"Terima kasih karena telah membantuku, kalau tadi Tuan tidak datang. Mungkin saja aku tidak bisa kabur," ucap Vivian sambil menunduk. Ia sedih setiap mengingat sikap orang tuanya.
"Jangan sungkan! Semua itu sudah berlalu. Kamu akan mulai hidup baru setelah tinggal di kota," jawab Jaksa dengan senyum.
"Dengan tersenyum, ia mengucap," Aku tidak akan mengecewakanmu."
***
Di sisi lain rekaman Liza yang digilir oleh beberapa pria telah tersebar. Kejadian tersebut menjadi bahan pembicaraan bagi masyarakat.
Keluarga Ocyman adalah salah satu pengusaha yang mempengaruhi bagian Amerika. Kejadian yang menimpa Putri tunggal keluarga kaya raya itu telah mencemarkan nama baik keluarga besarnya.
Daniel Ocyman adalah sang ayah yang dikenal tegas dan kejam. Pria paruh baya itu sedang duduk di ruangan kantor melihat rekaman di televisi berukuran jumbo yang di depan matanya.
"Tuan, Nona dia...." seorang pria muda yang adalah asistennya baru masuk ke ruangan itu. Ketika ia ingin bicara langsung dihentikan oleh atasannya.
"Cari orang yang menyebarkan rekaman ini! Aku tidak ingin melihatnya lagi!" perintah Daniel yang sedang menahan emosi.
"Iya, Tuan," jawab Asistennya dengan patuh.
Rumah Sakit LA.
Liza yang rawat inap di rumah sakit telah melihat rekaman itu yang tersebar. Dirinya yang emosi langsung melempar gelas ke arah televisi itu.
"Aahhh...."
"Kenapa...apa masih belum cukup aku menderita sehingga rekaman ini harus disebarkan. Kenapa Kian tidak menjawab panggilanku?" ketus Liza dengan kesal.
“Bahkan pesanku juga tidak dibalas,” gumam Liza.
Tidak lama kemudian Kian mengunjungi rumah sakit dan menemui kekasihnya.
Klek..
"Liza," seru Kian.
"Kian, kenapa kamu tidak menjawab panggilanku? Ada apa kamu?" tanya Liza yang turun dari kasur dan memeluk pria itu.
Ia mengira pria itu masih peduli dan mencintainya.
“Semuanya tidak benar sama sekali, rekaman itu palsu,” jelas Liza yang berusaha menyakinkan pria itu agar tidak meninggalkannya.
Kian tanpa reaksi sama sekali dan melebarkan kedua tangannya. Seakan tidak ingin menyentuh wanita itu. Ia merasa jijik dan muak.
“Lepaskan tanganmu!” pinta Kian.
"Kian, aku tahu kamu percaya padaku, kan? Semua itu hanya rekaman yang telah direkayasa oleh seseorang," ucap Liza yang memeluknya semakin erat.
“Lepaskan tanganmu!” bentak Kian yang mendorong wanita itu hingga tersungkur.
"Aahhhh....!"
Liza merasakan hatinya tercabik-cabik oleh sikap pria itu yang terus menerus melukainya. Rasa sakit yang luar biasa di bagian bawah tubuhnya seolah menambah beban perasaannya. "Kenapa kamu bicara seperti itu?" tanya Liza dengan mata yang berkaca-kaca. Air mata tak tertahankan itu akhirnya jatuh membasahi pipinya yang pucat. Pria itu tampak tidak peduli dengan rasa sakit yang dirasakan Liza, malah terus saja melontarkan kata-kata yang menyakitkan
"Apa yang kamu inginkan? Apa yang harus aku lakukan padamu? Rekaman palsu? Semua di dalam rekaman itu adalah asli. Kenapa masih harus berbohong," bentak Kian.
"Kenapa kamu menyalahkan aku? Aku adalah korban. Kenapa kamu tidak datang di saat aku menghubungimu," teriak Liza.
“Aku sedang sibuk dan tidak tahu ada panggilan,” jawab Kian yang berusaha membela diri.
"Kian, kita sudah mau menikah, bukan? Aku tahu kau masih mencintaiku. Jangan membenciku! Tolong aku menghapus rekaman itu dan bantu aku menangkap orangnya. Saat ini papaku sudah melihatnya. Dia akan marah dan bahkan membunuhku," ujar Liza yang memegang tangan pria itu.
Kian yang merasa jijik langsung menepis tangan wanita itu.
"Kita tidak mungkin menikah," jawab Kian yang menjaga jarak dengan Liza. Ia berharap bisa menjauh dari wanita itu.
"Apa yang kamu katakan?"
