Baru saja aku dan Mas Bagas keluar dari kamar. Pagi ini, aku tak menyiapkan sarapan seperti biasa. Karena semuanya sudah dikerjakan sama Lika, sang pelakor.
Dari jauh aku melihat, di meja makan, Lika sedang duduk dengan secangkir kopi di depannya. Di tangannya ada selembar roti yang sudah digigit separo. Ia sedang menikmati sarapan dengan dilayani ibu palsunya. Berani sekali wanita busuk ini, sudah terang-terangan berlaku seenaknya di rumahku. Bahkan dia sudah dengan santainya menikmati sarapan lebih dulu dariku dan Mas Bagas, selaku tuan rumah. Benar-benar tak punya etika. Ku langkahkan kaki dengan cepat menuju meja makan. Lika terlihat gelagapan saat menyadari kehadiranku di depannya, tapi seketika madu busuk itu dapat menguasai diri, saat melihat Mas Bagas menyusul di belakangku. "Apa-apaan kamu, Lika. Berani sekali kamu! Dengan santai menikmati kopi dengan dilayani oleh ibumu sendiri. Memangnya kamu siapa di sini? Dasar nggak tau diri, kamu!" ucapku dengan sinis. Sudah kayak pemeran antagonis di sinetron ikan terbang saja. Sekilas dia melirik Mas Bagas. Mungkin berharap pembelaan dari suami sirinya itu, tapi sebelum Mas Bagas buka suara, lekas aku dulu yang mulai bicara. Takkan kubiarkan mereka seenaknya, toh rumah ini atas namaku, bukan Mas Bagas. Meskipun Mas Bagas membelanya tidak masalah, biar sekalian ku usir mereka berdua. "Mas, dapat darimana kamu pembantu minim akhlak seperti dia?" Aku bertanya pada Mas Bagas dengan nada tinggi. Sengaja kubuat tegas di depan Lika. Biar perempuan busuk ini tahu, sedang bermain dengan siapa. Mas Bagas tak menjawab pertanyaanku. Pandangannya beralih pada Lika. Mas Bagas menatap Lika dengan tatapan tajam, sorotan matanya seolah mengisyaratkan supaya istri sirinya itu diam. Tapi bukan diam Lika malah merasa tertantang. Ia menatap suami sirinya itu tajam tanpa kedip. Seakan mengisyaratkan supaya segera memberitahu siapa dirinya sebenar. "Mas ...!" Alika membentak Mas Bagas, tapi ucapannya mengambang di udara. Sebelum ia melanjutkan omongannya, Mas Bagas memelototi madu busuk itu. "Tunggu, tunggu ... kamu tadi bilang apa? Kamu panggil apa suamiku?" tanyaku menyelidik dengan menyipitkan sedikit mataku. Alika menarik sudut bibirnya sebelah seakan mengejek. Dia pikir Mas Bagas akan mengakuinya. Dasar siluman. "Mas, baik kamu kasih tau, Dewi. Biar dia ta–" Ucapannya terhenti seketika akibat bentakkan Mas Bagas. Wajahnya merah bak kepiting rebus. Entah malu, atau sedang menahan amarah kerana di bentak suaminya "Diam kamu, Alika! Atau saya usir kamu dari sini!" Saking kencangnya herdikan Mas Bagas, seketika Lika terdiam. Matanya mulai berkaca kaca. Emang enak, makanya jangan coba-coba bermain api. Aku, jangan ditanya ... tentu saja aku puas, puas sekali. Menyaksikan adegan yang sedang berlangsung, antara dua sejoli, serasa nonton bioskop. Pasti setelah ini mereka akan berantem, lanjut di belakang layar. Siapa yang suruh nyamar jadi pembantu, jangan berharap bisa jadi majikan. Meski sepuluh Bagas sekalipun, tidak akan bisa menjadikanmu ratu di rumah ini. Karena hanya aku ratu satu-satunya di sini, jadi silahkan menjadi ratu di dunia khayalan.Tontonan ini teramat seru sekali, mengalahkan drakor yang biasa kutonton. Biarlah kusaksikan sebentar saja. Kapan lagi dapat tontonan gratis seperti ini, langsung pula. Bisakah aku tertawa jahat menyaksikannya. Lika melirik ke arahku dengan Lirikan tajam, tak ada rasa takut sama sekali. Seolah ingin mengatakan, bahwa dia bukan pembantu tapi madu. Dasar pelakor tidak berakhlak. Dia pikir bisa bersaing denganku. Tidak sama sekali! Lihat saja, akan kubuat kau merasakan pembalasan sakit hatiku. Meski kau telah mengambil suamiku, tapi jangan berharap bisa berkuasa hanya dengan menjadi istri siri, bisa berlagak dirumah