"Siapa yang bertamu,Bu?" tanya Intan memotong ucapanku. Membuatku bernapas lega. Setidaknya ada Intan yang bisa menjelaskan semuanya. Seraut wajah nanti cantik keluar dari belakang. Mungkin dari dapur. Sementara ada dua kamar terletak di sebelah ruang tamu. Lumayan luas untuk ukuran rumah kecil seperti ini. Mataku tak berkedip menyaksikan indahnya ciptaan Allah. Bulu mata lentik dengan hidung mancung terukir jelas di wajahnya. Baru kali ini aku melihat wajah Intan. Ya, karena selama ini dia selalu menutup wajahnya dengan cadar. "Astagfirullah ...,"ucapnya lalu masuk ke dalam kamar. Langkahnya sedikit tertatih. Ini pasti karena kejadian semalam. Aduh, aku menjadi merasa bersalah. Akibat ketidakhati-hatianku membuat orang lain merasakan sakit. Tak berapa lama Intan keluar dari kamar, tapi kini wajah cantiknya tak lagi terlihat. Ada kain penghalang yang menutupi wajah cantiknya. Dan kini hanya terlihat sepasang mata yang menatapku tajam. Ya Allah, salah apa diriku ini? Dipertemuka
Menyalakan mesin mobil sportku,tak lama kendaraan roda empat ku berjalan meninggalkan perkampungan Intan. Sengaja berjalan dengan perlahan karena area perkampungan yang ditinggali banyak penduduk. Dan banyak anak kecil, aku tak ingin kejadian semalam terulang kembali. Beberapa kali melihat benda yang melingkar di tangan. Ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh menit. Aku sudah terlambat sepuluh menit. Bisa gawat kalau Om Damar menungguku terlalu lama. Ku lajukan mobil dengan kecepatan tinggi saat berada di jalan raya. Aku tak ingin Om Damar marah karena aku terlambat terlalu lama. Melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan. Ya Allah sudah setengah sepuluh rupanya. Mati aku!Ku tepikan mobil sembarangan, bergegas menuju lantai lima. Tak lupa kunci mobil ku serahkan pada Edo, satpam muda yang usianya dibawah dua tahun dariku. Aku memang sering seperti ini saat terlambat masuk kantor.Dan Edo yang akan memarkirkan mobilku. Karena hanya dia satpam yang b
Romi duduk di sofa, sesekali memijit kepala yang berdenyut nyeri. Mungkin saat ini rasanya mau pecah. Kembali ucapan Om Damar terngiang di telinganya. PYAARGelas si atas meja menjadi sasaran kemarahan Romi. Hancur menjadi kepingan kecil. Lelaki yang biasanya penuh dengan kesabaran. Kini mulai susah mengatur emosi. "Aku gak mau menikah dengan Febi ...!" Gumam Romi kesal. Ting... Satu pesan masuk di aplikasi berwarna hijau itu. Romi merogoh ponsel yang ada dalam saku celananya. Satu pesan dari Om Damar. Dengan rasa malas ia membuka pesan itu. [ingat Rom, hanya satu minggu. ]"Dasar lelaki edan. Kalau saja dia bukan orang tua, sudah pasti habis di tanganku," batin Romi geram. Romi mengacak rambut, frustasi. Pikirannya pusing tak karuan. Lelaki dengan tubuh atletis itu bingung bagaimana cara menyampaikan kabar buruk ini kepada kedua orang tuanya. Romi begitu kesal setelah membaca pesan Damar. Dengan kasar ponsel di tangan kanannya di banting begitu saja. Untung saja ponsel itu jat
Aku menyadarkan tubuh di teras masjid agung. Rasanya tubuh ini enggan melangkah pergi. Begitu damai rumah Allah ini. Beban yang aku tanggung seakan hilang dalam sekejap. Krucuukk... Suara perut terdengar jelas. Ya, pasti cacing di dalamnya sudah protes meminta haknya. Aku baru ingat,siang tadi tak ada seciul makanan yang masuk. Akibat ancaman Om Damar yang masih mendominasi pikiran hingga membuatku tak nafsu makan. Ah, betapa bodohnya diriku ini! Kalau sakit aku juga yang rasain. Kenapa mesti memikirkan orang lain? Bukakah orang lain bahkan tak perduli dengan perasaanku. Febi dan Om Damar tak ada yang mengerti perasaanku. Mereka hanya mementingkan perasaan mereka sendiri. Sudah, saatnya aku berpikir jalan yang harus ku ambil untuk menyelamatkan perusahaan saat Om Damar menghentikan kucuran dananya. Menghirup oksigen agar masuk ke paru-paru, aku menetralisir amarah yang ada di dada. Melajukan kendaraan roda empat, aku mencari rumah makan padang. Entah kenapa aku menginginkan maka
