Aku terdiam, kemudian tersenyum kembali sebelum akhirnya memutuskan keluar. Sampai di luar, Mas Kino tengah duduk di sofa tunggal, sementara Mas Andra duduk d sebelah Mbak Rosa yang seperti cacing kepanasan. Astghfirullah, Nining, kamu solimi sekali! Malam hari. Mas Andra datang membawa sebuah nampan. Aku yang masih kesal pun hanya diam tak menanggapi. "Ning." "Kamu masih marah?' "Ning?" Kuatur napas, lalu menghembuskan perlahan. "Mas, tolong ceraikan aku!"--Mas Andra sempat mematung sesaat, kemudian meletakkan makanan itu di atas meja. Aku kembali mengalihkan pandangan, tak ingin menatap mata indahnya yang mungkin saja bisa membuatku luluh. "Ning, jangan bercanda tentang hal ini," ucap Mas Andra. "Siapa yang bercanda? Bukankah itu Mas, yang terlalu plin plan sehingga tak bisa memilih? Mas pikir, terbuat dari apa hatiku ini?" Mas Andra terdiam, lalu meraih pinggangku dan memeluknya. Sempat kutepis tangannya, tapi kembali lagi memeluk. Hingga aku pasrah dan diam. "Aku bingu
Aku tersenyum kecut. "Kamu memang tak berniat mengantarkanku, kan? Aku bahkan belum bicara kalau tak ingin kamu ikut." Wajahnya terkejut, kemudian seakan langkah tingkah. "Hah?" Aku menggeleng. Kemudian mengangkat tas. Waktu sudah malam, semoga masih ada bis yang belum berangkat. Jika bis tak ada, maka aku akan naik kereta saja. "Mama mau ke mana?" tanya Keysha ketika melihatku melewatinya. Aku melirik ke arah Mbak Rosa yang sedang memakan buah, ia tampak cuek, hanya melirik tas yang kubawa. "Mama mau pulang dulu ke rumah Kakek. Keysha baik-baik di sini, ya?" "Key mau ikut!"Aku menggeleng, kemudian memanggil Sinta untuk mengambil Keysha. "Mama pergi dulu ya?" "Mama, ikut! Ma!" Aku tak kuasa mendengar tangisan Keysha, Mas Andra turun dan merebut tas milikku. "Mas!" Aku berteriak saat tas itu kembali dibawa olehnya ke atas. "Drama banget, sih!" Aku menoleh ke sumber suara. Ya, tentu saja Mbak Rosa. Memangnya siapa lagi? Di rumah ini yang nyinyir ya cuma dia aja. "Masalah?"
[Tanya dulu suaminya, Bun, dia memilihmu atau istri pertamanya?] [Mbaknya juga salah, harusnya sarankan suaminya untuk menggugat cerai ke pengadilan sewaktu kalian hendak menikah.] [Wah, Mbak sama aja dengan pelakor dong, ya?!] [Sabar, Bun. Semoga sabarmu menjadi berkah.] Namun, ada satu akun yang berkomentar agak menyentil hatiku. Akun itu bernama @Zahra_Lailatul [Lagian, kok mau-maunya nikah sama duda nggak jelas gitu? Dibilang duda ya bukan, dibilang punya istri yaa orang istrinya gak ada. Gini aja, Bun, coba Bunda pulang ke rumah orang tua dulu selama beberapa hari. Lihat apalah suami Bunda akan mengejar atau diam saja? Jika memang dia mengejar, maka pertahankan. Insya Allah, pahala selalu mengikutimu karena telah bersabar menghadapi istri pertama yang bersifat jelek itu, tapi, kalau suamimu nggak nyusul, ya sudah, buat apa lagi? Jangan siksa hati sendiri karena terlalu mencintai. Keep spirit ya, Bun!] Aku tertegun, haruskah kuikuti caranya."Ning, tolong, jangan tinggalin ak
Apakah aku jahat? Aku hanya ingin membela diri dan tidak terlalu kelihatan lemah terus. Sudah cukup diinjak oleh Mbak Rosa. Secara agama, aku ini istri sah. Begitu juga jika secara negara. Aku ingin tahu, Mas Andra ini lebih berat ke siapa? Aku, atau Mbak Rosa? --"Apa? Menceraikan Rosa?" Aku mengangguk sambil menyisir rambutku yang basah. Kulihat Keysha masih tertidur di ranjang, sementara hari sudah siang, jam menunjukkan pukul tujuh pagi. "Kenapa kamu tiba-tiba ingin aku menceraikan Rosa, Ning?" "Kenapa, Mas? Apa kamu keberatan?" "Bukan begitu. Cuma-" "Ya sudah, aku nggak akan memaksa. Tapi maaf, aku nggak bisa hidup dengan suami yang tidak tegas. Aku tak apa menjanda, toh umurku masih muda." "Ning, jangan ucapkan itu. Selamanya kamu takkan menjanda kecuali kutinggal mati!" sentaknya. Aku tersenyum kecil. Apakah ini dusta, Mas? Jika memang kenyataannya begitu, kenapa kamu seakan berat untuk melepaskan Mbak Rosa? "Biar aku pikirkan lagi, Ning." "Aku sudah telat satu minggu