ini? No no no … takkan pernah kubiarkan. Yang ada kau akan merasakan penderitaan, sehingga menyesal telah memasuki kehidupanku. "Sudah sana, kamu terusin tuh kerjaan ibumu. Oh yah, saya tidak mau dengar kamu panggil suami saya dengan sebutan Mas, dasar nggak punya sopan santun," cibirku. "Bik … Bibik. Udah, Bibik istirahat saja. Biar Lika yang melakukan semuanya," ucapku lagi. Seketika Bibik menghentikan pekerjaannya. Wanita paruh baya itu terlihat serba salah, mungkin sadar kalau Lika juga istri Mas Bagas, majikannya. Apa peduliku, toh di sini ceritanya dia pembantu. "Sudah, Bik … nggak usah merasa nggak enak hati. Di sini ikut aturan saya. Lagian, Lika nggak sopan jadi anak, membiarkan ibunya bekerja." Lika melakukan perintahku dengan kasar. Dia sedikit menghentakkan setiap barang yang di pegangannya, sambil sesekali melirik ke a Mas Bagas. Mukanya memerah dan matanya berkaca kaca, mungkin dia berpikir akan duduk di meja ini, sarapan bersama Mas Bagas, suami sirinya. Jangan harap! Aku nggak peduli, banjir air mata sekalipun, aku tidak peduli. Bagiku melihat penderitaannya adalah kebahagianku. Siapa suruh berani masuk ke rumahku sebagai maling, jangan salahkan aku jika kubasmi. Karena maling kodratnya memang harus di basmi. Aku dan Mas Bagas sarapan dalam diam. Kulirik sekilas pakai ekor mata pada Mas Bagas. Dapat kulihat matanya liar menatap ke arah gundiknya yang sedang kora-kora di dapur. Sesekali ia melirik ke arahku, mungkin takut kepergok sedang memperhatikan pelakornya. Kunikmati saja sarapan di depan mata, biar saja jika mereka ingin lirik-lirikan. Setelah selesai sarapan, aku berdiri, tapi Mas Bagas masih setia duduk di kursinya. Walaupun sarapannya sudah habis berpindah ke dalam perut. Laki-laki itu seperti enggan beranjak dari duduknya. "Mas! Kamu nggak kerja? Ayo … kok malah bengong, sarapannya sudah habis tuh," ucapku sedikit membentak. Mas Bagas langsung tersadar, salah tingkah. "Ah, i–iya sayang … a–ayo." Seketika dia menjadi gagap. Lucu sekali kamu Mas. Cemen sekali berani selingkuh, tapi takut mengakui. Kasian sekali kamu Alika. "Lika, saya sama bapak sudah selesai. Tolong kamu beresin ini. oh iya, jangan lupa tuh cucian, nanti sekalian dicuci, ya," ucapku dengan gaya memerintah. Sebelum meninggalkan ruang makan, masih sempat kulihat Lika dan Mas Bagas saling tatap. Mas Bagas menatap istri sirinya itu dengan tatapan bersalah. Sementara tatapan Lika penuh dengan amarah yang dipendam. Aku cuek aja, kalau kata bunda maya EGP … emang gua pikirin. "Tunggu saja kalian. Tunggu sampai aku mendapatkan bukti yang cukup. Setelah itu, baru kulempar kalian berdua, tapi sebelum itu, biar aku menikmati dulu permainan ini." Aku membatinku.Sebenarnya aku bukanlah orang jahat, tapi Mas Bagas dan Alika sudah merubahku menjadi monster. Rasa sakit yang mereka torehkan sangat dalam, mencabik-cabik jiwa dan raga. Aku bukan menentang poligami, tapi poligami yang dilakukan oleh Mas Bagas, bukanlah berdasarkan syariat, akan tetapi nafsu bejatnya.Prang! Baru saja melewati pintu utama, suara benda jatuh disertai jeritan Alika terdengar dari arah dapur. Entah apa yang terjadi di dalam sana, tapi aku tau, itu hanya akal-akalan Alika menarik simpati Mas Bagas. Jangan harap perempuan busuk."Kamu mau ngapain, Mas?" tanyaku saat secara spontan Mas Bagas ingin merangsek masuk. Mungkin pria itu takut istri sirinya kenapa-kenapa. Lebay.Sudah sebulan Lika tinggal di rumahku, tentu sebagai pembantu. Selama itu pula semua pergerakannya dan Mas Bagas berada dalam pantauanku. Aku sudah seperti CCTV, yang selalu aktif. Tak sekalipun kubiarkan mereka memiliki waktu berdua. Meskipun sedikit lelah, karena harus siaga 24 jam, menjaga Mas Bagas, tapi tak apalah, asalkan bisa mencegah hubungan mereka, akan aku