"Ada proyek baru yang sangat menjanjikan, menurut kalian apa perusahaan akan menolaknya? Satu hal, jika kalian berhasil menyelesaikan tugas ini sesuai deadline, kalian akan diberi bonus dan liburan."
Penuturan Fito mengakhiri rapat siang itu. Sebagian terlihat bersemangat dan ada juga yang masih keberatan atas keputusan perusahaan."Menurutmu, apa kita bisa menyelesaikan desain itu sesuai deadline, Gi?" Karina yang sudah duduk di tempat kerjanya, tampak ragu."Kita coba aja dulu. Percuma ngedumel kayak yang lain. Habisin tenaga!"Wanita berambut tipis itu mulai membuka laptop dan sedikit melirik ke arah Darren dan Emma yang berjalan melewati di depan meja. Hanya Emma yang menengoknya sekilas lalu melangkah lebih cepat agar dapat mensejajarkan langkah suaminya."Biasanya dikasih waktu sebulan loh, Gi. Aku nggak gitu yakin bisa selesai sesuai keinginan Pak Darren dan Pak Fito. Ekspetasi Pak Darren terlalu tinggi."Karina masih me"Lain kali jangan melupakan sesuatu yang penting dalam hidup kita, Gi.""Aku ingat banget kalau aku tidak memindahkannya dari tas. Dan aku seyakin-yakinnya karena aku pun tak ganti tas sejak Minggu kemarin. Jadi ...."Jacky hanya memberi senyuman sambil melipat kedua tangan di depan dada. Dia tahu betul salah satu kelemahan wanita yang sedang berceloteh ala anak remaja itu, yaitu ceroboh dan pelupa. Melihat senyum di wajah tampan yang terkesan tak percaya padanya, Gian pun mengajurkan napas pelan."Kamu tak percaya denganku? Kali ini aku sudah meyakinkan ketelitianku, nggak teledor seperti dulu-dulu. Hei, orang pasti bisa berubah, kan?"Mengangguk dengan senyuman yang semakin melebar, Jacky geli sendiri melihat mimik wajah Gian mengutarakan isi hatinya. Lalu, tangan kanan itu merapikan anak rambut yang jatuh di sisi kepala. Meski terlihat sedikit acak, tetapi perempuan yang penyuka mie Aceh itu tetap manis di matanya."Iya, iya, aku perca
Kemarin, di sisi lain yang terjadi. Setelah melihat Giandra keluar dari perusahaan, Darren yang baru sampai di parkiran pun mengurungkan niat masuk ke kantor. Dia memang baru mengantar Emma pulang sore itu setelah bertemu klien jam tiga tadi.Darren melihat Gian berjalan tergesa-gesa sambil memainkan ponsel, memantik rasa penasaran apa yang terjadi. Apalagi pria dewasa itu dapat menangkap raut wajah Gian yang tidak bersemangat seperti biasanya. Dari situlah, dia berniat mengekorinya dari jauh. Langkah kaki si atasan dipercepat ketika melihat Gian melakukan hal yang sama. Sampai dia memergoki seorang pria memang sengaja menubruk tubuh wanita itu saat Gian menunduk dan fokus pada ponselnya.Ah, sungguh sembrono perempuan itu. Dia tak tahu jika aksi yang dilakukan pria itu sangat merugikannya. Jelas di mata Darren terlihat kecepatan tangan si pria berjaket hitam itu mengambil sesuatu yang ada di dalam tas Gian di mana resleting itu sedang terbuka.Menggeleng,
"Ganti! Ini sama sekali tidak sesuai dengan kriteria perusahaan."Sebuah map berisi desain sofa yang dibuat Gian, dilempar asal. Darren menatapnya dengan sorot remeh. Jantung si wanita nyaris berhenti berdetak tatkala mendapat tindakan dadakan yang kesannya sedikit kasar. Mengatur irama napas, Gian pun mencoba menarik udara dalam-dalam."Tapi menurut saya ....""Klien kita kali ini bukan diperuntukkan warung kaki lima, kamu paham itu? Hotel kelas berbintang lima. Dan barusan yang aku lihat hasil yang kamu buat sama sekali tidak bergengsi. Kamu bisa kerja apa nggak?"Wajah Darren sedikit memerah kala Giandra masih berani menyahutinya. Sang atasan belum pernah menemukan sikap yang sama dari karyawan lain. Rata-rata semua bawahannya akan menunduk dan mangut jika dia sedang merevisi atau mengomel.Merasakan aura otoriter Darren, wanita itu memilih membuang pandang ke arah jendela kaca di mana langsung menampilkan gedung Jakarta yang lebih mir
Mendengar penuturan Karina, bulu kuduk Gian merinding. Diam-diam dia pun membenarkan ucapannya. Apalagi dia tahu betul bagaimana sikap sang atasan terhadapnya. Tidak ada manis-manisnya, sikap Darren dingin yang siap membekukan seluruh pembuluh darahnya. Tatapan Darren selalu tajam kecuali saat peristiwa malam itu terjadi kala sang suami palsu tersebut merenggut kesuciannya. Darren terlihat berbeda dari biasanya. Berg@irah, tatapan sayu dan tutur kata yang lembut sambil mengucapkan maaf berulang kali.Sebuah dehaman mengalihkan perhatian dan pandangan Karina dan Gian ke sumber. Darren dengan melipat tangan di dada, menyoroti seluruh ruang khusus anak desain sebelum memerintahkan. Karina tampak menggigit bibir, khawatir apa yang diucapkan Gian tentang atasan tadi, terdengar olehnya. "Masih banyak yang belum sesuai kriteria dan saya harap kalian tidak patah semangat untuk mencari ide-ide baru. Ingat, proyek kita kali ini bukan untuk kelas bawah. Hotel bintang lima ka
