B*jingan!Amarahku sudah naik ke ubun-ubun. Andai mengikuti kata hati, ingin sekali aku b*nuh kedua manusia laknat itu sekarang juga. Namun, aku tidak boleh gegabah karena aku tidak sempat merekam pembicaraan mereka untuk dijadikan bukti. Akan tetapi, aku pun tidak bisa menunda lagi, apa lagi jika menyangkut nyawa istriku. Muak rasanya kalau harus berpura-pura baik di depan manusia laknat semacam mereka. Sebelum keduanya keluar, aku bergeser sedikit menjauh untuk menghubungi anak buah Sandi yang berjaga di depan rumah. Tak lupa aku pun mengirim pesan pada Pak Rahman, kusuruh dia datang ke paviliun belakang.Beruntung mereka cepat tanggap. Tak lama kemudian Pak Rahman dan dua orang anak buah Sandi datang. Kuletakkan telunjuk di atas bibir sebagai isyarat agar mereka tenang. Kudekati kembali pintu paviliun dan suara menjijikan itu kembali terdengar. Tak ingin membuang waktu, kuberi isyarat dengan mata agar Pak Rahman dan yang lain mendobrak pintu itu.Dalam hitungan ketiga, pintu berha
POV HILYA"Kamu yakin dengan keputusan ini, Nak? Bagaimana dengan status kamu nantinya?"Papa kembali mengulang pertanyaan yang sama saat kami duduk berdua di teras kontrakan. Sudah satu bulan lamanya aku tinggal di Bandung bersama Papa. Atas bantuan Mas Damar, kami bisa sampai ke tempat ini tanpa diketahui anak buah Mas Agam. Ya, aku tahu pasti Mas Agam mengerahkan anak buahnya untuk mencariku. Beruntung Mas Damar begitu lihai mengecoh mereka termasuk membayar Sopir dan Kondektur Bus agar tidak buka mulut jika ada yang menanyakan kami.Mas Damar pun menyarankan aku agar mengganti identitas selama di sini. Aku kembali menjadi seorang Melati, wanita sederhana dengan penampilan yang dirombak total. Tidak ada lagi Hilya yang berpenampilan glamour, tidak ada lagi Hilya yang memperlihatkan rambut indahnya karena aku sudah mengenakan hijab. Mungkin awalnya karena terpaksa demi menyempurnakan penyamaran ini. Akan tetapi setelah beberapa hari aku mengenakannya, rasa nyaman dan aman tiba-tiba
POV HilyaHari-hari yang aku jalani selama di tinggal di Bandung terasa lebih menyenangkan. Kesibukan sebagai salah satu karyawan Bu Ratna, membuatku sedikit demi sedikit melupakan Mas Agam, meskipun tak kupungkiri, jika malam tiba, rasa rindu seringkali datang tanpa diminta.Untuk menepisnya, aku selalu berusaha memberi sugesti pada diri sendiri, bahwa aku tidak lagi berhak merindukan dia. Mas Agam bukan lagi milikku, dia sudah menjadi milik wanita lain seutuhnya.Duhai hati, tolong jangan goyah. Mungkin saja saat ini dia sedang berbahagia dengan istri barunya, tanpa kehadiran diriku sebagai pengganggu di hidup mereka.Tak terasa sudah dua minggu aku menjadi karyawan Bu Ratna. Sikap beliau yang ramah dan baik pada siapa saja, membuat kami para pekerja menjadi betah. Tak jarang dia memberikan bonus pada kami jika mendapat pesanan lumayan banyak. Namun, ada yang aneh dalam satu minggu ini. Salah satu putra Bu Ratna yang bernama Fhatur, seringkali menyambangi ruang kerja kami hanya untu
POV AGAMSatu minggu setelah kejadian ditangkapnya Mama Mirna, belum sekali pun aku kembali ke rumah. Ratusan telepon dan pesan dari Safia aku abaikan. Entah lah, diri ini masih kecewa atas semua kenyataan yang terkuak. Meskipun masalah ini bukan sepenuhnya salah Safia, tetapi tetap saja, aku kecewa karena dia masih bersikukuh membela mamanya. Belum lagi keberadaan Hilya yang masih belum diketemukan. Membuat hari-hariku terasa semakin suram tanpa adanya belahan jiwa yang membersamai. Sidang pertama Mama Mirna akan digelar minggu depan. Aku sudah menyewa pengacara terbaik untuk menjebloskan dia ke Penjara. Akan aku pastikan, dia mendapat hukuman yang berat atas apa yang telah dia lakukan terhadap istriku dan juga Ridwan.Ponselku tak berhenti bergetar sejak sore tadi. Aku yakin itu pesan dari Safia yang memintaku untuk pulang. Namun, aku masih enggan menemuinya. Bukan bermaksud mengabaikan kewajiban, tetapi aku butuh menyendiri untuk merenungkan langkah apa yang akan diambil ke depan
