Share

Biarkan Alice melakukan tugasnya

Menjelang fajar, Fitri baru saja menjalankan ibudah subuh. Masih menggunakan mukena,  wanita bertubuh ringkih itu duduk termenung di tepi ranjang sejenak, ia merasa tadi malam ada orang yang memeluk tubuhnya. Pikirnya tak mungkin Bastian, sebab suaminya itu tengah menghabiskan malam panjang bersama madunya.

Puas bergelut dengan pemikirannya, wanita itu melepaskan mukenanya, lalu beranjak dari tempat tidur memulai aktivitasnya seperti biasa membantu menyiapkan sarapan untuk suaminya.

Sesampainya di dapur, Fitri lansung memasak di bantu bik Mar yang selalu datang tepat pukul 5 pagi. Bastian lah yang meminta bik Mar datang jam 5 pagi untuk membantu Fitri mengerjakan pekerjaan rumah. Bik Mar memang tak menginap, karna rumahnya tidak jauh dari kediaman Bastian.

Dengan cekatan Fitri mengiris sayur-mayur beserta bumbu dapur, seperti daun bawang, seledri, bawang merah dan bawang putih.

Hari ini Fitri berencana memasak sayur sop dan tahu goreng kripsi.

Selesai memesak Fitri segera mandi.

Setengah jam kemudian, Fitri mengulas senyum ketika melihat mertua dan kakak iparnya bertandang kerumah. Lantas ia pun mengejak mertua dan kakak iparnya itu sarapan bersama.

"Apa luka Bunda masih perih?" tanya Fitri sambil berjalan mengiringi mertuanya.

Ibunda Bastian menoleh, sambil menyunggingkan senyum. "Sakitnya sudah mendingan sih, tidak seperti tadi malam," jawabnya sehari duduk di kursi.

"Tidak usah sok perhatian kau!" dengus Rita, lalu duduk di sebelah bundanya.

Fitri hanya menghela nafas, melihat sikap iparnya yang semakin terang-terangan tak menyukai dirinya.

"Rita!" Wanita berusia 65 tahun itu melototi putrinya sesaat. "

Rita mendelik. "Oh ya, dimana Bastian dan Alice? Apa mereka kesiangan karna semalam menghabiskan malam bersama?" ucapnya sengaja memanas-manasi Fitri.

"Rita!" Sekali lagi mertua Fitri menegur putrinya. Meskipun ia juga tidak menyukai Fitri karna tidak bisa memberikannya cucu, tapi dia tidaklah membenci Fitri.

Rita cemberut sebab menurutnya Bundanya seakan membela Fitri.

"Tidak apa-apa Bunda, benar kata Mbak Rita sepertinya mereka memang kesiangan, aku tadi sudah menyuruh Bik Mar mengetuk pintu kamar mereka," Fitri menyentuh punggung tangan mertuanya.

Bunda Ira melemparkan senyum. Ia bingung kenapa menantunya ini tidak cemburu sedikitpun. Memang benar ia selalu bersitegang dengan Fitri, masalah cucu. Namun, ia tak pernah sama sekali meminta Fitri agar putranya menikah lagi.

"Nah, itu mereka pengantin baru kita!" Rita menunjuk ke arah Bastian dan Alice yang berjalan beriringan menuju meja makan.

"Alice apa tidurmu nyenyak?" tanya Fitri sambil mempersilahkan madunya duduk di sebelahnya.

Namun, bukannya menempati bangku yang di sediakan Fitri, Alice malah lansung duduk di bangku biasa ia duduki, tepatnya bersebelahan lansung dengan Bastian.

Fitri tergugu, perasaan cemburu menderanya seketika, apa lagi Bastian sama sekali tak menyapanya dari tadi. Akhirnya ia pun memilih duduk di amping mertuanya.

"Alice, wajahmu berseri-seri sekali. Pasti karna semalam Bastian menggempurmu habis-habisan ya?"

Pipi Alice merah merona mendengar perkataan yang di lontarkan iparnya barusan sambil sesekali matanya melirik Bastian.

"Rita!" tegur bunda Ira, ia merasa perkataan putrinya itu terlalu berlebihan.

Rita mengerucutkan bibir, tatkala bundanya kembali menegur.

"Mas aku ambilkan ya," Fitri dan Alice berkata serempak sambil berdiri dari duduknya masing-masing, keduanya pun kini saling tatap.

Bastian, bunda Ira dan Rita pun saling melempar pandangan, membuat suasana di meja makan itu berubah canggung seketika.

"Fitri, biarlah Alice yang melakukan tugasnya, karna ini pertama kali untuknya melayani suami," Bunda Ira memberi saran.

Fitri tersenyum kikuk, mengiyakan apa yang diucapkan mertuanya dan mempersilahkan Alice mengambilkan makanan untuk suaminya.

Bastian melirik Fitri. Sedari tadi ia memang menahan diri untuk tidak menyapa istri pertamanya itu. Kini, saking terlenanya melihat Fitri, Bastian sampai-sampai mengabaikan panggilan Alice, menanyakan makanan apa yang dia inginkan.

