Bang, kasih tau kak Aini Hendra masih bobok. Mey pergi terus takut telat.”
“Mey? Sampai kapan kamu kek gini! Apa sih yang kamu cari … kasian Hendra ditinggal terus, Mey?!” “Aku harus kerja, Bang? Udahlah.. stop ngurusin aku. Baiknya, abang cari pekerjaan sana--”“Baik. Abang akan cari pekerjaan tapi tolong! Tolong kamu berhenti dari perusahaan itu.” Meylani menatap suaminya dari pantulan cermin di mana Halim baru saja bangun dan duduk di pinggir tempat tidur memperhatikan sang istri sedang berdandan. Entah kenapa, pria itu mulai keberatan dengan sistem kerja istrinya yang pergi pagi, pulang malam sementara buah hati mereka seharian penuh dalam kasih sayang Auntinya. “Apa abang bilang. Berhenti!” Wanita itu membalikkan badan menghadap sang suami. “Tidak akan pernah. Abang tau kenapa! Karena Mey yakin. Abang tidak akan pernah mendapat pekerjaan, karena kerjaan abang itu selalu mabuk-mabukkan. Oh, abang lupa? Gak di Australi, gak di kampung, kerjaSetiap pertemuan, pasti ada perpisahan. Di mana perjalanan hidup selalu dihadapkan dengan pepatah itu. Rela gak rela, seseorang harus ikhlas menerimanya. Lantas, bagaimana dengan seuntai kisah cinta yang kandas di tengah jalan! apakah, kekecewaan akan membuat yang mengalaminya ikhlas! pada hakikatnya begitu ya? proses penerimaan akan sebuah kenyataan pahit memanglah berat. Namun, lambat laun ketika kita ikhlas semuanya pasti baik-baik saja.Kalaupun, ada orang yang menyesali pertemuan! namun, ia juga harus menyadari sebuah takdir. Tidak ada hidup tanpa pertemuan dan perpisahan.Seiring waktu berjalan, semua itu akan menjadi masa lalu, rela tidak rela. Terus! bagaimana dengan seorang pria yang sekarang terlunta-lunta dalam kisah cintanya yang kandas di tengah jalan! belakangan terdengar, hidupnya tak tentu arah. Ia terpuruk, dan prustasi. Hal itu di diberitahukan Sonya pada Farida. Dan, mereka berdua semakin kasihan dengan kondisi Victor saat ini."Harusnya, Aini
Suara dentingan sendok terdengar dari arah dapur. Aroma masakan menyeruak masuk ke setiap ruangan dan seketika menggugah selera. Rasa lapar pun, ingin segera menyantap. Namun, sepertinya, harus malu-malu dan mungkin juga sedikit segan.Arloji menunjukkan 9 pagi. Bisa dikatakan, itu adalah waktu rawan lapar. Seorang pria tampan terlihat mondar-mondir di kamarnya sambil memegang perut yang tengah keroncongan. Ia segan ke dapur, karena Meylan tidak pernah lagi menemaninya sarapan semenjak perempuan itu sibuk bekerja. Malah, pagi-pagi Meylan sudah pergi tak menghiraukan apapun kebutuhan suaminya lagi."Mey ... kenapa sih, kamu berubah kek gini!" Halim berkata sendiri dengan kekesalan dalam hati. Sementara, perutnya semakin melilit kelaparan. "Kira-kira siapa ya? di dapur. Gak biasanya? harum kek gini?" ucapnya lagi. "Apa ... langsung ke dapur aja ya? tapi, kalau ada papa gimana!" Halim berpikir sejenak, lalu tanpa mau panjang-panjang, ia memutuskan keluar untuk mengecek si
Harterus beranjak meninggalkan sepenggal kisah yang hampir usang ditelan derita masa, terabadi dalam sekeping dosa terbungkus rapi di lubuk hati gadis bernama Anggraini. Dara manis nan rupawan itu kian hari kian larut dalam ratapan kegagalan, dan kehanncuran yang kini terus menggerogoki jiwa dan kehidupannya. Luka dan dosa itu telah berakar bak kanker ganas serasa melumpuhkan semangat serta asa-asa yang dulu ia gantungkan pada sebuah gelar S2-nya. duduk termenung di balkon kamarnya sambil menatap hanphone di mana sebuah pesan email masuk yang mengabarkan jadwal resmi wisuda pasca sarjana bertempat di gedung serbaguna universitas ternama Medan tempat dirinya kuliahAdalah, impian yang ia tunggu-tunggu selama ini bisa memakai jubah dan toga kebanggaan sebagai bentuk kesuksesannya dalam meraih cita-cita. Namun, semua itu kini tinggal mimpi disebabkan oleh Rafli sang papa tidak mengizinkannya untuk memetik itu semua. Rafli juga bilang ketika
"Dia gak ada di sini. Kau liat sendiri kan.""Aku tau.""Kau mau ke mana? apa gak sebaiknya kau telephone dia. Apa ... hanphonenya belum aktif?"Laki-laki itu menghentikan langkahnya namun tak lagi menghadap lawan bicaranya. Ia menghela nafas menadahkan sedikit wajahnya ke atas"Aku gak tau Son," balasnya singkat lalu berjalan pasrah meninggalkan arena yang dipenuhi manusia-manusia bertoga. Gadis yang bernama Sonya hanya mampu menatap kepergian sahabatnya dengan hati menjerit. Ia baru menyadari kalau cinta telah membuatnya benar-benar hancur dan prustasi.Sonya Felida sengaja datang di tengah-tengah acara wisuda dengan harapan Anggraini hadir mengikuti wisudanya dan ia janji ketemu dengan Victor guna sama-sama melihat kehadiran Aini. Namun, harapan tinggallah harapan karena kenyataannya Aini tidak menampakkan batang hidungnya. Gadis itu terdaftar sebagai peraih cuamlod terbaik, akan tetapi, hingga beberapa kali panita memanggilnya untuk naik