"Bapak yakin dengan rencana ini?""Sangat yakin. Tidak ada lagi cara agar saya bisa dekat dengan istri saya selain begini," jawabku seraya meniliti kembali penampilan di depan cermin.Celana jeans yang agak lusuh, kaos oblong dan sandal jepit, tak lupa kumis palsu yang aku kenakan, semoga saja bisa menyempurnakan penyamaran ini.Berdasarkan informasi yang didapat oleh Sandi, di rumah itu sedang membutuhkan seorang Sopir untuk mobil yang akan mengantarkan pesanan katering. Tak ingin membuang kesempatan, aku pun bergegas menemui pemilik rumah dan syukurlah akhirnya diterima. Saat ini aku menyewa sebuah kontrakan yang tak jauh dari tempat istriku tinggal. Sedangkan urusan pekerjaan di Jakarta, aku serahkan pada Nindi untuk menghandlenya dan sewaktu-waktu jika ada yang urgent, aku sendiri yang akan turun tangan.Semua ini aku lakukan demi Hilya. Demi bisa dekat dengan istriku yang sepertinya sudah menikmati peran barunya sebagai Melati yang tinggal di kampung ini. Terkadang ... rasa tak
Satu minggu semenjak Safia menelepon, aku masih belum memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Bukan bermaksud untuk mengabaikan dia juga Mama, tetapi situasi sangat ini tidak memungkinkan. Aku baru bekerja beberapa hari di rumah Bu Ratna, tidak mungkin kalau harus meminta izin untuk tidak masuk kerja. Bisa-bisa aku malah dipecat dan diganti oleh orang lain yang lebih profesional.Selain itu, aku pun enggan jika harus meninggalkan Hilya di sini, apa lagi setelah malam itu, kusaksikan sendiri keakraban dua pria itu dengan mertuaku. Mereka diterima baik oleh Papa Adi. Bahkan, pria bernama Guntur mulai lebih berani setelah mendapat lampu hijau dari mertuaku. Pria itu mulai lebih sering berkunjung ke kontrakan istriku, dengan dalih ingin mengobrol dengan Papa Adi.Sidang Mama Mirna pun mulai digelar hari ini. Akan tetapi aku sudah menyerahkan semuanya pada pengacaraku. Dengan bukti-bukti yang aku punya, sudah bisa dipastikan dia dan Pak Amin akan dihukum seberat-beratnya.Pagi ini, seperti bi
Pemakaman telah selesai dilaksanakan. Jenazah Papa Adi dikebumikan tepat di samping makam istrinya. Selama pemakaman berlangsung, aku terus berada di samping Hilya. Menenangkan dia yang terkadang histeris dan bahkan sampai pingsan berkali-kali. Aku sangat mengerti akan kesedihan yang sedang dialami istriku. Kehilangan satu-satunya keluarga yang ia miliki, tentu saja sangat membuat Hilya terpuruk.Beruntung, dalam situasi berkabung seperti ini, Mama seakan mengerti. Beliau tidak menunjukkan protes atau penolakan saat jenazah Papa Adi dibawa ke rumah. Damar dan kedua putra Bu Ratna pun turut hadir dan aku biarkan saja saat mereka bersikukuh meminta ikut ke Jakarta. Ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat, dan aku tidak ingin membuat suasana duka ini menjadi kacau hanya karena kecemburuanku terhadap mereka.Sepulang dari pemakaman, aku terus menemani Hilya di kamar kami. Saat ini ia masih terbaring lemah setelah pingsan ketika jenazah papanya mulai ditutupi tanah. Kudekap dia dan kue
POV SAFIA"Sayang, setelah Mas tiada, menikahlah dengan Agam. Dia pria yang baik. Mas yakin kamu akan hidup bahagia bersama dia."Ucapan Mas Ridwan sebelum ia meninggal terus saja terngiang dalam ingatan. Ia memintaku untuk menikah dengan sahabat sekaligus atasannya yang bernama Agam. Aku pernah melihat pria itu beberapa kali saat ia mengunjungi Mas Ridwan. Aku dengar, ia seorang duda karena istrinya meninggal akibat kecelakaan.Kesan pertama saat melihat Mas Agam, ia pria yang sangat tampan. Pembawaannya yang santun dan ramah, membuat kharisma dalam dirinya semakin terpancar. Bermimpi saja aku tidak berani untuk bersanding dengan dia. Akan tetapi, ternyata takdir membawaku untuk menjadi pendampingnya. Setelah masa iddahku selesai, Mas Agam langsung menjadikanku istrinya. Awalnya aku menolak karena ini terlalu cepat, tetapi atas desakkan dari Mama, akhirnya aku menerimanya. Akan tetapi, ada sesuatu yang menggangguku selama proses akad berlangsung. Mas Agam sampai dua kali salah meny