Share

Madu Muda : Ketika Cintaku Direnggut Paksa
Madu Muda : Ketika Cintaku Direnggut Paksa
Penulis: Ria Abdullah

permintaan

Mungkin malam ini adalah malam yang tidak pernah kubayangkan seumur hidupku. Dari panjangnya waktu yang telah kujalani dengan Mas Hamdan dengan penuh bakti dan cinta, bagiku ikatan pernikahan kami kuat, tidak mungkin tergoyahkan bahkan oleh godaan atau penderitaan macam apapun itu.

Namun malam ini ... semuanya berbeda!

Selepas shalat isya, pria yang telah mengikat janji suci denganku selama hampir 13 tahun itu menghampiri, menggenggam tangan dan mengajakku duduk di dekatnya.

"Kemarilah Aisyah, Mas ingin bicara," ucapnya dengan lembut, dia mendekati dan mengecup pucuk kepala ini dengan penuh cinta.

Aku langsung bahagia mendapati sikap manisnya, biasanya jika dia bersikap seperti ini, maka aku akan mendapatkan hadiah. Mungkin itu hadiah kecil berupa daster atau bisa juga hadiah batin yang romantis.

"Apa, Mas?" tanyaku antusias, dengan mata berbinar dan hati berdebar.

"Kamu tahu bahwa aku sangat mencintaimu, Aku percaya bahwa kau juga mencintaiku. Perasaan dan batin kita terhubung satu sama lain," ungkapnya dengan lemah lembut.

"Iya benar, lalu, apa yang ingin Mas bicarakan, Aku sungguh penasaran "

"Aku berniat untuk menikah lagi, Aisyah, tapi kali ini niatku bukan ingin menandingimu dalam hatiku. Tapi ingin menyempurnakan Ibadah dan membantu seorang wanita yang ditelantarkan keluarganya."

"Apa, poligami?!" Pria yang kutanya langsung menunduk sambil mengangkat kedua bahunya dan tersenyum tipis.

Aku langsung berdiri, menatap Mas Hamdan dengan gelengan wajah tak percaya. Mataku mulai berkaca-kaca, tidak kuasa menahan kalimat yang baru saja dia ucapkan. Aliran napasku yang tadinya tenang seketika tersengal, darahku berdesir naik ke ubun-ubun membuatku kepalaku seakan dituang bara api, mendengar ia minta izin untuk menikah lagi tentu itu memantik rasa kecewa, sakit dan dia seketika sudah melukai hati.

"A-apa? kau ingin menikahi wanita lain?" tanyaku dengan suara gemetar, bukan suaraku saja tapi seluruh tubuhku bergetar. Rasa syok yang kurasakan saat ini lebih parah dibanding ketika aku ditabrak motor saat terburu-buru menjemput Raihan ke sekolahnya.

"Ini untuk ibadah, Sayang. Aku tidak punya sedikit pun rasa untuk melampiaskan syahwat, aku hanya kasihan pada seorang wanita yang dirundung kemalangan dan ingin mengajaknya bergabung ke rumah ini dalam ikatan suci."

"Allahu Akbar!" Aku langsung tersungkur di kakinya, aku syok hingga debaran dada tak mampu kukendalikan

"Ais, kamu kenapa?" Mas Hamdan langsung turun dari atas tempat tidur dan memegang kedua bahu sambil menatap mataku.

"Tidak ... tidak bisa Mas ...," bisikku dengan suara yang nyaris tak terdengar, bukan tak ingin berteriak tapi rasanya tenggorokan ini tercekik dan kering begitu saja.

Dadaku masih berdebar, bahkan degupan jantungku berpacu seakan meledakkan rongga dada. Jangankan mendengarnya langsung dari suamiku, membayangkan saja belum pernah. Bagaimana mau membayangkan jika aku sangat takut dengan kata poligami. Takut dibagi dan membagi, takut hati ini diracuni rasa iri dan cemburu pada wanita yang akan dikasihi suamiku nanti.

"Aisyah, kamu baik-baik saja?" ulangnya sekali lagi.

"Jangan bercanda, Mas. Aku merasa takut, Mas, jangan kelewatan menggoda istri," ucapku setengah berteriak sambil bangkit dari hadapannya, mengusap air mataku dan memaksa dirinya untuk tidak percaya, lantas kulanjutkan tugasku melipat pakaian yang tertunda.

Pria yang kini terdiam dengan posisinya yang masih duduk di lantai hanya menatapku dengan tatapan seribu makna, untuk beberapa detik kami membungkam dalam kebisuan. Hingga dia kembali mengulang kata katanya.

"Aku terkesan pada Maura, wanita yang dipaksa bekerja di rumah juragan Bono. Dia gadis lembut yang taat beribadah, aku khawatir sikap liar juragan Bono akan menodai gadis yatim piatu itu. Ini hanya bentuk keprihatinan, Aisyah."

Gerakan tanganku melipat pakaian langsung terhenti, kubalas tatapannya dengan tegas lalu berkata,

"Membantu tidak harus menikahi, Mas. Mas bisa menjadikan dia adik atau mempekerjakan dia sebagai pengurus rumah ini, atau juga ... mencarikan dia jodoh yang sebaya dengannya," jawabku datar.