lakukan. Bukan karena cemburu ... tidak sama sekali. Sejak aku tau Mas Bagas telah menduakanku, perlahan rasaku padanya terkikis, sedikit demi sedikit memudar. Meski ku akui sulit untuk menghapus semua rasa yang ada, karena walau bagaimanapun, dua tahun bukanlah waktu yang singkat, meskipun juga tidak terlalu lama, tapi aku tidak bodoh. Kewarasanku masih mendominasi. Aku hanya tidak mau mereka bersenang-senang, sebelum urusan Mas Bagas denganku selesai. Setelah kami berakhir, barulah akan kuikhlaskan mereka berdua untuk bersama. Sejak Lika menjadi pembantu di rumahku, waktuku banyak untuk bersantai. Enak ternyata,
Jalan Di Belakangku "Dasar nenek lampir," umpat Lika mengataiku yang masih bisa kudengar sebelum ia berlalu ke dapur. Wanita itu berjalan dengan menghentakkan kaki, tapi bodo amat, aku gak peduli. Berani menggangguku maka siap-siap dengan pembalasan seorang Dewi.Kelakuannya benar-benar serba minim. Entah apa yang di lihat mas Bagas, sehingga menduakanku dengan wanita seperti Lika. Bukannya sombong, tapi wanita yang merusak kebahagian orang lain itu memang bukanlah wanita baik. Sikapku tergantung bagaimana kamu. Jangan berharap kebaikan dariku, jika kamu saja masuk ke istanaku sebagai pencuri. Kau bisa mengambil Mas Bagas, suamiku, tapi jangan berharap bisa menjadi ratu. Karena level seorang ratu berbeda dengan selir. Bak langit dan bumi. "Itu madu kamu?" tanya Sandra setelah menghempaskan bokongnya di sofa ruang tamu. Dari raut wajah, sahabatku itu sepertinya sangat penasaran tentang sosok Lika, si pelakor busuk. Aku yakin wanita berlesung pipi itu juga kurang suka dengan ting
Kamu Ketahuan"Loh itu 'kan bagas." Sandra menunjuk ke arah Mas Bagas dengan jari telunjuknya. Seketika mataku liar mengikuti arah jari Sandra. "Tapi tunggu dulu, ko ada dia sih," ucap sandra sedikit berbisik saat tau siapa yang sedang bersama Mas Bagas. "Sejak kapan dia jalan, kok sampai duluan dari kita," tambahnya lagi. Mungkin sahabatku itu penasaran bagaimana Lika bisa sampai duluan dari kami. Mataku rasanya ingin meloncat keluar bisa-bisanya perempuan busuk ini makan siang bersama suamiku. Meskipum itu juga suaminya. Ingin rasanya berlari ke sana dan menjambak rambut wanita itu. Untung Sandra mencekal tanganku, kalau tidak tamatlah riwayatmu wahai pelakor.Alika .... Tidak habis pikir, Bagas suamiku dan Lika si madu busuk itu sedang menikmati makan siang berdua. So sweet sekali! Perempuan busuk itu terlihat sedang merajuk dengan bimoli nya (bibir monyong lima inci). Sekilas pandang memang tidak ada yang salah karna mereka sepasang suami istri, meskipun hanya nikah siri,
Gugup 'Kan Kamu, Mas!"Sayang, kamu ko di rumah?" ucap lelaki yang masih bergelar suami sahku itu. Terlihat sekali kegugupan di matanya, meskipun ia berusaha terlihat tenang. "Loh emang aku kemana, Mas? Kok kamu nanyanya gitu?" balasku penuh selidik. Aku memicingkan mata menanti jawaban darinya. Pasti Alika bilang, jika aku dan Sandra sedang jalan. Makanya mereka merasa aman. "Oh eng–nggak ko, Sayang," gagapnya. Matanya liar kesana–kemari menghindari mataku. Ketara sekali jika ia sedang ketakutan. "Loh ... kamu kok sama dia, Mas? Kalian habis jalan," tanyaku saat melihat Lika turun dari mobil dengan langkah pelan. Lelaki di depan ku ini gelagapan. Mukanya terlihat pias dengan gakunnya yang naik turun menelan cairan dari mulutnya. Dasar kada*, giliran berbuat aja berani. "Kena kamu Mas. Ayo ... alasan apa lagi yang ingin kamu sampaikan." Dalam hati bersorak riang menunggunya mencari alasan. "Loh ... kamu ko sama dia, Mas? Kalian habis jalan?" tanyaku saat melihat Li
