Billy berjalan menuju apartemen Vivian dengan langkah berat. Setibanya di depan pintu, ia menghela napas sejenak sebelum mengetuknya. "Tuk! Tuk!" suara ketukan pintu terdengar jelas. Kunci pintu terbuka dengan suara "Klek!" dan Vivian muncul di balik pintu dengan tatapan sayu yang menghiasi wajahnya. "Billy," sapanya lembut. "Apakah kamu ada waktu?" tanya Billy dengan nada berharap. "Silakan masuk!" ajak Vivian sambil tersenyum tipis. Ia lantas berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman di kulkas. Billy pun mengikuti langkah Vivian masuk ke dalam apartemen. "Apakah kamu sibuk hari ini?" tanya Billy dengan sedikit sedih. Ia masih ingat pelukan Vivian dengan mantan suaminya. Rasa cemburu mulai menyelimuti hati Billy. "Seperti biasa, tidak ada yang istimewa," jawab Vivian sambil menghela napas. Ia kemudian mengambil dua gelas minuman dari kulkas dan mengulurkan salah satunya kepada Billy. Keduanya lantas duduk di sofa sambil menyesap minuman mereka. Di tengah percakapan, terliha
Billy mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia melintasi jalan-jalan di kota, tanpa henti. Suasana hati Billy sangat buruk karena kehilangan yang ia rasakan saat ini. Rasa emosi dan keputusasaan merasuki hatinya. Di tengah kecewa, ia memutuskan Vivian demi perasaan wanita itu yang masih mencintai Bryan Anderson. "Pa, sudah saatnya aku bertindak. Kita akan segera bertemu di sana," gumam Billy sambil memijat pelipisnya. Di sisi lain, prajurit Bryan Anderson dalam perjalanan menuju perbukitan tempat markas organisasi Billy berada. Sekitar puluhan mobil dengan lampu sorot menyala terang, mengambil langkah yang tegas dan sigap, menembus kegelapan malam menuju tempat itu. Mereka memiliki satu misi: menyerbu markas Billy, menghancurkan organisasi yang telah melakukan penyeludupan senjata dan narkotika.Di markas Billy, suasana hening dan tegang seolah meresapi setiap sudut ruangan. Anggota geng itu berjaga-jaga, siap menghadapi ancaman yang mungkin datang. Tiba-tiba, langkah kaki
Bryan mengangkat tangan kanannya, memberi isyarat kepada prajuritnya yang berdiri di belakangnya dengan senjata siap dipegang. Tanpa ragu, mereka menyusun diri, mengelilingi markas yang mereka incar, memastikan tidak ada jalan keluar untuk musuh mereka."Jangan bergerak!" teriak Murfy dengan suara lantang dan keras, menunjukkan wibawa yang dimilikinya. Dia mengarahkan senjatanya ke arah anggota yang menjaga pintu markas itu, membuat mereka terperanjat dan mundur beberapa langkah. Anggota markas Billy, berusaha tidak melawan karena tidak memiliki pilihan lain selain menaati perintah. Mereka berdiri dengan kedua tangan terangkat, tak berdaya. Tiga orang yang terlihat di depan Bryan, Murfy, dan prajurit mereka, menunjukkan rasa takut dan kebingungan yang mendalam. "Geledah!" perintah Bryan dengan tatapan tajam dan dingin, seolah menembus jiwa setiap orang yang berada di depannya. Para prajuritnya segera melaksanakan perintah itu, menggeledah setiap sudut markas tersebut untuk mencari
Bryan yang dalam perjalanan pulang, Tanpa disadari, ia sedang menjadi incaran musuhnya yang telah mengawasinya dari kejauhan. Di beberapa titik strategis, beberapa pembunuh bayaran bersembunyi sambil membawa senjata tajam dan senjata api, menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Bryan, yang tidak tahu akan bahaya yang mengintainya, melanjutkan perjalanan pulang dengan tenang. Namun, saat ia melewati persimpangan jalan besar, tiba-tiba sebuah peluru roket meluncur ke arah mobilnya. Bryan hanya sempat melihat kilatan cahaya sebelum ledakan besar mengguncang udara. "Duar! Duar!" suara ledakan menggelegar, menghancurkan tiga mobil yang berjalan berderetan di belakang mobil Bryan. Serpihan kaca dan logam berserakan di jalan, sementara asap hitam mengepul dari reruntuhan kendaraan yang terbakar."Gawat! Saudara kita," teriak Murfy yang melihat prajuritnya tewas akibat ledakan."Cepat tinggalkan tempat ini! Mereka mengunakan peluru roket. Bukan hanya membunuh kita. Tapi, juga membunuh wa
