Suara dari ujung heels Nada dan aspal kini beradu, memecah keheningan di tengah malam. Nada jelas sekali menghentak dengan keras disetiap langkahnya. Bahkan tangan kirinya mencengkram erat tali sholder bag miliknya.Mobil hatchback milik Nada kini sudah ada di depan mata. Dia menekan tombol pada kunci mobil dan langsung menarik handle pintu. Wanita itu seketika menghempaskan tubuhnya pada kursi di balik kemudi.“Huh! Gila, Sindy memang gila!” dengus Nada sambil tertawa mencibir tapi syarat akan gejolak emosi.Setelah mendengarkan semua cerita Ara, Nada tidak perlu mencari informasi apa-apa lagi. Dia merasa kalau cerita Ara itu seratus persen valid.“Wah, orang itu benar-benar sosiopat! Dia benar-benar terlihat senang melihat orang lain menderita, sedangkan dia mendulang kesuksesan!” rutuk Nada.Memang bukan hal aneh, jika di negara ini beberapa publik figur memang sering mengandalkan sensasi dari pada prestasi. Namun, Nada tidak pernah terpikir, bahwa hal itu akan dialaminya sendiri.
“Papa akan kembali tinggal di sini, kan?” tanya Deven setelah sarapan mereka selesai.Adrian tersenyum, seraya mengangguk. Berbeda dengan Nada yang masih merasa bingung. Sebenarnya apa yang terjadi semalam?“Terima kasih. Pasti rumah ini akan kembali ramai,” kata Deven lagi, “nenek juga akan pulang hari ini,” imbuhnya dengan wajah berbinar.“Mama pulang sekarang, Nad?” Adrian melirik ke arah Nada, lalu dijawab oleh sebuah anggukan.“Nanti Pak Dadang sama Bi Inah yang urus kepulangan Mama. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku lagi,” kata Nada.Padahal Nada sudah berjanji pada sang nenek, kalau dia akan menjemput neneknya saat keluar dari rumah sakit. Namun, karena kemarin Nada pergi tanpa berpamitan dia merasa tidak enak jika harus kembali izin dari pekerjaannya.“Bilang sama Pak Dadang, biar aku yang urus kepulangan Mama. Setelah mengantar Deven ke sekolah, aku akan segera ke rumah sakit,” ucap Adrian.“Eh? Mengantar Deven?” Wajah Nada bingung, “tidak usah. Biar Deven aku yang meng
Darah dalam tubuh Nada langsung mendidih, bagaikan magma panas yang sudah ingin dimuntahkan. Tangannya bahkan terasa panas, setelah menampar Sindy dengan keras.Semua mata kini tertuju pada Nada yang sedang memberang. Tidak ada satu orang pun di tempat itu yang tidak terkejut dengan aksi Nada.“Aww!” ringis Sindy, lalu dia memegang pipi kirinya yang terasa perih.Dengan cepat Sindy menoleh dengan tatapan yang setajam mata pisau. Seolah dengan tatapannya itu Sindy mengancam Nada.“Bagus. Tatapan itu, tunjukan bagaimana wajah aslimu, Sindy!” sinis Nada, yang merasa puas karena Sindy mulai terpancing olehnya.Namun, sedetik kemudian Nada langsung dipegang oleh seorang laki-laki.“Lepas!” paksa Nada, yang langsung menepis tangan laki-laki itu.Di hadapan Nada, Sindy masih menatap nyalang. Setelah beberapa detik dia mencoba untuk menarik napas dalam, tatapan Sindy pun berubah.“Lepaskan dia, Ivan,” kata Sindy pada laki-laki yang sedang memegang Nada. Dia adalah manager Sindy yang sedang me
Sebuah cengkraman kini dirasakan oleh Nada. Seseorang menahannya dengan memegang tangan kiri Nada. Ia menoleh dan mendapati Nicko di sana. “Kita sebaiknya pulang,” ucap Nicko. Sedari tadi pria itu menyaksikan keributan yang diperbuat oleh Nada. Dia sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk melerai. Karena kondisinya para penggemar Sindy seolah membuat dinding yang tidak bisa ditembus olehnya. “Nick, maaf sepertinya aku tidak bisa mengantarmu pulang. Aku ada urusan yang harus diselesaikan,” tolak Nada dengan tegas. Matanya terpancarkan amarah yang mendalam, Nicko bisa melihatnya. Hal itu yang membuat perasaan Nicko sedikit gusar. “Kita pulang saja, Deven pasti menunggumu di rumah.” Nicko menggunakan alasan anak Nada agar sahabatnya itu bisa ikut pulang dengannya. “Ck!” Tedengar decakan dari mulut Sindy. Ternyata sedari tadi dia melihat aksi Nicko yang menahan Nada. Sindy kembali mendekat ke arah Nada dan Nicko, “Kamu mau kabur, Nada? Urusan kita belum selesai. Atau kamu memang
