Share

Bab 2 - Pelajaran

Lydia menahan rasa sakit yang menusuk hatinya, lalu menguatkan dirinya untuk segera pergi ke Kantor Catatan Sipil.

Pada saat itu, Dylan telah mencoba menelepon Lydia dua kali, namun panggilan-panggilan itu tidak dijawab. Dengan rasa kesal, pria itu akhirnya memutuskan untuk tidak mencoba menelepon lagi.

Sementara itu, Lydia sudah duduk menunggu di Kantor Catatan Sipil, wajahnya pucat dan lemah karena kelelahan, sambil menanti kehadiran Dylan.

Satu jam kemudian, Dylan akhirnya tiba dengan tatapan dingin yang tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Dia berjalan mendekati Lydia dan menatapnya dari atas sampai bawah.

"Apa yang membuatmu tidak puas? Aku tahu kamu sudah banyak mendonorkan darah bulan ini, dan aku sudah memberimu kompensasi."

Lydia mengangkat kepalanya dan bertemu tatapan dingin Dylan. Suaranya terdengar pelan, dan dia memutuskan untuk tidak berkata apa-apa lagi kepada pria ini.

Lydia menatap Dylan yang berdiri di depannya. Meskipun pria itu tampan, gagah, dan menawan, selama ini dia tidak pernah melihat ekspresi kebahagiaan di wajah Dylan.

Dulu, Lydia selalu berhati-hati dan takut membuat Dylan marah. Namun, ketika dia melihat pria itu sekarang, perasaannya sudah tidak lagi ada.

Dylan menatap Lydia dengan pandangan merendahkan, dia mungkin bisa mengatasi sikap wanita itu yang tidak berterima kasih, tapi pikiran tidak jelas Lydia benar-benar membuatnya kesal.

Apakah dia pikir dia satu-satunya orang yang bisa mendonorkan darah?

"Lydia, jangan menyesal kamu."

"Yang paling aku sesali adalah menikahi kamu tiga tahun yang lalu," ucap Lydia sambil tersenyum getir.

Menjalani hidup dengan Dylan telah memberinya cukup banyak penderitaan.

Seiring berjalannya waktu, hari semakin larut. Tidak ada orang lain yang mengantre di Kantor Catatan Sipil selain Dylan dan Lydia. Mereka adalah pasangan terakhir yang akan bercerai hari ini.

Dalam waktu beberapa menit, pernikahan mereka yang berlangsung tiga tahun berakhir dengan cepat.

Lydia masih merasa jantungnya berdebar ketika akta cerai itu diserahkan padanya. Di sisi lain, Dylan tidak mengeluarkan sepatah kata pun dan bahkan tidak meliriknya.

"Ayo pergi ke rumah sakit." ucap Dylan dengan dingin

Dylan pastikan untuk mengambil darah berharga Olivia untuk terakhir kali.

Lydia mengangkat kepala sedikit dan tiba-tiba tersenyum. "Dylan, di masa depan, bahkan jika dia mati di depan mataku, aku tidak akan membuang setetes darah pun untuknya."

Dylan mengernyitkan alisnya, "Apakah kamu berani mengutuk Olivia yang sedang sakit? Ingatlah, kita menikah karena kamu bersedia mendonorkan darah kapan pun dia butuhkan."

Hati Lydia tertusuk ketika Dylan mengatakan hal itu. Tidak salah lagi, pria itu setuju menikahinya hanya karena wanita itu memiliki golongan darah O negatif yang jarang dimiliki orang, dan dia telah berjanji untuk mendonorkan darah setiap kali Olivia membutuhkannya.

Lydia hanya tersenyum dan tertawa hingga tak terkendali. Dia seharusnya telah menyadari bahwa dia tidak lebih dari sekadar bank darah bagi Dylan.

"Dylan, aku tidak lagi peduli dengan gelar Nyonya Tansen. Tidak usah khawatir, ini terakhir kali aku akan mendonorkan darah. Anggap ini sebagai pelunasan hutang."

Senyuman Lydia penuh dengan makna tersembunyi, seakan dia sedang merencanakan sesuatu di kepalanya. Lalu dia melemparkan pandangan terakhirnya pada Dylan sebelum berbalik dan pergi.

Dylan mengernyitkan alisnya, merasa sedikit kesal melihat perubahan dalam perilaku Lydia. Namun, perasaannya sulit dijelaskan, seolah-olah pria itu telah kehilangan kendali.

Sudah tiga tahun sejak pernikahan mereka, dan Dylan yakin dia telah mengenal Lydia dengan baik. Dulu, sebelum menikah, Lydia adalah gadis yang lembut, tetapi pernikahan telah mengubahnya menjadi wanita yang patuh dan tunduk.

Namun, baru-baru ini, Olivia sering membutuhkan transfusi darah, dan Dylan merasa bersalah karena itu. Meski begitu, Lydia selalu siap membantu tanpa ragu, dan itu telah memberi Dylan rasa lega.

Dylan merenung tentang bagaimana dia bisa memberikan kompensasi atas pengorbanan Lydia.

Terlepas dari niat awal Dylan saat menikah, Lydia telah menjalankan perannya sebagai istri dengan baik. Hanya saja, Dylan tidak merasa sedih, bahkan ketika dia mendapatkan permohonan cerai yang mendadak.

Menurutnya, perceraian bukanlah hal yang begitu penting!

Dylan meredakan perasaan kesalnya. Biarkan saja, suatu hari nanti, ketika Lydia benar-benar tidak sanggup lagi, dia pasti akan memohon dengan sendirinya.

****

Lydia menghentikan taksi di pinggir jalan tanpa menunggu reaksi dari Dylan, lalu dia berjalan menuju rumah sakit. Dia mencari ruangan khusus tempat Olivia dirawat, dan dengan tegas membuka pintunya.

Beberapa dokter dan perawat sedang merawat Olivia dengan penuh perhatian, bertanya apakah ada yang tidak nyaman.

Olivia melihat Lydia dan cahaya di matanya berkelip, wajahnya segera bersinar penuh kebahagiaan.

"Lydia, akhirnya kamu datang. Kamu tidak marah padaku, kan? Kesehatan tubuhku tidak begitu baik, dan aku selalu merepotkanmu. Aku khawatir tubuhmu tidak kuat."

Lydia melangkah dengan hati-hati, tatapannya gelap dan dingin.

"Kamu yang mengirim pesan itu, kan?"

Dia menegur dengan keras.

Lydia tidak membutuhkan jawaban, dan dengan tiba-tiba, sebuah tamparan keras menghantam wajah Olivia.

"Ahh!" Olivia kaget, meraih wajahnya sambil berteriak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status