Kevin berpikir akan ada drama yang menarik tadi.Dylan menatap Kevin dengan dingin. "Lydia adalah orang yang teliti, dia nggak akan asal pilih." Kalau saja tadi Victor punya sedikit saja ketenangan dan kepercayaan diri, Dylan tidak akan begitu mudah melepaskannya. Menganggap orang seperti itu sebagai saingan adalah penghinaan bagi Lydia.….Pembicaraan antara Lydia dan Charter berlangsung lancar. Keduanya memiliki pandangan yang hampir serupa dalam banyak hal. Mereka baru keluar setelah setengah jam telah berlalu. Charter harus kembali ke hotel. Lydia pun mengantarnya keluar. "Mike belakangan ini jarang kelihatan, masih takut karena kecelakaan waktu itu, ‘kan?"Charter tersenyum sopan, "Dia bahkan sudah pernah mengalami peperangan, mana mungkin dia takut? Saya carikan dia beberapa guru privat buat dia. PR-nya … lumayan banyak.”Lydia segera mengerti. Anak-anak seringkali tidak memiliki kebebasan, kasihan sekali. "Kalau kamu pengin ketemu dia, datang saja. Dia kangen sama Bu Lydi
Lydia tersenyum dan berkata, "Terima kasih, aku naik ke atas dulu, ya. Istirahat." "Oke,oke," jawab Bobby.Lydia sedang naik tangga ketika mendengar suara Ruben membuka pintu. Dia menoleh dan melihat Dylan sudah masuk. Bobby dengan semangat menyambut Dylan, mengibas-ngibaskan celemek kecil warna-warninya. "Pak Dylan sudah pulang? Pak Dylan dan Bu Lydia meski sibuk sekali, tapi tetap, yang sibuk mengurus banyak hal tapi tetap menawan begitu, susah deh ketemunya di dunia ini. Gimana bisa sih kalian berdua begitu cocok? Aduh, saya bahkan nggak tahu gimana deskripsiinnya ...."Ruben, yang hendak mengikuti Lydia, tiba-tiba berhenti mendengar kata-kata Bobby. Dia berbalik dengan ekspresi garang. "Saya pikir, hanya ada satu kalimat untuk menggambarkannya!"Mata Bobby bersinar, bersemangat mendekat. Akhirnya Ruben mau berbicara dengannya. Ini kesempatan baik untuk memperbaiki hubungan mereka. "Apa tuh?" "Lemah fisik, kuat mental!" Lydia tersenyum sinis melihat ekspresi Dylan yang tak
Lydia dengan tenang mengatakan kepadanya, "Charter bilang dia dapat sedikit petunjuk tentang kecelakaan mobilku. Dia minta ketemu di pesta. Aku pulang agak malam." Ekspresi Dylan serius, dia mempertautkan bibirnya dan berkata, "Hati-hati." Lydia mengangguk, lalu berjalan pergi. Ruben mengikutinya dari samping.Bobby bergegas mengikuti Lydia, berkata, "Saya juga pengin ikut, Bu Lydia, bawa saya juga. Saya bisa jaga Bu Lydia!" Lydia tidak ingin berbicara, khawatir akan menyakiti harga dirinya. Ruben memandang Bobby dengan tatapan tidak percaya. "Ada saya, Bu Lydia nggak akan kenapa-napa." "Saya di belakang layar, Ruben di depan, perlindungan ganda pasti lebih aman!" Bobby berharap Dylan akan membantunya berbicara. Dylan menggigit bibirnya dan berkata, "Bawa saja dia. Kalau memang ada apa-apa, nggak usah pedulikan dia." Bobby terdiam.Lydia mengangkat alisnya, "Ya sudah, terserah ...."Sesampainya di lokasi, Ruben turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Lydia. Begitu turun,
Dua orang lainnya tidak bisa menahan tawa.Howard menepuk bahu Sebastian. "Kalau kamu nggak keberatan dengan tiga pernikahan saya, mungkin bisa dikenalkan ke saya …." Sebastian memandang Howard dengan sinis dan berkata dengan ketus, "Heh ...."Preston tersenyum, mengangkat gelas anggurnya. "Bagaimanapun, Agustine Group memang layak mendapat pujian. Selamat ya …." Lydia mengangkat alis dan mengangkat gelasnya, "Terima kasih, Pak Preston." Preston menatapnya dengan kilauan di matanya, "Saya dengar Pak Dylan cedera, dia baik-baik saja? Beberapa hari yang lalu kami janji main golf, tapi asistennya membatalkan di menit terakhir. Saya ingin jenguk, tapi saya benar-benar nggak punya waktu …."Lydia menjawab, "Saya nggak tahu." Bagaimanapun, soal perawatan Dylan hanya diketahui oleh mereka dan orang-orang di Keluarga Agustine. Dia tidak ingin rumor menyebar luas. Preston tersenyum, "Iya juga. Bu Lydia dan Pak Dylan sudah pisah, gimana bisa Bu Lydia tahu?" Senyum Lydia membeku, matanya