Tanpa terasa air mata jatuh begitu saja di atas punggung tanganku, mengalir mengenai cincin pernikahan yang telah melingkari jari ini lebih dari satu dekade.

Perlahan ada ilusi seakan cincin itu terbelah menjadi dua, hatiku patah, ketakutanku mulai membuncah, Ini bukan mimpi atau bercanda, suamiku serius menyukai seorang wanita yang sangat terkenal cantik dan pemalu.

Aku sering berpapasan dengan Maura, gadis pendiam yang sempurna itu tidak pernah mau membalas tatapan mata orang lain, dia selalu menunduk dengan anggukan hormatnya kepada siapa yang ditemuinya.

"Aku tahu ini adalah syariat agama, wanita yang mau melapangkan dada untuk bersabar dan membagi suaminya dengan ikhlas, dijanjikan dengan masuk surga dari pintu mana saja. Namun, jangan memaksa aku untuk mendapatkan surga dengan cara seperti itu Mas, aku rela bersujud ribuan kali dan berpuasa seumur hidupku, tapi jangan suruh aku membagi cintamu."

Tiba-tiba mataku tidak mampu membendung buliran panas yang menganak sungai di kelopak mata. Dia tumpah mewakili perasaan sesak yang tadinya ingin kutahan di hadapan suami tercinta.

Mas Hamdan yang memang tak mampu menatapku menangis langsung berdiri dan memeluk bahuku, membawa kepala ini terbenam dalam dada bidangnya yang selalu mendamaikan. Sayang, kali ini aku tidak menemukan damai, yang kudapatkan hanya kegelisahan dan rasa takut yang menjadi-jadi.

"Jangan lakukan ini padaku, aku tidak tahu cara menata hati, aku tak jamin bisa menjaga kewarasanku melihatmu bahagia dengan orang lain. Aku juga tidak tahu cara menjawab pertanyaan anak-anak jika Ayah mereka tiba-tiba membawa wanita lain, memberi perhatian yang sama seperti apa yang diberikan pada ibu mereka dan sesekali kau akan tidur di dalam kamarnya. Daripada kau membunuhku secara perlahan seperti itu lebih baik racuni saja aku sekarang, Mas! Lebih baik aku mati di tanganmu, lebih baik begitu, Mas!" ucapku sambil memukul-mukulkan tangan ke dadanya.

Aku menangis pilu, bahkan kepiluan yang kurasakan lebih sakit daripada ketika Ayahku meninggal.

"Aisyah, jika aku membawa Maura kesini dengan menjadikannya pembantu atau adik angkat, aku takut tidak mampu melindunginya dari tatapan mataku atau menjaga harga dirinya dari penilaian orang lain. Dia gadis yang cantik dan aku juga adalah pria dewasa yang memiliki hasrat normal, karenanya tolong ...."

"Jadi memang kau tertarik padanya, iya kan?" Aku tiba-tiba menarik diri dari pelukan pria itu, menatap matanya dengan lekat, menelisik kejujurannya sambil beringsut pindah ke sudut kamar.

Bibir ini terus mengucapkan istighfar mencoba menetralisir degupan jantungku yang semakin cepat dan dorongan untuk menampar orang.

"Aku sudah membicarakan ini pada Raihan dan Putri Zahra, mereka memaklumi bahwa ayahnya ingin berpoligami. Aku sudah mengarahkan anak-anak untuk bersahabat dengan Maura," jawabnya.

Wah, kejutan apa lagi yang Mas Hamdan sudah siapkan? Sungguhkah ia sudah melibatkan anak-anak?

"Apa?! jadi selama ini diam-diam Mas sudah dekat dengan gadis itu? jadi selama ini Mas sudah mengatur rencana dan sudah siap melakukannya. Bahkan Mas mendekatkan anak-anak pada wanita itu tanpa sepengetahuanku? Apakah ini tidak pantas disebut pengkhianatan?"

"Aku tidak menjalin hubungan Aisyah, aku hanya mengutarakan maksud baik kepadanya, kupikir tadinya mungkin ini hanya bentuk dari rasa iba yang berlebihan karena sering melihatnya disiksa. Tapi melihat kesantunan gadis itu hatiku menjadi tertarik padanya, kurasa dia akan menjadi Ibu sambung yang akan menyayangi kedua anak kita juga membantumu mengurus rumah ini. Percayalah padaku," ucapnya sungguh-sungguh.

Aku semakin gamang kendengar pengakuannya.

"Tadinya Mas Hamdan bilang ini hanya untuk beribadah, tapi kemudian Mas mengakui bahwa memiliki ketertarikan pada Maura Teganya kamu Mas!"

"Anak-anak sudah bersahabat dengan Maura tinggal keputusanmu saja Aisyah," ucapnya seakan ingin mengakhiri perdebatan kami secepatnya.

"Aku tak tahu, aku akan salat dan mengadu pada Yang Kuasa," jawabku sembari mengumpulkan segenap kekuatan untuk bangun menuju ruang salat. Kupaksakan langkah meski tubuhku nyaris limbung, kepalaku sakit, seluruh sendi tubuh ini lemas seakan-akan tulang telah tercerabut dari badan.

"Ujian apa ini ya Allah? mengapa begitu berat cobaan yang Engkau timpakan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status