"Rekaman itu sudah dilihat jutaan orang, Papa dan mamaku sudah melihatnya juga. Tidak mungkin aku harus menikahimu setelah apa yang terjadi. Liza, kita putus!" Liza semakin histeris dengan ucapan yang dilontarkan kekasihnya itu. Ia langsung menampar wajah Kian dengan rasa hampa.
papan...
"Keterlaluan! Kau memutuskan aku karena menjadi korban pemer.ko.sa.an. kau bukan pria yang bertanggung jawab. Kau jangan lupa, Kian Salveston! Malam pertamaku telah diambil olehmu," ketus Liza.
Kian tertawa kecil, "Kenapa kalau memang aku yang mengambilnya? Kau bukan wanita pertama yang aku tiduri. Sudah banyak gadis perawan yang aku dapatkan sebelum ini."
"Setelah Vivian Alexander, sekarang giliranku menjadi korbanmu. Kian Salveston, kau sangat keterlaluan," bentak Kian.
"Aku akan menikah bulan depan, Kita jangan bertemu lagi!" ucap Kian yang melangkah menuju ke arah pintu.
Bagaikan disambar petir setelah mendengar setiap ucapan dari pria itu. Liza langsung terduduk tidak berdaya dan menangis. Dirinya dicampakan begitu saja setelah menerima perlakuan bejat dari para pria asing itu.
"Kian Salveston, anak gadis siapa yang menjadi korbanmu selanjutnya? Menikah? Jangan berharap! Aku akan muncul di saat itu dan mengagalkan pernikahanmu. Selama ini keluargamu tidak tahu hubungan kita. Lihat saja nanti. Aku akan mengungkap semuanya," ucap Liza yang mengepal kepalan tangan.
***
Micheal menurunkan Vivian di depan kediaman yang bak istana yang diramaikan oleh sejumlah orang yang ikut melamar kerja di sana.
Terlihat juga beberapa pria yang berpenampilan rapi yang sedang berdiri di luar kediaman itu. Mereka berpostur tinggi dan tegap serta berdiri tepat di luar kediaman untuk mengawasi semua orang yang di sana.
"Siapa mereka dan kenapa aku diantar ke sini? Sepertinya mereka bukan orang sembarang? Ini istana bukan Villa lagi," gumam Vivian.
“Jaksa itu juga tidak memberitahu siapa yang tinggal di kediaman itu,” batin Vivian.
Vivian kemudian berjalan mendekati salah satu wanita yang berpenampilan rapi dan sifat yang arogan.
"Bibi, Maaf, nama saya adalah Vivian Alexander. Saya datang untuk melamar kerja," sapa Vivian dengan sopan.
Wanita itu melanjutkan penjelasannya," Hari ini, kalian akan diuji kemampuan memasaknya. Siapa yang bisa memasak sesuai selera tuan rumah, maka dialah yang akan dipilih untuk bekerja di sini!" Para kandidat, termasuk Vivian, merasa tertantang. Mereka bergegas menuju dapur yang telah disiapkan, mengenakan celemek, dan mulai memilih bahan-bahan yang akan digunakan untuk memasak. Vivian merasa jantungnya berdebar kencang. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan emas baginya untuk bekerja di kediaman yang mewah ini. Namun, rasa takut akan kegagalan dan rasa canggung di hadapan para pesaingnya membuat Vivian merasa tidak yakin.
Sementara Michael berada di kantornya sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya.
"Tenang saja! Aku sudah mengirimnya ke kediaman Jendreal!" kata Michael dengan duduk santai.
["Sekian banyak pilihan, kenapa kediaman itu yang kau pilih? Apa kau sudah bosan hidup?"] Suara seorang pria yang berada di tempat lain.
"Ayolah, saudaraku. Kamu berharap dia berada di tempat yang aman, kediaman Jenderal adalah tempat yang paling aman. Dia hanya perlu menjadi koki yang hebat dan tidak perlu keluar dari kediaman. pilihanku tidak salah."
["Apakah aku harus memujimu?"]
"Tidak perlu! Bukankah kamu lebih tenang kalau dia tinggal di sana? Tidak ada yang akan menyakitinya atau menipunya. Terutama, dia tidak akan bertemu lagi dengan mantan suaminya yang brengsek itu. Seharusnya, kamu berterima kasih padaku!" lanjut Micheal.Tanpa seorang pun menyadari, sebelah bibir sang Jenderal terangkat ke atas.Sebentar lagi, Vivian-nya akan berada di dekatnya.... Kali ini, dia tak akan kecolongan lagi, seperti waktu itu!
