Beberapa saat kemudian, Sandi telah berada di kamar lagi setelah mengantar Sandra sampai ke pintu kamarnya. Entah kebetulan atau apa, kamar mereka hanya berjarak beberapa meter saja. Sandi merasa tidak tega membiarkan Sandra kembali ke kamar dalam keadaan kacau seperti tadi. Maka dari itu Sandi memutuskan untuk mengantarnya, tetapi hanya sampai di depan pintu.
"Hfuuh ...." Sandi masuk ke kamar mandi, lantas menuju wastafel untuk mencuci tangan dan membasuh wajahnya. Setelah itu, dia menatap pantulan dirinya di cermin. Bayangan Sandra saat menangis terus berkelebat di ingatan. "Kenapa kamu melakukan ini, Sandra? Kenapa?" Dia bergumam sendiri, bertanya-tanya perihal perkataan mantan kekasihnya tadi.
Memang, Sandi tak ada niat sedikit pun untuk bertanya lebih kepada perempuan itu. Dia membiarkan Sandra menangis di pelukannya sewaktu di lift hanya karena merasa iba bukan karena alasan lain.
'Benarkah cuma karena iba? Atau aku merasa senang mendengar ucapan Sandra yang ternyata dia tersiksa dengan keputusannya dulu. Itu artinya bukan cuma aku yang enggak bisa hidup tenang selama ini. Tiga tahun ini kita sama-sama terbelenggu oleh masa lalu.' Sandi membatin gundah, apa yang dia alami ternyata Sandra juga mengalaminya.
Hubungan mereka memang terjalin cukup lama kala itu. Sampai pada akhirnya kata berpisah itu pun terlontar dari mulut Sandra. Sandi begitu mencintai Sandra dan hampir gila setelah mereka memutuskan untuk menjalani hidup masing-masing.
Dan, apa yang Sandi ketahui hari ini merupakan sesuatu yang tak terduga. Bertemu dengan Sandra dan berbincang dengan perempuan itu lagi.
"Apakah takdir sedang mengujiku?"
"Menguji apa, Mas?"
Sandi sontak menoleh ketika suara Almira menyapa pendengarannya.
"Almira? Kamu?" Lelaki itu bergerak gelisah. 'Semoga Almira enggak denger apa yang aku omongin tadi.' Batinnya menyeru takut.
Almira menghampiri Sandi yang berdiri kaku di depan wastafel. "Mas habis dari mana?" tanyanya, memindai Sandi dari atas sampai bawah.
Jelas Sandi bertambah gugup. "Em, itu tadi aku enggak bisa tidur terus keluar cari angin," jawabnya dengan raut muka tak biasa dan Almira bisa merasakannya.
"Kenapa enggak bisa tidur?" Almira masih belum puas dengan jawaban Sandi sebab dia merasa seakan ada yang ditutup-tutupi suaminya itu.
"Ya ... enggak bisa tidur aja, Al," kilah Sandi yang tak ingin Almira tahu alasan yang sebenarnya. "Udah yuk, tidur." Sandi menuntun Almira keluar dari kamar mandi. Dia sedang mengalihkan pembicaraan ini agar istrinya tidak melanjutkan bertanya.
Almira menghela panjang, siapa dia hingga Sandi mau berbagi setiap hal padanya—pikirnya. Dia sadar jika Sandi hanya ingin menghindari dirinya.
"Tidurlah lagi. Ini masih sangat malam, Al." Sandi membantu Almira naik ke ranjang besar nan empuk itu. Merebahkannya perlahan lantas menarik selimut hingga sebatas perut. "Tidurlah. Aku juga mau tidur." Dia mengecup kening Almira sekilas, lalu mengitari ranjang dan ikut merebahkan diri di samping istrinya.
Sandi menyibak selimut lantas ikut masuk ke dalamnya. Keduanya sama-sama terlentang dan menatap langit-langit kamar yang bercahaya lampu temaram. Kesunyian malam semakin terasa lantaran mereka tak ada lagi yang bicara.
"Mas," panggil Almira.
"Hem."
"Besok kita jadi berangkat bulan madu 'kan?"
"Jadi," jawab Sandi yang belum mengalihkan pandangannya pada langit kamar. "Kenapa?"
Almira tersenyum samar, lalu berkata, "Enggak apa-apa. Aku udah enggak sabar aja pergi berdua sama kamu. Karena aku mau hubungan kita ini berlanjut ke tahap berikutnya." Dia menoleh, menatap Sandi dari samping. "Tapi ...." Almira menggantung kalimatnya..
