nggak jarang gue itu mergokin beliau nangis sambil pandangin foto lo."

Samudra menghentikan langkahnya. Menatap tajam wajah Gara. "Kalau dia sayang gue, dia nggak akan menjebloskan gue ke penjara, padahal dia tahu gue nggak mencuri!" Tegas Samudra dengan suaranya yang melengking nyaring. Dalam sekejap kelopak mata Samudra berkaca-kaca. "Kalau aja gue nggak dipenjara waktu itu, Aisha nggak akan meninggal di rumah sakit, karena gagal operasi, Gar! Lo nggak taukan gimana hancurnya hati gue di saat istri gue meninggal, gue bahkan nggak bisa melihat jasadnya. Sampai dua bulan yang lalu, gue akhirnya bebas, gue bahkan nggak tahu di mana makam Aisha sekarang!" Satu titik air mata Samudra menetes bersamaan dengan tubuhnya yang jatuh terduduk di sebuah tumpukan bebatuan. Samudra meremas kepalanya yang seketika nyeri. "Padahal waktu itu, Aisha sedang hamil... Dia sedang hamil anak gue... Gar..."

Gara menatap prihatin sosok Samudra yang kini larut dalam tangisannya. Lelaki itu perlahan menghampiri Samudra dan menyentuh bahu Samudra yang berguncang karena tangis.

"Kalau lo nggak mau pulang karena Tuan Adipati, seenggaknya, lo bisa pulang untuk menengok Nyokap lo, Sam. Sejak lo pergi, Nyonya Talia seakan kehilangan senyuman bahagianya. Pulang ya, Sam? Pleaseee, demi nyokap lo," pada akhirnya, Gara pun terpaksa memohon pada Samudra.

Samudra masih diam dengan segala pikirannya yang berkecamuk. Kekecewaannya terhadap perilaku kejam sang Papa selama ini jelas tak akan pernah bisa terlupakan. Lantas, apa harus kini Samudra kembali ke rumah itu? Mengurus perusahaan itu? Di saat hidupnya sendiri telah hancur berantakan karena ulah Adipati.

Tidak! Samudra tidak bisa.

"Gue nggak bisa, Gar. Hidup gue ya begini sekarang. Gue nggak tertarik dengan harta Papa bahkan sepeser pun! Nggak ada lagi hal yang bisa gue jadikan alasan untuk memperjuangkan masa depan sekarang! Jadi lebih baik lo pergi dan nggak usah cari-cari gue lagi! Kalau perlu, lo anggap aja, Samudra sahabat lo, udah mati!"

Samudra pergi meninggalkan Gara, dengan kemelut dalam dirinya.

Dengan memendam sakit di hatinya.

Kebenciannya pada Adipati seolah mengakar kuat di dalam dirinya dan mencengkram dasar relung-relung jiwanya yang kosong dan hampa.

Samudra kini tak memiliki tujuan dan harapan apapun dalam hidupnya selain menunggu, kapan ajal menghampiri dirinya.

Karena baginya, hanya satu hal itu yang bisa mempertemukannya kembali dengan Aisha dan calon anak mereka.

Yaitu, kematian.

*****

"Jadi bagaimana Gara? Apa Samudra bersedia diajak pulang?" Tanya seorang lelaki paruh baya yang sedang terduduk di sofa ruang tamu besar di kediamannya.

"Maaf Tuan, saya sudah menemui Samudra beberapa kali dan membujuknya agar lekas pulang ke rumah, tapi Samudra tetap menolak. Bahkan terakhir, Saya sampai harus membohonginya dengan mengatakan bahwa Tuan dan Nyonya Sakit, tapi tetap saja Samudra tidak mau pulang, Tuan," beritahu Gara pada sang majikan.

Lelaki paruh baya itu menganggukkan kepala. Dia menghembuskan asap rokoknya ke atas dan bangkit dari Sofa.

"Sepertinya, Samudra memang sudah tak mau lagi bertemu denganku. Bahkan mungkin, jika dia tahu aku mati pun, aku tak yakin dia akan datang untuk melihat mayatku, jadi biarkan saja Gara. Awasi saja Samudra, dan pastikan dia tidak kekurangan apa pun," ucap Adipati sebelum pergi dari hadapan Gara.

"Tuan," panggil Gara setelahnya.

Adipati kembali menoleh.

"Maafkan saya," ucap Gara saat itu. Kepala lelaki itu tertunduk dalam.

Adipati tersenyum pahit. "Kamu tidak bersalah Gara. Semua yang terjadi pada Samudra itu salahku. Aku yang sudah menghancurkan hidup Samudra dengan menyuruhmu membunuh Aisha. Tidak ada yang perlu disesali karena semua sudah terjadi. Seandainya pun aku harus menangis darah di depan anakku atas apa yang telah kulakukan, hal itu tak akan mengubah keadaan menjadi lebih baik karena Aisha memang sudah tiada."

Lagi, kelopak mata Adipati memanas dan berkaca-kaca.

Lelaki itu beranjak dari hadapan Gara dan melangkah gontai menaiki anak tangga menuju kamarnya.

Dengan membawa perasaan sesal dan bersalah seumur hidupnya.

*****

Gara mengesah di mobil.

Tugasnya hari ini selesai.

Dan dia harus kembali ke kehidupan pribadinya setelah seharian ini terus sibuk dengan setumpuk pekerjaannya di kantor sebagai asisten pribadi dan orang kepercayaan Adipati.

Hati dan pikirannya benar-benar kalut.

Sebagai seorang sahabat, Gara jelas tak ingin melihat hidup Samudra terus menerus terpuruk seperti saat ini. Bahkan lelaki itu seolah kehilangan cahaya hidupnya. Samudra benar-benar menjelma menjadi sosok manusia dingin yang sulit didekati. Seolah membangun tembok besar sebagai pembatas antara dirinya dengan kehidupan di dunia luar. Yang Gara tahu, keseharian Samudra selain bekerja di pasar ikan dan membantu proses pembangunan pasar ikan modern, Samudra lebih sering menghabiskan waktunya dengan termenung di tepi pantai.

Dan yang pasti, sampai detik ini, Samudra masih terus berusaha mencari di mana letak makam Aisha, sang Istri.

Tanpa pernah lelaki itu ketahui, bahwa sebenarnya, Aisha belum meninggal seperti apa yang diketahui semua orang, termasuk Adipati sendiri.

*****

Banyakin vote, banyakin koment...

Semakin banyak yang penasaran, aku bakal up secepat mungkin...

So stay tuned...

Salam herofah...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status