"Bang, Hendra nangis, bangunlah! apa tidurmu mati, tidak bisa mendengar suara tangisan anakmu.""Iya, Mey? tapi kamu kan ibunya?""Dengar ya, bang. Aku tidak ada waktu mengurusnya sekarang. Kerjaanku banyak dan aku harus segera berangkat ke kantor. Terserah abang, aku capek."Kebiasaan pagi yang begitu dramatis di mana sepasang suami istri yang selalu saja bergelut dengan dilema dalam mengurus anak. Meylan keluar dari kamarnya dengan membanting pintu sekuat tenaga. Sementara di dalam. Hendra menangis sampai mata cipitnya tertutup rapat. Sungguh miris nasipnya, masih kecil aja ia harus mengemis kasih sayang dari ibunya sendiri yang lebih memilih pekerjaan dari pada dirinya.Halim sang Ayah bangkit dari pembaringannya dengan mata masih mengantuk. Ia mendekati rice box bayi di mana Hendra masih menangis kencang. Pria berambut blonde itu menatap perih kondisi putranya, lantas ia menggendong dan menidurkan di pundaknya sambil membacakan selawat aga
Aini nampak murung pasca dua hari yang lalu kejadiannya dengan Halim. Ia lebih banyak diam dari pada berbicara. Paling barter kalau mamanya nanya, itupun, lama jawabnya. Entahlah, kejadian itu semakin memforsir pikirannya memikirkan tentang nasip. Buruknya yang dilalui gadis itu karena telah menjadi orang yang paling hina sehingga Halim tega melecehkannya. Kadang, hari ini ia mengakhiri semuanya dengan menggantung diri. Namun, ia menormalkan pikiran bahwa itu hanya akan membuatnya lebih hina dari sebuah pelecehan. Pagi ini, ia berniat pergi ke suatu tempat dan akan tinggal beberapa hari di sana untuk menenangkan diri. Tapi sepertinya itu tidak mungkin. Lagi-lagi Meylan menitipkan Hendra padanya biarpun ia menolak. Meylan gak perduli dengan menaruh Hendra di ayunan setelah itu perempuan itu pergi gitu aja. Aini mendengus, merasa kesal yang tidak ada artinya. Ia hanya sendiri di rumah. Sementara yang lain pada pergi melakukan aktivitas masing-masing. Aini termenung menatap Hendra yang t
"Ain, nanti malam wak Omar dan keluarganya datang bertamu ke rumah kita." Aini menatap dingin sekilas wajah Rafli tanpa niat berkomentar. Ia menelan perlahan makanan dalam mulutnya sambil berpikir siapa orang yang dimaksud papanya"Iya, sayang? om Omar sudah lama nggak berkunjung ke tempat kita," tambah Kartini membenarkan. Suasana meja makan lengang seperti biasa. Hanya ada Anggraini dan kedua orang tuanya. Aini meneguk air putih dalam gelasnya, tidak sedikitpun menanggapi"Kamu bersiaplah, karena mereka datang melamar kamu untuk putranya. Dia Febby Irawan, anaknya santun berpendidikan," jelas Rafli santai tak berusaha melirik Aini. "Om Omar satu garis nasap dengan kita, jadi kamu tidak perlu ragu," lanjut Rafli sambil membilas tangannya dalam koboan. Aini menatap bergiliran pada wajah yang mulai menua itu dengan perasaan gundah. Ia tau dirinya sedang dijodohkan, dan baginya itu tidak masalah. Namun, ia belum tau apakah lelaki yang bernama Febby itu bisa menerima dirinya yang sudah t
Aini menelentangkan tubuhnya di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Matanya sayu menerima jilatan cahaya lampu tepat di atas mukaknya. Gadis itu terhenta, pasrah dan menyerah. Keputusan satu jam yang lalu begitu perih menggores hatinya. Akan kah, ia rela ditunangkan? sementara, Febby saja tidak menginginkan perjodohan ini.Mirisnya, kisah hidup anak-anak cucu Syahbandar karena harus menikah dengan sesama bangsawan yang malah mereka sendiri punya pilihan masing-masing.Terkadang, Aini menyesal telah meninggalkan Victor demi orang tuanya, dan seandainya ia bisa memutar waktu, ia ingin mengulang semuanya dari awal. Lah! penyesalan selalu datang di akhir, pikirnyaSelanjutnya, Aini bangun melepas semua pakaian dan menggantikannya dengan setelan piama. Ia ingin tidur, ingin meneggelamkan semua permasalahan hidup yang tiada akhir. Namun, sebelum itu ia mengetik sesuatu di hanphonenya dan mengirim pada seseorang agar menunggunya esok, setelah i