"Tapi apa?" Sandi menoleh, kini keduanya saling memandang. Namun, raut Almira nampak khawatir dan membuat Sandi ingin bertanya lagi. "Kenapa, Al? Kamu kayak cemas gitu?"
Menggigit bibirnya sendiri sembari mengerjap pelan, Almira pun menyuarakan apa isi hatinya. "Aku enggak yakin apa hubungan kita ini masih sah di mata agama, soalnya selama tiga tahun kita belum menunaikan ibadah suami istri."
Almira berujar demikian karena setahunya nafkah batin itu tidak boleh ditinggalkan selama lebih dari empat bulan. Lebih dari waktu yang ditentukan, maka akan jatuhlah talak. Begitu yang dia tahu.
Sandi merasa tertampar dengan pertanyaan Almira barusan. Dia tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. "Maaf. Aku enggak berpikir sampai ke situ," ucapnya. "Tapi, setahu aku kalo suami enggak kasih nafkah batin selama hampir tiga bulan maka istrinya ada hak untuk meminta talak."
"Enggak! Aku enggak akan minta kamu buat talak aku walau seumur hidup kamu enggak mencintaiku. Aku rela, Mas, menunggu sampai kapan pun. Sampai kamu mau nerima aku." Almira menyela disertai derai air mata yang tak dapat dibendung lagi.
"Hei, kemari." Sandi membawa tubuh kecil Almira ke pelukan. "Aku tahu itu, Al. Kamu enggak akan minta aku buat nalak kamu. Di sini aku yang brengsek. Aku yang terlalu lemah dan bodoh karena belum bisa membuka hatiku untuk kamu. Maaf ...." Sandi menyadari kesalahannya yang memang sungguh sangat besar kepada perempuan baik ini.
Sembari mengeratkan pelukannya, Almira masih terisak di dada bidang Sandi. Tekadnya sudah bulat tak akan pernah meminta berpisah walau Sandi tak pernah menyentuhnya.
"Aku cinta sama kamu, Mas. Sejak aku tahu bahwa kamulah yang akan dijodohkan oleh orang tuaku. Aku bahagia walau pun aku harus menunggumu. Aku yakin suatu saat kamu akan mencintaiku seperti kamu mencintainya."
"Al, kamu ini wanita yang baik dan aku sangat menghormati kamu. Aku enggak mau dicap sebagai laki-laki brengsek yang menyentuhmu di saat hatiku masih ada nama wanita lain," ujar Sandi yang lantas membuat kepala Almira mendongak.
"Aku tahu, Mas. Kamu sebenarnya laki-laki yang baik. Karena itu aku tergila-gila sama kamu selama ini, tapi aku berusaha menahan diri untuk enggak nuntut ini itu. Aku enggak mau bikin kamu marah sama aku karena aku terlalu cerewet." Almira melontarkan semua uneg-unegnya agar lelaki ini paham dengan apa yang dia rasakan selama ini.
Seketika Sandi merasa dirinya memang sangatlah brengsek dan tidak tahu diri. Dicintai sebesar ini, dia justru sibuk memikirkan masa lalu. Bahkan masa lalu yang mungkin tidak pantas di ingat kembali.
Sandi terkekeh hanya untuk menghibur Almira. "Kamu enggak cerewet, kok. Kamu baik, Al. Sangat baik. Karena itu aku enggak mau jadiin kamu cuma sebatas pelarian aja," ucapnya lantas mengusap jejak air mata di pipi Almira dengan ibu jari. "Tapi aku janji mulai detik ini aku akan belajar mencintai kamu. Dan, aku harap kamu enggak akan pernah bosan menunggunya. Kita bisa mulai dari sekarang, bagaimana?" Lelaki itu menaik turunkan alisnya dengan tatapan tak terbaca.
Kening Almira mengernyit. "Maksudnya?"
Tanpa menjawab rasa penasaran Almira, perlahan Sandi mendekatkan wajahnya. "Kita bisa mulai dari ini." Kemudian dia menempelkan bibirnya di bibir Almira yang sama sekali belum pernah disentuhnya. Bibir yang menggodanya sejak tadi ternyata rasanya sangat manis. Sandi mulai memagut lembut bibir Almira dan menyesapnya bergantian.
"Eugh ...." Almira melenguh disela pagutan Sandi yang semakin membuatnya kepayang. Rasanya sungguh nikmat, ini adalah kali pertama mereka berciuman. Meski sempat terkejut, namun tak urung Almira menikmatinya.
###
bersambung...