"Ya biarin, kamu kalau mau mengacau mending pergi dari rumah ini, Rosa!" ucap Ibu. Aku tersenyum miring padanya. Sejak kehadirannya, kehidupanku dan keluarga ini seakan dipenuhi drama. Canda tawa seakan menguap begitu saja. Tak bisa dibiarkan, aku harus mengembalikan suasana dulu, sebelum Mbak Rosa datang ke sini.Acara sarapan kali ini sungguh membuatku tak berselera. Apa lagi Mbak Rosa yang seakan enggan untuk pergi dari rumah ini. Aku pun sebenarnya tak ingin egois. Namun, aku perlu memperjuangkam cintaku. Meskipun mungkin, di dalam hati Mas Andra bukan hanya ada aku saja. "Ning, nanti kita ke rumah sakit, ya?" "Buat?" tanyaku. "Ya kita periksa. Siapa tahu memang di dalam rahimmu sudah bersemayam buah cinta kita," ucap Mas Andra. Aku tersenyum, lalu mengangguk. Meskipun belum yakin seratus persen jika memang aku hamil, karena sudah terbiasa dengan siklus haid yang tak menentu. Mas Andra menatap mataku lekat. Duh, kenapa jadi deg-degan begini? "Ke-kenapa, Mas?" "Ning?" "Em
"Diam kamu, Rosa. Ikut campur aja."Mbak Rosa cemberut, kemudian menghentakkan kakinya menuju kamar. Aku masih diam saja, malas juga rasanya meladeni wanita setengah-setengah kaya dia. "Ayo, Ma, kita pergi!" "Yok!" Kami bertiga pamitan sama Ibu, lalu pergi menggunakan mobil. Sepanjang perjalanan, Keysha tak hentinya berceloteh. Malah aku yang tak bisa fokus mendengarkannya. Masih kepikiran tentang jika aku tak hamil, bagaimana? Takutnya, semua akan kecewa karena kecerobohanku yang langsung periksa ke dokter kandungan, tanpa memeriksanya sendiri terlebih dahulu. "Kamu kenapa, Ning?" tanya Mas Andra mengagetkanku. "Aku cuma takut aja, Mas. Takut mengecewakan kalian. Kalau ternyata nggak hamil, bagaimana? Pasti kalian semua kecewa banget," ucapku. Mas Andra menghela napas, sementara Keysha langsung diam. Bocah kecil nan menggemaskan itu seakan tahu jika orang tuanya tengah berbincang serius. "Jangan terlalu dipikirkan. Jika hamil, ya alhamdulillah. Jika tidak, ya belum rezekinya.
Setelah menunggu beberapa detik, kok malah burem yang satunya? Tak nampak jelas seperti garis di sebelahnya. Aku keluar dengan gontai. Sepertinya aku memang belum hamil, rezeki itu belum datang padaku dan Mas Andra. Aku menjadi merasa bersalah pada mereka. "Bagaimana, Ning?" "Dok, kok yang satu burem, ya?" Dokter Natasha tersenyum, kemudian mengambil testpack itu tanpa rasa jijik. "Ini belum pasti. Besok pagi, coba di tes lagi ya, Bu? Sehabis bangun tidur." "Jadi, belum bisa dipastikan itu hamil apa nggak ya, Dok?" "Iya, Bu.""Mas," panggilku pada Mas Andra. "Sudah, Ning. Gapapa, belum rezeki seandainya belum hamil." Aku mengangguk, dengan langkah gontai kami pergi dari ruangan itu setelah mengucapkan terima kasih. --"Bagaimana, Ndra?" tanya Ibu begitu kami sampai. "Belum pasti, Bu. Sementara tadi Nining diminta untuk USG, tapi dia nggak mau. Padahal, seumuran segitu, belum muncul jenis kelamin kan ya, Bu?" tanya Mas Andra. "Ya iya, Ning. Lagian, Ibu nggak maksa kamu cepet
"Bismillah. Rosalinda Evelyn binta Suganda, saya talak kamu dengan talak tiga. Setelah ini, putus sudah kewajibanku atas kamu dan kewajibanmu padaku. Sekarang, pergi dari sini." Mbak Rosa terkejut, begitupun dengan aku. Aku memang menyuruhnya untuk menceraikan Mbak Rosa, tapi tak pernah sekalipun aku menyangka jika Mas Andra akan langsung memberinya talak tiga. "Kamu, mentalakku, Mas?" "Ya. Jujur saja, Ros. Selama ini aku menahanmu karena Keysha semata. Sekarang, pergi lah. Aku tak melihatmu di sini." "Tapi, Mas..." Belum selesai Mbak Rosa berbicara, Mas Andra sudah lebih dulu berbalik badan, lalu pergi dari depan kamar Mbak Rosa. Aku pun melakukan hal yang sama, karena aku sedang tidak mood menghadapinya. "Aaah!" Aku mengerang karena merasakan perih tak terhingga di kepalaku. Pedas, perih, pusing bercampur jadi satu. Mbak Rosa tengah menarik rambutku sekarang. "Dasar j*l*ng! Iblis! Puas kamu hancurkan rumah tanggaku, hah? Puas kamu sudah memupus harapan Keysha yang ingin memi