Vivian merasa sangat gugup saat berada di dapur besar kediaman itu, diapit oleh peserta lain yang juga bersemangat untuk menunjukkan kemampuan mereka. Ia menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk berkonsentrasi pada tugas yang diberikan. Kepala koki, seorang pria paruh baya dengan wajah tegas, berbicara dengan suara keras yang menggema di seluruh ruangan."Kalian semua harus ingat, setiap makanan dan minuman harus perhatikan dengan teliti. Bagi yang lulus harus memahami apa kesukaan majikan kalian dan apa yang tidak disukai oleh beliau," kata kepala koki tersebut sambil mengawasi para peserta yang sibuk menciptakan hidangan terbaik mereka.Vivian gugup dan mengigit bibirnya karena dirinya yang sama sekali tidak begitu mahir dalam menyediakan hidangan.Di sekelilingnya, para peserta lain juga tampak serius dan fokus. Beberapa di antara mereka saling berbicara, berbagi resep atau berdebat tentang cara terbaik untuk mengolah bahan tertentu. Namun, Vivian memilih untuk tetap diam dan be
Jenderal yang tinggi besar itu berdiri tegap, alisnya menyatu tanda kesal mendengar jawaban Vivian. "Lantas, untuk apa kamu minta maaf kalau tidak mengaku salah?" tanyanya dengan suara yang berat dan tegas. Gadis itu tak gentar, tatapannya tetap tajam menatap mata sang Jenderal. "Gadis ini cukup berani melawan, unik sekali," gumam Jenderal dalam hati, sedikit terkesan dengan keberanian Vivian. "Ini adalah perintah dari kepala koki, saya hanya menurut saja," jawab Vivian dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan. Ia tak ingin disalahkan atas sesuatu yang bukan kesalahannya. Di sekeliling mereka, asisten rumah tangga, kepala koki, serta semua pelayan di sana hanya bisa diam dan cemas. Mereka menahan nafas, menunggu reaksi sang Jenderal yang terkenal keras kepala dan galak. Siapa pun yang berani melawan sang Jenderal tentu saja harus menanggung akibatnya. "Luar biasa sekali, Sepertinya kamu datang bukan untuk menjadi pekerja bagian dapur. Akan tetapi, datang untuk mengantar
Sang Jenderal kini duduk tegak di kursinya sambil menatap tajam ke arah Vivian yang berdiri tegak di hadapannya. Di atas meja makan, terlihat sepiring pancake bermotif Hello Kitty yang baru saja diletakkan oleh Vivian di depan sang jenderal. "Tuan, ke-kenapa tidak makan? Walau ini adalah pancake, tapi bahannya berbeda dari yang saya buat siang tadi," ujar Vivian dengan nada ragu, menyadari bahwa pancake yang ia buat mungkin tidak sesuai dengan selera majikannya. Jenderal mengernyitkan dahinya, mencoba menahan amarah yang mulai membara di dalam dadanya. "Apakah selain motif bodoh ini, masih ada motif lain?" tanyanya dengan suara yang terdengar dingin dan tajam. Vivian menelan ludah, merasa ketakutan dengan tatapan jenderal yang menusuk. "Masih, Tuan. Motif Pokemon, Pikachu, Dragon Ball, dan Donald Duck," jawabnya dengan terus terang, berusaha menjelaskan bahwa ia memiliki banyak pilihan motif yang mungkin lebih disukai oleh jenderal. "Ternyata kamu bisa semuanya, Kalau begitu kerjak
Saat itu, Celine yang menyamar sebagai supir taksi menjemput Vivian di terminal dengan hati berdebar. Dia tahu betul resiko yang diambilnya, namun demi perusahaan ini, dia rela melakukannya. "Melihat gadis malang itu aku malah merindukan putriku," lanjut Celine dengan suara bergetar, menahan emosi. Matanya terlihat berkaca-kaca, namun dia berusaha tegar dan menahan air mata. Cindy hanya bisa mengangguk, Merasakan kesedihan yang dialami Direktur Celine. Dia tahu betul betapa berat beban yang diemban Celine, dan dia bersyukur memiliki seorang pemimpin yang begitu berdedikasi. "Semoga semuanya berakhir dengan baik, Direktur," ujar Cindy dengan penuh harap.Mansion Salveston."Ha ha ha ha...," suara tertawa Kane dan istrinya. Mereka sangat bahagia dengan pernikahan yang akan dilangsungkan tidak lama lagi."Kian, Mony, Kalian harus berbahagia. Pernikahan ini adalah hal yang paling membahagiakanku. Kian, kamu sangat pintar memilih pasangan. Memang jauh lebih cantik dan hebat Mony dari pa