Detik demi detik berlalu, namun kedua insan itu nampaknya masih enggan melepas pagutan yang baru pertama kali mereka lakukan. Rasanya sungguh mendebarkan dan membuat adrenalin Sandi sebagai seorang pria terpacu. Lembutnya bibir Almira membuat lelaki itu hilang akal dan...mungkin akan hilang kendali.Selama bersama dengan Sandra dulu, dia sama sekali belum pernah melakukan hal sejauh itu. Hanya sebatas menyentuh pipi, kepala, kadang mengecup kening. Sandi bukanlah tipe pria yang suka melewati batas, meski dirinya begitu tergila-gila pada Sandra kala itu.Jika bukan Sandi yang ada di posisi saat ini, mungkin Almira sejak dulu sudah digagahi tanpa memedulikan perasaan perempuan itu. Tiga tahun bersama bukanlah waktu yang sebentar bagi sepasang suami istri. Almira cantik, bahkan bisa dibilang kecantikannya jauh di atas Sandra. Bukannya Sandi tidak tergoda atau pun tidak tertarik kepada istri modelnya. Hanya saja setiap kali keinginan itu datang, bayangan wajah Sandra selalu tiba-tiba hadi
"Selamat, ya, Al... Suamimu memang best! Tahu aja apa yang istrinya mau." Danu memberi selamat kepada adik sepupu kesayangannya itu. Dia memeluk Almira seperti memeluk adik kandungannya sendiri."Makasih, Mas." Almira tersenyum malu. Yang lain pun ikut memberikan selamat.Sandra yang awalnya enggan dan tidak sudi memberi selamat, terpaksa harus ikut melakukannya. Perempuan berambut bergelombang itu maju lalu mengulurkan tangan. "Selamat, ya, Al." Dia memasang senyum palsu yang tentunya tak ada yang menyadari itu."Makasih, Mbak." Almira membalas uluran tangan Sandra. Tiba-tiba dia kepikiran sesuatu. "Oh, iya, Mas. Aku ada ide. Gimana kalo kita ajak Mas Danu ke Bali bareng kita? Ya ... itung-itung sebagai hadiah pernikahan mereka. Kita 'kan waktu itu enggak sempet dateng ke pernikahan Mas Danu sama Mbak Sandra."Sandi termangu dengan usulan istrinya, dia bingung hendak menjawab apa. Sementara Sandra justru nampak senang sedangkan Danu menolak tawaran Almira."Eh, enggak perlu, Al. Engg
Perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta menuju ke Bali yang ditempuh sekitar dua jam lamanya, akhirnya telah berakhir di Bandara Internasional Ngurah Rai tepat pukul tiga sore. Acara bulan madu dadakan yang direncanakan Almira sebetulnya sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari. Perempuan yang berprofesi sebagai model itu sudah menyiapkan kejutan lainnya untuk suami tercintanya yaitu Sandi.Sebuah penginapan yang dipesan khusus untuk mereka menghabiskan bulan madu, berada di Seminyak Bali. Almira memesan Villa mewah di Mayaloka. Sebuah penginapan pribadi yang sering digunakan oleh para artis atau publik figur di tanah air. Dirinya yang seorang model menginginkan privasi tanpa diganggu oleh siapa pun. Mayaloka Villas sebuah penginapan yang sangat cocok menurutnya sebab fasilitasnya yang lengkap.Villa dengan satu kamar tidur luas dan beberapa fasilitas lainnya juga tersedia. Yang tak kalah menariknya juga ada kolam berendam mewah yang biasa disebut Jacuzzi. Tak tanggung-tanggung, Almira
Menjelang malam, Almira mengajak Sandi dan yang lainnya makan malam di Restoran yang kebetulan berada tidak jauh dari Villa tempat mereka menginap. Sebenarnya di Villa sudah ada layanan untuk itu, tetapi Almira ingin jalan-jalan sembari menikmati kebersamaan dengan suami dan juga kakak sepupunya—Danu.Restoran bintang lima yang terkenal di Seminyak Bali merupakan Restoran terindah yang pernah Almira temui. Tak salah bila dirinya menerima saran dari Khanza untuk honeymoon di sini. Tempatnya benar-benar indah dan menakjubkan. Yah, meski dia harus merelakan mata suaminya ternodai dengan para bule-bule cantik yang ada di Restoran itu. Rata-rata dari mereka para turis asing yang berpenampilan waow dan seksi.Duduk di meja paling pojok, Almira dan yang lainnya menikmati hidangan makan malam yang tersaji. Mereka berempat duduk saling berhadapan, namun yang membuat Sandi merasa tidak nyaman saat ini ialah mengapa dia harus tepat berada di depan Sandra yang malam ini terlihat sangat cantik dan