Lydia mengambil segelas besar anggur, dia tidak ingin berbicara! Dia ingin berpura-pura tidak mengenal Bobby. Percakapan mereka menarik perhatian orang-orang. Preston datang lagi dengan gelas anggurnya, bingung melihat Bobby. "Siapa ini?" Lydia tidak berniat memperkenalkan mereka. Sebaliknya, Bobby berdiri dan mengamati Preston dengan pandangan penuh kecurigaan, mata mereka bertemu. Tampak ada sedikit permusuhan di antara keduanya. Bobby tersenyum, matanya menyipit. Dia berjalan mendekat, hendak berjabat tangan. "Wah, sudah lama sekali nggak ketemu!" Preston berpikir keras, merasa mungkin pernah bertemu orang ini. Tapi Preston tidak bisa mengingat siapa dia. Preston terpaksa tersenyum, "Ya, saya lihat Anda dan Bu Lydia akrab, semoga saya nggak ganggu.""Bukan masalah," Bobby melambaikan tangan, tampak santai dan percaya diri, seolah-olah dia sudah terbiasa di lingkungan semacam ini. Tanpa celah. Preston tersenyum penuh makna, memperhatikan mereka berdua. "Bu Lydia memang me
Charter mengatupkan bibir, matanya berkilau dengan cahaya dingin. Mereka tiba di rumah sakit, tapi tidak turun dari mobil. Ruben yang pergi. Tidak sampai lima menit, Ruben sudah menelepon. "Bu, kami sudah menangkap orangnya!" Lydia terkejut, mendengar suara memohon belas kasihan dari telepon. Orang asing. Charter mengambil telepon Lydia, bertanya langsung, "Apa Preston yang menyuruhmu datang?" Langsung ke intinya. Ternyata Charter juga curiga terhadap Preston. "Nggak, tidak ... bukan Pak Preston!" Suara itu terdengar tergesa-gesa, seolah-olah berusaha menutupi sesuatu. Tapi, dengan menyebut kata "Pak Preston" saja, semuanya sudah terbongkar. Charter tanpa ragu mengambil ponselnya dan menelpon. "Tangkap Preston, jangan biarkan dia kabur ...." Orang di seberang telepon ragu sejenak. "Pak Dylan datang, dia sudah menangkap Preston sebelum kami." Charter matanya berkilauan, "Oh? Oke." Dia menutup telepon, memandang Lydia. "Tampaknya Pak Dylan sudah tahu, dia bergerak lebih cep
Ketika Bobby sedang duduk sendirian di ruang tamu, wajahnya tampak cemas dan khawatir tentang Dylan, ia tiba-tiba mendengar suara di pintu. Dylan sudah pulang. Dengan penuh semangat, Bobby bergegas menyambutnya."Pak Dylan, sudah pulang? Meski kondisi tubuh Pak Dylan begini, masih saja Pak Dylan kerja keras. Pak Dylan itu orang paling hebat yang pernah saya temui, loh …."Dylan tadi sudah merasa cukup baik setelah berhasil menangani Preston. Saat itu, Dylan menjadi kesal mendengar ucapan Bobby. Pujian yang tak berbobot.Sambil menahan emosi marahnya, Dylan bertanya, "Lydia sudah pulang?""Iya, Pak Dylan. Hari ini kayaknya mood Bu Lydia kurang baik. Sebaiknya Pak Dylan nggak menemuinya dulu, deh. Biar nggak nambah masalah ...."Mata Dylan yang dalam dan penuh arti membuat Bobby merinding. Bobby terbatuk kecil, mencoba memperbaiki suasana."Tadi ikut Bu Lydia ke pesta. Pemandangan kayak gitu biasanya cuma bisa lihat di TV. Tapi saya rasa, sih, pesta tadi kurang oke karena nggak ada Pa
Keesokan harinya, Lydia menerima telepon dari Liam."Nielson Group ada masalah. Apa ini berkaitan dengan Dylan?"Lydia sudah menduga Liam pasti akan menyadari sesuatu. Dia sedang berada di luar negeri, berita dari dalam negeri seharusnya belum sampai kepadanya dengan secepat itu.Lydia dengan tenang menjelaskan kepada Liam tentang Preston yang ternyata adalah pelaku di balik semua ini.Liam terdiam lama, suaranya terdengar sangat dingin."Pastikan Ruben selalu melindungi kamu, jangan lengah. Urusan lainnya jangan kamu urusi, kita bicarakan nanti setelah aku kembali."Lydia hanya menjawab "oke".Mereka kemudian membicarakan beberapa hal lain, lalu menutup teleponnya.Lydia mengerahkan seluruh perhatiannya pada proyek kerjasama mereka. Dia pergi ke Julist Group pagi-pagi sekali.Victor yang masih kurang berpengalaman, menghadapi beberapa masalah rumit. Dia belum bisa mengambil keputusan dengan cepat. Lydia menghabiskan sehari penuh bersama Victor, dengan sabar mengajarinya. Tak terasa,