Calvin memijit keningnya, dia nampak terlihat gusar. Pasalnya, Calvin baru saja melihat sebuah tayangan video yang diberikan oleh Vivian.“Video ini pertama kali diunggah di forum penggemar Sindy. Kemudian menyebar ke mana-mana.”Vivian mengusap layar tabletnya ke samping. Kemudian memberikan sebuah foto tangkapan layar sebuah artikel berita.Namun, Calvin malam mengibaskan tangannya. Seolah tidak mau melihat apa yang sebenarnya akan diberikan Vivian.“Anak itu selalu saja cari gara-gara,” desah Calvin, “ah, kenapa mereka berdua itu tidak bisa diam? Selalu saja membuat gaduh dan pasti akan berimbas pada perusahaan!” gerutu Calvin.Vivian hanya diam, dia tidak merespon apa pun.Kemarin jagat maya dihebohkan dengan sebuah potongan video yang menampilkan pewaris sah perusahaan Victory sedang bertengkar dengan Sindy. Tentu saja publik lebih memihak Sindy dan memberitakan hal yang negatif tentang Nada. Hal itu tentu membuat citra nama baik perusahaan Victory sedikit tercoreng.“Apa kita be
Demi menjaga kewarasannya, akhirnya Nada memutuskan sesuatu. Segera dia menemui Darell di ruangannya.“Pak, maaf saya ingin memberikan ini,” ucap Nada sambil menyodorkan sebuah amplop pada Darell.Darell yang sedang bekerja, langsung mengalihkan fokusnya. Matanya kini menatap sebuah amplop putih yang baru saja diletakkan Nada di atas meja kerjanya. Dia seraya melepaskan kacamatanya.“Apa ini?” tanya Darell, lalu menerima amplop tersebut. Dari dalam amplop tersebut berisikan sebuah kertas, yang langsung dibuka oleh Darell.“Surat pengunduran diri saya, Pak. Saya mohon maaf, karena saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan ini. Padahal kontrak saya belum habis,” terang Nada.Mata Darell masih membaca isi dari surat tersebut.“Apa yang membuat kamu memutuskan untuk berhenti? Padahal rencananya tahun depan saya akan mengangkat kamu menjadi karyawan tetap,” terang Darell.Selama dua tahun Nada bekerja memang dia belum diangkat menjadi pegawai tetap.“Sejujurnya saya merasa ti
Sudah hampir tengah malam, Adrian belum juga pulang ke rumah. Sedari tadi Eva sudah bertanya terus tentang keberadaan Adrian pada Nada. “Sudah, Nenek kembali saja ke kamar. Mungkin Om sedang ada di apartemennya,” kata Nada mencoba menenangkan. “Tapi perasaan Nenek tidak enak.” Eva mengelus dadanya. Semenjak kejadian yang menimpa Adrian dan Nada, sebenarnya Eva sering merasa gelisah. Dia selalu meminta pulang, agar bisa memantau anak dan cucunya. “Tenang saja. Om Adrian tidak akan kenapa-kenapa.” Nada berjongkok mengelus punggung tangan Eva yang sedang duduk di kursi roda. “Lebih baik Nenek istirahat saja. Ini sudah tengah malam, biar Nada nanti yang menunggu Om Adrian,” imbuhnya. Nada memberi kode kepada Bi Inah untuk membawa Eva ke kamarnya. Mendadak Nada juga merasakan gelisah, mungkin karena ikut tersugesti oleh Eva. Dia segera menuju kamarnya dan kembali menghubungi Adrian. Kali ini, panggilan dari Nada diangkat oleh sang pemilik ponsel. “Halo,” sapa orang di seberang sana
Kecupan singkat dan pengakuan mengejutkan yang dikatakan Adrian, membuat Nada tidak bisa tidur. Jantungnya terus berdetak dengan kencang, seperti tabuhan drum di sebuah konser band. “Ah, lupakan, Nada. Pamanmu itu sedang dalam kondisi mabuk. Bisa saja dia melantur. Ingat ketika dia mabuk, dia selalu bertingkah sesuka hati!” Nada mencoba menampik perasaannya yang sudah mulai terhipnotis dengan kata dan tindakan pamannya. Sebenarnya, saat di bar tadi dan mendapatkan perlakuan berbeda dari Adrian. Dalam hati Nada seolah ada kupu-kupu yang berterbangan. “Aku juga mencintai Om,” lirihnya. Kini Nada membalikkan tubuh dan membenamkan wajahnya pada bantal. Otaknya kembali memutar memori saat dirinya pertama kali bertemu Adrian. Awalnya Nada mengagumi Adrian, karena tampan dan dewasa. Perlahan rasa kagum itu berkembang menjadi rasa suka. Saat Adrian begitu perhatian padanya. Walau kemudian Nada sempat membenci pamannya, karena insiden gila itu. Akan tetapi, saat kembali bertemu dan memul