Semilir angin yang masuk lewat celah-celah jendela kamar seolah menerpa lembut permukaan kulit Almira yang sedikit terbuka. Gelenyar-gelenyar hangat mulai timbul ketika telapak tangan Sandi mengelus pipi sambil menatapnya penuh damba. Bukan sekali ini saja suaminya itu bersikap demikian, namun tak sekali pun hal itu dia lanjutkan lantaran bayangan mantan kekasihnya selalu hadir di tengah-tengah kebersamaan mereka.Tatapan mata Sandi meski di bawah cahaya temaram lampu kamar, seolah menyeret Almira tenggelam ke dalam pesonanya yang tiada dua. Paras rupawan Sandi begitu menghipnotis Almira yang sebentar lagi berada di bawah kendali lelaki itu. Akan tetapi, Almira sekuat mungkin menahan. Menahan dorongan hasrat yang kerap kali timbul apabila Sandi menyentuhnya. Almira hanya tidak mau jika sampai keinginannya lagi-lagi harus berakhir tanpa adanya kepastian. Sesuatu yang lama dia dambakan dari suaminya ini."Mas ...." Napas Almira terdengar putus-putus, mati-matian dia tengah menahan gejol
Sandi menyeringai di bawah Almira yang mulai larut dalam sentuhannya. "Kamu cantik, Al," ucapnya sambil mengulum bibir manis itu lagi. Rasanya dia mulai kecanduan dengan bibir Almira."Mas, aku enggak bisa napas." Almira menarik pelan wajahnya menjauhi wajah Sandi yang masih ada di bawahnya. "Kamu baru sadar kalo istrimu ini cantik? Kemarin-kemarin ke mana aja, Pak?""Kemarin-kemarin aku sibuk mengenang masa lalu sampai aku melupakan kecantikan istriku ini." Sandi tersenyum, lalu mengecup bibir Almira yang mengerucut lucu."Mas, dingin." Almira bergidik sebab angin malam yang masuk lewat celah-celah jendela kamar yang terbuka terasa membelai seluruh tubuh polosnya."Kalo begitu biar aku yang menghangatkanmu, Al." Sejurus kemudian, Sandi merubah posisi mereka. Kini Almira telah berada di bawah tubuh kekarnya."Mas. Aku suka dadamu ini. Rasanya aku ingin terus berada di dekapanmu ini." Jemari lentik Almira membelai dan menelusuri dada Sandi."
Pergumulan panas Almira dan Sandi berakhir hampir tengah malam. Lelaki itu nampaknya begitu menikmati malam pengantinnya bersama istrinya yang dinikahi selama tiga tahun itu. Almira pantas mendapatkan semua ini sejak dulu, sayangnya Sandi begitu egois dan bodoh. Sehingga lupa akan kewajibannya sebagai seorang suami.Di dekapannya kini ada Almira yang nampak kelelahan akibat ulahnya, memejamkan mata seraya mendengkur halus. Napas Almira terdengar teratur, tidurnya begitu damai dan pulas. Sandi yang tak tahan memutuskan mengecup kening Almira dengan sangat dalam."Maafkan aku, Al. Maaf... seharusnya aku memberikan semua hak ini dari dulu," lirihnya sembari membenarkan rambut Almira yang sedikit berantakan. Istrinya sangat cantik bila terlelap seperti ini.Oh, apakah kamu baru menyadari itu, Sandi? Ke mana saja kamu selama ini sampai tidak pernah memerhatikan istrimu? batinnya merutuki kebodohannya sendiri.Rasa kantuk sepertinya belum menghampiri Sandi, mes
Di tempat lain, tepatnya Villa yang dihuni oleh sepasang pengantin baru—Danu dan Sandra. Sosok perempuan berkulit putih pucat duduk termangu di stoolbar sambil menikmati jus jeruk favoritnya, masih mengenakan gaun tidur malam berbahan lace, warna merah menyala, warna favorit seseorang yang semalaman mengganggu pikirannya.Sandra tersenyum miris, membayangkan Sandi dan istrinya yang berada di tempat lain, pasti tengah asyik memadu kasih. Sedangkan di sini, dia hanya bisa meratapi penyesalan yang kian menjadi.Kebodohan dan penyesalannya tak lagi berarti untuk saat ini. Karena kenyataannya, Sandi telah memiliki istri yang cantik dan lebih segala-galanya. Seorang model, kaya, dan disukai seluruh keluarga. Ck!Sandra benci dengan yang dimiliki Almira. Kenapa bisa Almira seberuntung itu, pikir Sandra. Belum lagi, bila diperhatikan Sandi begitu mencintai Almira."Harusnya kita sudah