"Bagus! Kamu melakukan hal yang benar! Mungkin saja mereka adalah orang tua Vivian. Akan tetapi, kita harus mencari tahu kenapa mereka datang ke kota hanya untuk menemui putrinya? Apa yang terjadi saat Vivian kembali ke desa saat itu. Status Vivian saat ini tidak bisa diketahui mereka," ujar Celine."Baik, Direktur!" jawab Cindy.Keesokan harinya, Dokter yang merawat Vivian datang ke kamar untuk memeriksa kondisinya. Charlie, suaminya, duduk di samping ranjang sambil menggenggam tangan Vivian dengan erat. "Bagaimana kondisi istri saya?" tanya Charlie dengan cemas. Dokter itu menghela napas sejenak sebelum menjawab, "Kondisinya semakin membaik, akan tetapi ia harus tetap menjaga kesehatannya dan tidak melakukan aktivitas berat. Keguguran yang dialaminya mengakibatkan kehilangan banyak darah, jadi untuk pulih sepenuhnya diperlukan waktu sekitar empat puluh hingga enam puluh hari." Charlie mengangguk mengerti, sementara wajah Vivian terlihat semakin sedih. Hatinya hancur, bukan hanya
Edward dan pasukannya tiba di markas Astone dengan langkah pasti dan penuh semangat. Mereka telah merencanakan pengepungan ini dengan sangat matang. Tanpa ragu, mereka melempar bom asap ke arah markas itu, yang segera menyebabkan asap pekat menyebar ke seluruh ruang markas. Suara batuk dan tersedak terdengar dari dalam markas, para anggota Astone yang tak mampu melawan efek dari bom asap tersebut mulai tumbang satu per satu. Mereka terjatuh dengan wajah pucat dan tubuh lemas, tak mampu melawan serangan mendadak ini. "Tangkap dan lempar ke penjara!" perintah Edward dengan tegas sambil memandang ke arah pasukannya yang siap bertindak. "Baik," jawab mereka serempak, lalu mengenakan topeng gas yang telah disiapkan sebelumnya. Mereka melangkah masuk ke dalam markas yang kini terbungkus asap, siap menangkap para anggota Astone yang telah tumbang tak berdaya. Pasukan Edward bergerak cepat dan sigap, mengikat tangan dan kaki para anggota Astone yang terkapar di lantai. Mereka lalu membawa
"Apakah rumah sakit tidak ada rekamannya? Agar kita bisa tahu siapa yang membawanya pergi saat itu.""Cctv tidak terekam saat putri saya dibawa pergi, Mereka hanya melihat sepasang suami istri. Karena rekamannya tidak jelas sehingga tidak bisa mengenal siapa mereka. Mungkin saja saya sudah tidak memiliki kesempatan untuk menemukannya," ujar Celine."Selagi tidak putus asa, Anda pasti bisa menemukannya. Sama seperti hubungan saya dan Vivian. Siapa yang tahu apa yang terjadi setelah tahun berlalu. Saat itu dia bersama Kian Salveston. Tiga tahun kemudian dia menjadi istriku. Teruskan pencariannya! Jangan putus asa!" ujar Charlie.Celine tersenyum dan kembali bersemangat," Saya mengerti maksud Anda. Asalkan saya tidak putus asa. Pasti bisa menemukannya," jawab Celine."Ada satu cara untuk menemukan pemilik kalung," kata Charlie."Apa caranya?" tanya Celine."Beritahu media, apa yang Anda cari. Saya yakin setelah putri Anda melihatnya dia pasti akan paham," jawab Charlie."Benar juga! Ini
"Berapa lama kamu tinggal di kota?" tanya Charlie."Tidak lama! Sejak dulu kalau aku datang ke kota hanya tinggal beberapa hari. Aku lebih banyak meluangkan waktuku di desa membantu orang tuaku," jawab Vivian."Mungkin saja kamu pernah bertemu dengan pemiliknya, Makanya, kamu merasa tidak asing," kata Charlie.Vivian mengangguk dan menjawab," Mungkin betul seperti yang kamu katakan."***Celine berdiri dekat jendela kantornya, memandang gedung-gedung tinggi yang mendominasi langit Los Angeles. Tatapan matanya hampa, tidak ada kegembiraan yang terpancar darinya. Di balik kesuksesannya sebagai direktur perusahaan besar, memiliki luka yang terpendam; kehilangan putrinya yang sudah berusia lebih dari dua puluh tahun lamanya. "Direktur, jangan sedih!" ucap Cindy, asistennya yang setia, sambil melangkah masuk ke ruangan. "Berita hari ini pasti akan membantu kita menemukan putri Anda." Celine menghela napas berat, mencoba menenangkan diri. "Cindy, apakah dia akan mengakuiku? Andaikan dia m
"Charlie, aku....""Pergi!" titah Charlie dengan nada tegas.Sunny hanya bisa menelan pil pahit menghadapi sikap Jenderal dingin itu. Ia kemudian bangkit dan berkata," Aku akan pergi. Kamu jangan menyesal setelah kepergianku. Aku sudah lama mencintaimu dan aku lebih diterima di keluargamu dari istrimu. Paman telah memberitahu aku. Hanya aku yang bisa menjadi menantunya.""Aku yang menikah, bukan dia. Kalau kamu sangat patuh padanya...Bagaimana kalau kamu saja yang menikah dengannya," jawab Charlie dengan nada kesal dan meninggalkan ruangan kantornya.Sunny hanya bisa mengigit bibirnya dan menahan emosi, Ia sangat paham dengan sikap Charlie yang telah lama dia kenal. Tidak bisa dipaksa atau pun digoda.***Vivian sedang duduk di kursi ruang makan, menyantap makan siang di meja makan panjang itu dengan sendirian. Tiba-tiba, ponsel di samping piringnya bergetar dan berbunyi, menandakan ada panggilan masuk. Vivian mengangkat ponsel tersebut dan melihat nomor yang tidak dikenal di layar.