Pintu mobil terbuka, dan beberapa orang berjas hitam keluar sambil berjalan cepat menuju pembunuh Jepang itu. Mereka mengeluarkan senjata dan mengarahkannya ke arah Yamamoto dan temannya"Jenderal, maaf, kami terlambat!" ucap salah seorang prajurit Bryan, yang baru saja datang untuk membantu. "Tahan mereka semua!" perintah Bryan tegas. Yamamoto, pembunuh Jepang yang menjadi sasaran, melihat kedatangan bantuan Bryan dan pasukannya dengan tatapan sinis. "Bryan Anderson, kau menggunakan cara ini untuk mengalahkan kami? Sungguh tidak profesional. Setahu ku, kamu bukan orang yang takut mati," cetus Yamamoto dengan nada kesal. Bryan menatap Yamamoto dan menjawab dengan suara tenang, "Sasaranku adalah Billy Maxwel, bukan kamu. Aku tidak berminat denganmu sama sekali." "Kau meremehkan aku," ujar Yamamoto dengan wajah merah padam. "Bukan meremehkan, Tapi, kalian tidak penting bagiku. Kalian hanya pembunuh bayaran yang menerima uang dari Billy Maxwel. Sedangkan orang yang aku incar orang a
Tak disangka, sosok yang berdiri di luar ternyata Bryan, mantan suaminya. Klek! Vivian membuka pintu dengan ekspresi kaget dan heran. "Bryan?" sapa Vivian, penasaran dengan kedatangan pria tersebut. "Apakah aku menganggumu?" tanya Bryan dengan senyum yang menggantung di bibirnya, seolah ada sesuatu yang ingin dia sampaikan."Masuklah!" ucap Vivian sambil menggeser tubuhnya untuk memberi jalan. "Apa kamu sudah makan?" tanyanya lagi.Mereka berjalan menuju ruang tamu, dan Bryan melirik ke meja makan yang hanya ada satu piring bekas makan mie instan. "Kamu hanya makan mie instan?" tanya Bryan."Iya, aku baru pulang, dan makanan paling gampang adalah mie," jawab Vivian yang menuju ke di dapur untuk memgambil minuman."Kamu pasti lelah mengurus hotel sebesar itu," ucap Bryan yang merasa tidak tega. "Tidak juga! Aku suka dengan pekerjaanku sekarang," jawab Vivian."Vivian, ada yang ingin aku beritahu padamu, sesuatu yang harus kamu tahu," ujar Bryan.Vivian terdiam menatapnya dan sediki
Beberapa saat kemudian Komandan Heinrich dan Luis tiba di markas militer Jerman.Luis cemas dan gemetar mendatangi tempat itu, di dalam ruangan kantor Komandan Heinrich terlihat Bryan sedang menunggu di sana.Bryan berdiri dengan tatapan tajam pada Luis. "Jenderal Bryan, Anda sudah datang. Maaf, saya sedikit terlambat," sapa Komandan Heinrich dengan ramah."Tidak apa-apa! Saya juga baru tiba. Terima kasih atas kerja samanya!" ucap Bryan dengan sopan.Luis berdiri di depan Bryan dengan senyum paksa yang terpampang di wajahnya. "Saya tidak menyangka hari ini bisa bertemu dengan Jenderal Bryan Anderson," ucapnya dengan suara yang sedikit gemetar. "Komandan Luis, demi mengamankan jabatanmu, kami butuh keteranganmu. Kalau Anda menolak maka kami yang akan bertindak sendiri," ujar Bryan dengan nada peringatan yang tajam. "Saya tidak mengerti apa maksud Anda," jawab Luis dengan wajah pucat dan bibir yang bergetar. Di dalam ruangan luas yang sepi itu, Jenderal Bryan dan Komandan Militer mu
"Itu tidak benar, Kamu yang perintah padaku selama ini, semua bisnis yang kamu jalankan dilindungi olehku. Kalau tidak mana mungkin barang-barang yang masuk bisa lolos dari pengiriman," kata Luis.Billy berdiri di depan Komandan Luis dengan senyum sinis yang menghiasi wajahnya. "Komandan Luis, kamu memberitahu aku sangat butuh uang, Anak gadismu akan masuk ke universitas tinggi. Aku telah meminjamkan uang padamu. Siapa tahu kamu melakukan penyeludupan barang ilegal. Seharusnya dari awal kamu sudah menyadarinya. Apa yang kamu lakukan akan diketahui suatu saat nanti. Jadi, tolong berhentilah!" ujar Billy dengan nada mencemooh. Luis terdiam, merasa dikhianati oleh perkataan Billy. Wajahnya memerah seiring dengan rasa malu yang mulai menyelimuti dirinya. Dia berusaha untuk menjawab, namun suaranya tercekat oleh emosi yang bergejolak. Tiba-tiba, Jhones datang dengan langkah cepat. "Serahkan dirimu kepada polisi, Jangan pinjam uang dengan atasanku lagi!" ujar Jhones dengan tegas. Dia mula