Share

Bab 2: Madu Jadi Ratu

***

Aku pikir semua yang terjadi kemarin hanya lah sebuah mimpi. Namun, nyatanya aku salah. Hendri telah tiada dan Andin akan segera  menjadi maduku.

Ibu, Bapak dan Mas Rafa memohon padaku agar menyetujui permintaan Hendri saat napas Hendri terasa semakin memendek. Andin pun melakukan hal yang sama. Wanita itu bahkan bersujud di kakiku. Berjanji bila aku menerimanya sebagai madu, maka ia akan bersikap baik kepadaku.

Sungguh bukan itu sebenarnya yang membuatku enggan di madu, tetapi hatiku yang tidak siap. Aku tak sanggup seseorang masuk ke dalam rumah tangga kami.

Lalu, Ibu memberi pilihan untuk bercerai saja dari Mas Rafa jika tak ingin di madu. Dan, Naura akan diasuh oleh mereka. Semakin hancur hatiku mendengar pilihan itu. Aku tidak bisa berpisah dari Naura. Oleh karena itu aku akhirnya menerima Andin sebagai istri Kedua Mas Rafa. Andin juga berjanji untuk selalu menghargaiku sebagai istri pertama Mas Rafa. 

Kemarin pula aku berjanji di depan Hendri bahwa Andin akan segera dinikahkan dengan Mas Rafa begitu masa idahnya selesai. Sampai akhirnya, Hendri mengembuskan napas terakhirnya.

Hendri langsung di makamkan kemarin pula.

Namun, hari ini rumah Ibu mertuaku masih dipenuhi kesedihan atas meninggalnya Hendri. Jujur aku juga merasa kehilangan meski Hendri kerap kali mengecewakan. Bagaimanapun juga dia tetap adik iparku.

Dari jarak Lima langkah aku melihat Mas Rafa sedang berusaha menenangkan Andin. 

"Sabar ya Andin, Mas Rafa di sini. Mas akan berusaha menjaga amanat Handri," ucap Mas Rafa sembari memeluk Andin. Tentu aku harus menahan rasa cemburu karena Andin membutuhkan Mas Rafa meski mereka belum resmi menjadi pasangan suami istri. Sudah seharusnya Mas Rafa menyayangi Andin seperti yang Hendri harapkan. 

Aku mendekat setelah membiarkan Naura menyusul neneknya keluar. Seperti yang Mas Rafa lakukan, aku pun ikut mendekap bahu Andin. "Iya, Ndi, kamu yang sabar ya. Mbak juga akan jagain kamu seperti adik sendiri," ucapku ikut menenangkan.

Andin yang masih menangis menoleh padaku. "Terima kasih, Mbak," balasnya. Lalu kembali menoleh pada Mas Rafa. "Mas, tolong temanin aku ke kamar," pintanya.

Mas Rafa menoleh padaku, seperti meminta izin. Aku hanya bisa mengangguk mengiakan. Mereka berdua pun menuju kamar yang dulu Andin dan Hendri tempati. Kugigit bibirku kuat saat pintu kamar ditutup oleh Mas Rafa ketika keduanya masuk ke sana. Ada gejolak rasa cemburu di hati ini, tetapi sebisa mungkin aku menepisnya. Semua demi amanat Hendri yang terlanjur aku setujui. Semua demi Naura yang seharusnya mendapatkan kasih sayang utuh. 

*** 

Hari-hari berlalu setelah itu. Tidak terasa Dua bulan sudah Hendri meninggalkan dunia ini. Andin pun telah tinggal di rumah kami. Dia resmi menjadi istri kedua suamiku.

Andin sangat manja pada Mas Rafa. Dia selalu membutuhkan Mas Rafa. Dia juga tak pernah mengerjakan pekerjaan rumah seperti diriku. Hal itu aku maklumi karena berpikir Andin masih sedih pasca Hendri meninggal. 

Namun, rasa maklum itu hilang kala memasuki bulan Ketiga. Sikap Andin mulai terlihat keasliannya.

"Ndin, Naura rindu Ayahnya," ucapku membuka obrolan pagi itu bersamanya di dapur saat kami berpas-pasan ingin minum.

"Maksud Mbak Zahra?" Andin bertanya. Aku tersenyum lembut membalas kebingungannya.

"Biarkan Mas Rafa tidur di kamar kami malam ini ya? Kamu pasti sudah bisa tidur sendiri, kan," pintaku dengan baik-baik. 

Namun, tahu apa balasannya? Andin mengempaskan gelas yang ia pegang ke atas meja. Beruntung gelas tersebut tak sampai pecah. Sungguh aku terkejut melihatnya. 

"Mbak nggak lihat aku masih sedih begini?" tanyanya sambil menatap tajam diriku.

Dalam hati aku bertanya-tanya kenapa maduku berubah kasar seperti ini hanya karena aku ingin Mas Rafa menginap di kamarku malam nanti. Semua juga karena Naura yang hampir setiap malam menanyakan keberadaan ayahnya.  Aku kasihan padanya hingga bicara baik-baik pada Andin. Namun, balasannya justru sebaliknya.

"Mbak nggak kasihan sama aku? Kalau bukan Mas Hendri meninggal, aku juga nggak akan menikah dengan Mas Rafa begini!" ujar madu wasiat adik iparku itu.

Jantungku berdebar kencang mendengar kata demi kata yang dia keluarkan. Ke mana sikap santunnya? Bukankah dia berjanji akan menghargaiku sebagai istri pertama Mas Rafa? Tapi, kenapa dia seolah menjadi ratu di rumah ini? Seenaknya sendiri tanpa memikirkan perasaanku dan Naura. Aku saja terkejut karena Mas Rafa tak lagi tidur sekamar denganku, bagaimana dengan Naura? Tentu ia bertanya-tanya kenapa ayahnya tak lagi bersama kami. 

"Oh, atau Mbak cemburu karena setiap malam Mas Rafa tidur di kamarku?"

Mendengar itu membuatku kesal. "Andin!" ujarku bermaksud mendegurnya. Namun, suara lain ikut membentak setelah itu. "Ada apa ini?" Mas Rafa, dia pemilik pertanyaan itu.

Aku menoleh, sedangkan Andin tiba-tiba berlari lalu memeluk Mas Rafa mesra. "Mas tolongin, Mbak Zahra bentak-bentak aku," adunya. "Mbak Zahra nggak suka Mas Rafa tidur di kamarku setiap malam. Padahal kan aku masih butuh Mas Rafa," ucapnya melanjutkan.

Aku terdiam, tak menyangka Andin akan mengadu seperti itu pada Mas Rafa. Kini aku tahu tujuan Andin menjadi istri Kedua Mas Rafa. Dia ingin menjadi ratu setelah menjadi madu. Aku yang tertipu karena mempercayai janjinya waktu itu. 

.

Bersambung. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Neil Lita
istri bodoh, rasain luh punya madu hahaha
goodnovel comment avatar
Izha Effendi
tu lh kau bodoh...makan tu madu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status