"Aku akan pergi, Aku tidak akan ribut denganmu atau pun dia. Sejak awal saat kita menikah aku sudah pernah mengatakannya. Kamu bisa jatuh cinta pada siapa pun. Karena pernikahan ini tanpa ikatan janji kita berdua," jawab Vivian."Kamu akan pergi dariku, Kalau aku setuju menikahi wanita itu? Kamu tidak akan melarangku?" Vivian mengangguk dan memegang tangan suaminya."Aku bukan tipe wanita yang tidak pengertian, Aku tidak akan mempersulitkanmu atau bersikap egois. Karena aku sadar aku bukan dari keluarga kalangan atas. Charlie, Aku seorang yang pengertian. Andaikan kalau dia bisa menarik perhatianmu. Kamu bisa menceraikan aku dan menikahi dia!" ucap Vivian dengan senyum. Walau ucapan tersebut sangat berat baginya."Baru kali ini aku mendengar seorang istri yang mendukung suaminya menikahi wanita lain," ujar Charlie."Kamu adalah seorang Jenderal, Bukankah aku sangat beruntung memiliki seorang suami yang adalah seorang pahlawan negara dan perhatian padaku. Lalu, kenapa aku harus egois
ApartemenRyan menatap kalung berbentuk bulan sabit yang berkilauan di tangannya. Ia tahu kalung ini menjadi bukti atas perbuatan jahat yang telah ia lakukan bersama Ruby. Dalam sekejap, Ryan mengambil plastik sampah dan meletakkan kalung tersebut di dalamnya dengan hati-hati. Selain kalung itu Ryan sengaja memasuki sampahnya ke dalam plastik itu. Ia melirik ke arah Ruby yang sedang memperhatikan sekitar melalui jendela untuk memastikan tidak ada saksi yang melihat mereka. "Apa kamu yakin dengan cara ini, kita bisa lolos?" tanya Ruby pada suaminya dengan wajah penuh kecemasan. Ryan menghela napas panjang sebelum menjawab, "Hanya ini cara satu-satunya. Setelah kita buang ke tong sampah, maka semuanya akan berakhir. Tidak ada yang tahu lagi siapa anak itu. Wanita itu juga tidak akan tahu kita yang melarikan anaknya." Ruby menggigit bibirnya, mencoba meredakan kekhawatirannya. Ia menutup jendela dan mengikuti Ryan ke luar rumah menuju tong sampah. Dalam hati, mereka berharap semoga ke
Alex dan Cindy berjalan bersama menuju belakang gedung besar yang memiliki sebuah halaman luas. Di sana, terlihat Celine tengah duduk dengan raut wajah tegas dan penuh kekhawatiran. Angin kencang yang bertiup membuat poni rambut Celine menutupi matanya yang indah, namun tak mengurangi kesan tegas dari wajahnya. Ryan dan Ruby mengikuti jejak langkah Alex dan Cindy, perasaan mereka semakin cemas ketika menyadari Celine sedang menunggu kedatangan mereka. Tak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Celine, namun suasana yang tercipta di halaman itu terasa begitu tegang. Seiring langkah Ryan dan Ruby semakin mendekat, Celine mulai menatap mereka dengan tatapan tajam yang menunjukkan bahwa ia ingin segera menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya. "Nyonya, Tidak tahu ada urusan apa ingin bertemu dengan kami?" tanya Ryan dengan sedikit cemas."Duduklah!" ucap Celine yang bersikap tenang dan duduk menyandarkan diri.Ryan dan Ruby duduk berseberangan dengan Celine. Mereka berusaha