Harga Diri konon!"Kamu ngebelain Lika, Mas? Apa menurutmu, pantas seorang pembantu duduk di kursi depan sama majikannya? Orang yang tidak kenal pasti mengira kalian suami istri!" Mas Bagas seketika menghentikan langkah kakinya. Pria itu kemudian memutar badan menghadapku. Melihatnya berhenti, otomatis langkahku juga terhenti dengan sendiri. Kutatap laki-laki di depanku itu, tapi ia malah memalingkan wajahnya, tidak berani menatapi mataku. Ciri-ciri orang yang sedang berbohong, matanya liar kemana-mana. "Apa'an sih kamu, Sayang. Ya nggaklah! Lagian, tadi aku hanya ketemu di jalan kok sama Alika, nggak jalan bareng." Mas Bagas seakan tidak terima ucapanku, tapi aku tau, itu hanyalah topeng saja. "Loh ... aku 'kan nggak bilang kalian jalan bareng! Santai aja, Mas. Kamu kok gugup gitu sih? Seperti baru ketahuan selingkuh aja." Mata Mas Bagas membulat sempurna, mungkin merasa tertampar. "Sudah, sudah ... makin lama kamu makin ngelantur aja ngomongnya." Mas Bagas melanjutkan la
Bunglon Ketemu Kadal"Ga pa-pa. Nyonya salah dengar!" balasnya dengan menekan nada di kata Nyonya. Aku tertawa dalam hati. "Memang itulah posisi mu, pelakor." Kuambil gelas yang sudah berisi jus mangga pesananku. Ternyata pelakor suamiku ini menurut juga. Duduk di meja makan sambil meminum jus bikinan maduku, mata ini lekat memperhatikan wanita yang sedang melakukan perintah memasak dariku itu. Ia terlihat salah tingkah dengan kehadiranku. Mungkin risih, atau merasa terawasi, tapi mata ini terus saja memandang ke arahnya. Biakan dia merasa terintimidasi, biar kena mental! "Kamu itu niat kerja nggak, sih?" tanyaku dengan nada pelan. Seketika Lika menghentikan gerakannya. "Iya Nyonya," jawabnya malas, lalu melanjutkan gerakan tangannya yang sempat terhenti. "Tapi kalau saya liat, kamu sepertinya tidak ada niatan kerja. Semua kamu lakukan asal-asalan. Apa ada niat lain kamu masuk ke rumahku?" Ucapanku sontak membuat wanita bermata bulat itu membalikan badannya. Menatap
Ternya Mereka Sudah Jauh Melangkah! "Mas, kenapa sih gak jujur aja sama Dewi! Aku ini juga istrimu, Mas! Dewi memperlakukan ku seperti pembantu, dzalim, tapi kamu hanya diam! Aku capek begini terus, Mas!" Suara Lika tertangkap oleh pendengaranku. Wanita itu terdengar membentak suami sirinya "Tunggulah sebentar, Sayang. Aku akan membujuk Dewi supaya mengerti dan mau menerimamu. Kasih Mas mu ini waktu," ucap Mas Bagas terdengar sangat lembut. Kupingku memanas mendengar ucapan pria bajinga* itu. Sampai kiamat pun aku tidak akan pernah menerima Alika. Madu busuk itu tidak akan pernah menjadi madu bagiku. Jika Mas Bagas menginginkannya, maka akulah yang akan mundur. Kuedarkan pandangan mencari tempat aman untuk menguping. Aku harus tau semua yang mereka omongkan, agar bisa mematahkan semuanya. Sakit sekali rasanya hati melihat suami yang sangat di cintai memanggil sayang pada wanita lain. Rasanya tak Sudi lagi sebutan itu ia sematkan padaku. Bersusah payah aku menjaga kesetia
Kena Kamu, Mas! "Kamu jangan salah sangka gitu dong, Sayang. Lika itu perempuan baik ko, mana mungkin menaruh hati sama Mas. Majikannya iya 'kan," ucap Mas Bagas membela istri simpanannya. Astaga bisa-bisanya ia mengatakan itu. Membela selingkuhannya di depanku, istri sahnya. Hebat kamu, Mas! "Tidak sedikit rumah tangga hancur karena seorang pembantu. Bahkan ada suami yang memasukkan sendiri selingkuhannya ke dalam rumah tangga mereka. Dengan berkedok pembantu, Mas. Aku harus waspada sebelum itu semua menimpaku."Ucapan ku membuat raut wajah Mas Bagas berubah total. Lelaki itu kelihatan gugup, sesekali terlihat menelan ludahnya. Mungkin ucapanku menjadi pukulan telak buatnya. Menusuk sampai ke ulu hati. Bagaimana tidak, semua yang aku ucapkan benar terjadi. Alika adalah selingkuhan Mas Bagas, yang ia masukkan ke dalam rumah tangga kami sebagai pembantu. Kena kamu Mas! " Udah ah, Yang! Kamu makin ngawur aja," ucap Mas Bagas dengan nada tidak suka, tapi aku bisa meliha