"Mas, Alice bertanya padamu mau makan apa?" Fitri membuyarkan lamunan suaminya

"Em, ambilkan aku sayur sop saja," jawab Bastian yang terlihat gelagapan.

Alice lansung mengambil sop di dalam wadah sembari memperhatikan Bastian dan Fitri yang saling pandang satu sama lain. Dia merasa menjadi orang ketiga di dalam pernikahan ini. Meski dari awal dia sudah tau akan di poligami, namun ketika melihat interaksi Bastian dan Fitri dia melah lebih banyak cemburu dan sakit sendiri.

"Alice kenapa kamu tidak makan?" tanya Rita, melihat Alice hanya diam saja setelah menyendokkan makanan untuk Bastian.

"Aku lagi gak enak badan, Mbak," Alice menjawab apa adanya. Memang benar, setelah berhubungan badan dengan Bastian tubuhnya memang terasa remuk.

Rita tersenyum penuh arti. "Sepertinya Bunda sebentar lagi akan menimang cucu," ucapnya sambil menyikut lengan Bunda Ira.

"Semoga saja, aminn," kata Bunda Ira. "Bastian, kamu jangan kasar-kasar sama Alice, kasihan dia," sambungnya.

"Aku yakin bulan depan pasti akan ada kabar baik untuk kita, aku sudah tak sabar, Bun. Setelah sekian lama akhirnya ada suara tangisan bayi di rumah ini. Kamu jangan banyak bekerja Alice, biarkan Fitri saja yang membersihkan rumah ini, lagi pula dia tak ada pekerjaan sama sekali di rumah ini. Toh anak saja dia tak punya," kata Rita, kemudian tersenyum sinis pada Fitri.

"Jaga ucapanmu Mbak! Fitri bukan babu! Dia istriku kami memang belum di berikan anak oleh yang diatas, bukan berarti kau bisa menghina seperti itu. Kanapa kah bicara tak memikirkan perasaannya," Bastian meninggikan suaranya, kata-katanya juga terdengar tajam di telinga Rita, membuat wanita itu tersentak kaget.

Rita tak terima Bastian membentaknya di depan Alice. "Kau sudah berani membentakku, Bas? Ingat aku ini Kakakmu! Sepertinya Fitri sudah mencuci otakmu! Apa yang kuucapkan itu memang fakta kan? Buktinya, dia memang belum punya anak sampai sekarang!" balas Rita tak kalah sengit

"Fitri tak mencuci otakku, tapi aku bersikap seperti ini karna Mbak bicara tanpa memikirkan perasaan istriku! Bagaiaman jika Mbak yang berada di posisi Fitri?"

Rita bungkam, ia melototi Fitri yang hanya diam saja.

Suasana di ruang makan begitu tegang.

"Sudahlah, Bas, Mbakmu mungkin tidak bermaksud begitu, kamu tau sendiri wataknya memang begitu. Lagi pula niatnya baik, menyuduruh Alice beristirahat dan meminta Fitri melakukan pekerjaan rumah. Bunda rasa Fitri juga tidak akan keberatan, iya kan  Fit?"

Fitri mengulas senyum. "Iya, aku tak keberatan. Nanti aku akan mengerjakan pekerjaan rumah,"

Bastian bangkit berdiri. "Aku bukan mempermasalahkan pekerjaan rumah, Bunda! Tapi aku mempersalahkan perkataan dia yang mengatakan tentang Fitri yang tidak memiliki anak! Apa jangan-jangan Bunda dan dia yang menghasut Fitri, memintaku agar menikah lagi!" amuknya seketika.

"Kenapa diam!"

Kedua tangan Bastian mengepal kuat, menahan amarah. Sudah habis kesabarannya, dari semalam dia telah pusing memikirkan sikap Fitri. Di tambah lagi mendengar perkataan kakaknya pagi ini, membuat ia tak mampu lagi membendung emosi.

Saat ini baik Rita atau pun bunda Ira bungkam. Bunda Ira sudah hapal sekali sifat putranya itu yang jarang sekali marah, namun sekali marah emosi putranya itu seperti gunung meletus.

"Rita!"

Wanita itu tersentak kala sang adik menyebut namanya. "Apa?" sahutnya ketus.

"Apa kau yang menghasut Fitri, memintaku menikah lagi?" tanya Bastian dengan nafas yang memburu.

Rita malah melirik Fitri.

"Rita! Kau tuli atau apa? Apa kau yang meracuni otak istriku, hingga dia mendesak ku agar mau menikah lagi?" ulang Bastian bertanya.

"Cukup Bas! Kau membuat Mbak kecewa! Kau itu adikku, tapi kau malah selalu membela Fitri! Wanita itu benar-benar telah menjadi parasit dihidupmu!" Suara Rita bergetar, matanya pun kini berkaca-kaca. Ia tak menyangka Bastian berani melawannya.

"Rita! Jawab tanyaku!" Bastian semakin murka, kali ini urat-urat di lehernya semakin terlihat jelas. Ia kesal, sebab Rita tak menjawab tanyanya, malah semakin melontarkan hinaan pada istri yang paling ia cintai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status