Liza yang telah membaca koran tentang pernikahan Kian dan Mony, Raut wajahnya langsung berubah dan merobek koran tersebut."Pria sia,lan, Mencampakan aku dan menikahi seorang artis. Jangan pernah bermimpi pernikahan kalian bisa lancar," ketus Liza."Kian Salveston, Aku telah dibohongi olehmu. Sehingga begitu bodoh aku menyerahkan tubuhku. Aku mengagalkan pernikahanmu dengan Vivian. dan sekarang aku dicampakkan setelah aku menghadapi masalah," gumam Liza.Kediaman Jenderal."Jenderal, Pak Menteri berharap Anda datang malam ini," ucap Stone, pria yang merupakan asisten Perdana Menteri, dengan hormat saat berdiri di depan pintu kediaman Jenderal Charlie. Jenderal Charlie yang sedang menyeduh teh panas di cangkir mini, terkejut mendengar kabar tersebut. "Ada acara penting apa, sehingga aku harus hadir?" tanyanya dengan nada heran. Stone menelan ludah sebelum menjawab, "Beliau ingin membahas tentang pertunangan Anda dan nona Anita Fernandez, Putri Duta Besar." Mendengar nama Anita Ferna
"Tapi, ini adalah urusan tuan, Bukan kita," kata Koki."Aku bisa membuatnya diusir, Tidak perlu menunggu sebulan," jawab Elena dengan yakin."Dengan cara membiarkan dia masuk kamar tuan, Apakah kamu yakin tuan tidak akan menyalahkanmu?""Tuan tidak akan menyalahkanku, Selama ini aku yang mengawasi semua pekerja di sini. Tuan tidak akan curiga denganku," jawab Elena dengan yakin.Vivian menuju ke kamar Charlie dan mengetuk pintunya.Tuk...tuk..."Tuan, sudah waktunya makan siang!" seru Vivian dengan sopan."Seharusnya tuan ada di sini, dia tidak berada di ruangan lain. Mungkin saja belum bangun juga," ucap Vivian.Tuk...tuk..Vivian berulang kali mengetuk pintu dan tidak ada yang menyahut sama sekali."Sudah pukul satu siang, Tidak mungkin masih tidur," gumam Vivian.Vivian menghela napas sebelum membuka pintu kamar Jenderal yang megah dan luas. Begitu masuk, ia terpesona dengan keindahan dan kemewahan kamar tersebut. Dinding-dindingnya dilapisi dengan wallpaper bermotif elegan, langit
"Tuan, Aku tidak ingin melihat wajahnya lagi, Apakah ada cara lain untuk menebus kesalahanku?" tanya Vivian dengan suara parau. "Kamu tidak perlu melihat wajahnya kalau tidak mau," jawab Charlie yang menuju ke ruangan ganti baju. Ia membuka pintu lemari berukuran jumbo. Terlihat banyak pakaian mewah serta jam tangan dan dasi. "Mantan suami menikah, mantan istri sebagai salah satu tamu yang hadir. Kedengarannya sangat aneh." Gerutu Vivian sambil melipat kedua tangannya di dada. Charlie tersenyum sinis dan berkata, "Aku tidak peduli alasanmu, Aku akan menyuruh Andrew menyiapkan gaun untukmu. Kamu harus hadir di sana, tidak peduli bagaimana perasaanmu." Mendengar kata-kata Charlie, Vivian merasa tak berdaya dan menundukkan kepalanya. Ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan selain mengikuti perintah Charlie. Namun, hatinya terasa sesak dan berat, seakan-akan seluruh dunia menindihnya."Tuan, aku hanya bekerja di bagian dapur, Kenapa harus aku yang menjadi pasanganmu?" tanya Vivian."Kar
"Baik," jawab Alexa.Micheal menatap Charlie dengan senyum sinis, sambil mengejek keputusannya. "Charlie, jadi apa rencanamu selanjutnya? Setelah kamu merenggut malam pertamanya dan membuatnya mendapatkan cacian dan hinaan, kamu masih belum mau muncul?" tanyanya dengan nada mencemooh. Charlie mengepalkan tangannya, menahan amarah yang membara. "Aku akan membersihkan nama Vivian, Micheal. Setelah acara ini selesai, semua orang akan tahu siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang menjadi korban dalam kejadian itu," jawabnya dengan tegas. Micheal tertawa kecil, lalu melanjutkan ejekannya. "Vivian Alexander sekarang tinggal di kediamanmu, menjadi pekerja di sana. Jadi, kamu bisa melepaskan rindumu setiap kali melihatnya. Tapi sayang, hanya bisa melihat, tidak bisa menyentuh," ujarnya sambil mengejek. Charlie memandang tajam ke arah Micheal, berusaha menahan emosinya yang bergejolak. "Kita lihat saja nanti, Micheal. Aku tidak akan membiarkan Vivian terus menderita. Aku akan buktikan