"Apa kamu nggak tahu, arti bahaya yang akan selalu mengintai saat kita lengah?" tanya Darren, dengan mata setengah melotot ke arah Gian yang duduk di hadapannya.Wanita itu hanya menunduk, nyalinya menciut kala mendengar suara penuh penekanan tengah menginterogasinya. Seolah saraf otak sebagian putus, ia kehilangan kemampuan berbicara. Ingin membela diri tetapi ia rasa percuma. Lantaran setiap kali ia mencoba mengangkat kepala dan membuka mulut, pria itu langsung menyela, seakan-akan tak memberi kesempatan untuknya mengutarakan isi hati."Apa kamu tidak berpikir panjang, betapa besar nyali yang kamu punya, membawa pria asing masuk ke dalam sini? Berduaan dengan pakaianmu seperti itu."Gian memejamkan mata, mencoba meredam kekesalan sebab pria itu kembali mengingatnya tentang pakaian yang dikenakan. Memang letak kesalahannya ada di mana? Toh, dia menutup semua bagian vital tubuhnya. Belahan di dada pun tak tampak sama sekali meski lekuk tubuh memang kentara
Darren pun turun tangan sendiri mengecek keadaan mesin tersebut. Rupanya hanya kabel yang terputus karena tergigit oleh semut merah. Lalu, dia mencoba menyambung kembali dan hasilnya mesin itu kembali beroperasi dengan baik."Lain kali kalau ada kerusakan apa pun yang ada di apartemen ini, jangan sembarangan menyuruh orang memperbaikinya. Kamu paham?"Nada itu terdengar sedikit lembut. Darren harus menguasai diri dan menyadari bahwa wanita di depan bukanlah Jasmine seperti dugaannya. Kedua wanita itu mirip wajahnya saja. Sikap dan akhlak jauh berbeda. Baginya, Jasmine itu lembut dan beritikad baik. Giandra sedikit kasar dan terlalu berani. Namun, ada satu yang nyaris tak berbeda yaitu cara Gian bertatap sama dengan mata wanita masa lalunya."Ya, sudah. Kamu mandi dan istirahat."Pria itu memutar badan dan keluar kamar lalu menutup pintu. Gian merasa sedikit heran dengan perubahan sikap itu, pun bisa mengelus dada, lega. Lantaran si atasan tidak me
Mungkin, Darren kecewa dengan jawaban singkat tersebut. Air muka itu berubah sangat kentara. Sikapnya masih terlihat acuh dan masa bodoh. Namun siapa tahu, jika hati dan otaknya menolak untuk menerima kenyataan yang baru diakui Giandra."Sebenarnya kamu tak perlu membuat hidupmu menjadi serumit ini. Demi uang, kamu rela menjatuhkan harga diri lalu diinjak seenaknya ...."Kali ini, gantian Giandra memotong pembicaraan dengan cepat. Dia tak terima dengan kata menjatuhkan harga diri demi uang yang dinobatkan untuknya."Rumit? Setiap orang mempunyai definisi rumit yang berbeda-beda. Jika kutanya, apakah ada kehidupan yang mudah tanpa hambatan? Jika ada, bisakah Bapak tunjukkan jalannya kepadaku?"Nada penuh penekanan yang sengaja dibumbui dengan sapaan hormat 'Bapak'. Dada Gian terlihat naik turun saat mengucapkan apa yang dirasakan sekarang. Belum puas menghardik, dia pun melanjutkan sebelum Darren berhasil membuka mulut dengan salah satu alis yang t
Usai mendengar nada ketus dan kepergian Gian di meja makan tadi pagi, Darren merasa sedikit bersalah. Pria itu merasa khilaf karena tak pandai memilah kata dengan benar. Si wanita pasti sakit hati dengan kalimat yang tak sengaja diucapkannya. Niat bukan meremehkan. Dia hanya ingin mengingatkan, betapa besar harga diri seorang wanita dan tidak perlu melakukan hal seperti itu. Namun, siapa sangka cara penyampaiannya disalahartikan wanita tersebut.Diam-diam sang atasan sempat melirik ruangan Gian sebelum melangkah masuk ke ruangannya. Tentu saja, wanita tersebut tak tahu karena posisi duduknya menyamping dan tampak serius dengan layar yang ada di depannya. Begitu pula waktu jam istirahat, Darren melihat Gian keluar dari ruangan dengan wajah murung. Lalu, dia pun ingin tahu apa yang akan dilakukannya. Dengan langkah pelan, si lelaki tampan membuntuti kaki Gian berjalan. Aneh, wanita itu sepertinya tak tahu kalau ada yang sedang mengikuti dirinya.Namun, Dar