Satu minggu begitu cepat. Ini adalah waktunya aku memberikan jawaban. Apakah aku siap? Ya Robb, beri aku kekuatan. Semoga jawabanku tak menyakiti hati orang lain. Ting... Satu notifikasi pesan masuk. Ya, siapa lagi kalau bukan Om Damar. Pasti beliau akan mengancamku lagi. [Om tunggu di rumah Febi. Ingat Rom, perusahaan kamu menjadi taruhannya. ]Aku menghembuskan nafas kasar. Lagi dan lagi beliau menggunakan kekuasaan untuk mengancamku. Perusahaan menjadi alasan kuat beliau yakin aku akan menyetujui permintaan gilanya. Mobil melesat membelah keramaian jalanan ibu kota. Ini adalah jam istirahat, banyak karyawan pergi untuk membeli makan. Meski tak semacet pagi atau sore. Namun tetap saja banyak kendaraan berlalu lalang. Kriingg... Ponsel di dalam saku jas menjerit-jarit. Segera aku ambil benda pipih berwarna hitam itu. Ah, panggilan dari Om Damar. Malas, ku diamkan saja hingga benda pipih itu membisu dengan sendirinya. Lagi ponsel itu bernyanyi kembali. Kutepikan kendaraan roda
Astaga, tak pernahkah mereka berpikir di posisiku? Yang lebih egois aku atau mereka? Seenak jidatnya mengatakan aku egois. Padahal kenyataannya merekalah orang-orang egois itu. "Febi masih sangat mencintaimu, Rom. Dia begitu menyesal telah meninggalkanmu," ucap Tante Viona lagi. Aku masih diam, tak menjawab perkataan mereka. Biar ku tahu lebih banyak apa yang akan mereka bicarakan. "Bagaimana, Romi?" tanya Om Fajar. Kutelan saliva dengan susah payah. Rasanya mulut ini tak mampu berkata-kata. Tapi apapun yang terjadi aku harus bersikap tegas. Aku tak mau dipermainkan oleh mereka. "Maaf sebelumnya Om dan Tante." Wajah mereka bertiga langung masam kala kata maaf keluar dari mulutku. "Maksud kamu apa?" tanya Om Fajar dengan wajah merah padam menahan amarah. "Bukan maksud saya menolak permintaan Om atau pun tante. Saya tidak bisa menerima tawaran yang kalian berikan. Saya sudah tak mencintai Febi. Untuk janin yang ia kandung juga bukan darah daging saya. Harusnya ayah janin itu yang
Aku masih berdiri di depan pagar kayu. Melihat indahnya bunga mawar dan melati yang bermekaran. Bahkan kupu-kupu berterbangan menghisap sari-sarinya. Astaga, kenapa aku justru berdiri di depan rumah ini? Rumah yang baru kumasuki satu kali. Apa lebih baik jika aku pulang saja. Tapi kok kepalang tanggung. Bagaimana jika Bu Halimah sudah terlanjur melihatku. Rasanya tak sopan jika aku pergi begitu saja. Melangkah mendekati pintu, tak lupa aku bawa bolu gulung yang tadi sempat kubeli. Ada rasa ragu kala tangan ingin menyentuh pintu. Hingga beberapa saat aku kembali terdiam di depan pintu. "Assalamu'alaikum," ucapku sambil mengetuk pintu. Hening, tak ada jawaban dari dalam sana. Atau jangan-jangan Bu Halimah sedang tidak ada di rumah? Ah, harusnya aku tak ke sini. Kupegang knop pintu, hingga tanpa sengaja pintu kayu itu terbuka dengan sendirinya. Kalau Bu Halimah pergi bukankah pintu harus di kunci. Atau jangan-jangan beliau sedang di belakang. "Assalamu'alaikum," ucapku lagi. Lagi
"Meeting hari ini selesai. Saya minta laporan untuk setiap devisi. Terima kasih.""Baik, Pak," jawab mereka serempak. Satu persatu pimpinan tiap devisi meninggalkan ruang meeting. Kini hanya tinggal aku dan Dila yang masih berada dalam ruangan yang luas dengan nuansa putih ini. "Bapak kenapa sih? Meeting kok tidak konsentrasi. Untung saya cekatan," ucap Dila sambil membereskan berkas di atas meja. Ibu hamil di hadapanku ini memanyunkan bibir. Wajahnya begitu kesal. Itu semua karena aku tak konsentrasi dalam meeting hari ini. Beruntung dia sigap membantu mengingatkan jika aku salah bicara. "Maaf Dil, saya sedang banyak masalah.""Profesional dong Pak," sindirnya. Kata-katanya sungguh menampar diriku. Aku yang selalu mengucapkan kata profesional kepada pagawaiku namun aku sendiri yang tidak profesional. Benar mengucapkan lebih mudah dibandingkan melakukan. Dari sini aku semakin berpikir untuk bisa bersikap profesional tapi masalah yang menimpaku membuat kepala pusing tidak karuan.