Bentar, bentar aku ingat-ingat, tadi aku masukin apa aja di saladnya. Kalau iya aku kasih racun, tipe racun apa yang aku masukin? Lupa nih.
"Alula! Jawab saya!"
Tak disangka, bu Maura tiba-tiba memukul kepala Gaza dengan sendok, hingga membuat Gaza mengaduh kesakitan. "Maa ...," rengek Gaza.
"Jangan nuduh calon mantu mama sembarangan, ya! Masih bagus Alula mau buatin sarapan buat kamu," omel bu Maura.
Aku pun tersenyum senang melihat pembelaan Bu Maura padaku. Duh, rasanya di sini aku yang jadi anak kandungnya bu Maura, deh, bukan Gaza.
"Tapi kalau memang benar Alula menaruh racun di makanan ini bagaimana? Mama mau melihat anak Mama mati keracunan?" tukas Gaza.
Bu Maura bangkit dari duduk, lalu menghampiri anaknya itu. Telinga kiri Gaza langsung menjadi sasaran empuk bu Maura untuk menjewer.
"Hai, Alula. Aku Naufal. Mungkin kamu sudah dengar namaku dari ibu kamu," jawab orang dari seberang sana, yang bersuara laki-laki."Siapa memangnya? Sepertinya aku lupa," kataku.Gaza terus mengawasi, membuatku merasa kurang nyaman."Aku Naufal yang mau dijodohin sama kamu, Alula. Kamu sudah tau, kan, mengenai perjodohan kita?""Apa?!" Aku syok mendengar penuturan orang yang menelponku ini."Ada apa, Alula? Siapa yang menghubungi kamu?" tanya Gaza dengan raut khawatir.Benarkah orang yang menelpon ini adalah orang yang mau om Ardi jodohin sama aku? Tapi, dari mana orang ini tahu nomor ponselku, yang bahkan om Ardi saja nggak punya. Masa iya sih, kalau ibu yang ngasih tahu."Alula.""Alula."Antara Gaza, dan orang di seberang sana memanggilku secara bersamaan, hingga membuat bingung, aku mau jawab yang mana.Tak kupedulikan Gaza, aku berlari ke luar dari r
"Naufal, aku kedatangan tamu, nih. Pertemuan kita hari ini cukup sampai di sini dulu, ya," ucapku pada laki-laki yang dijodohkan oleh om Ardi denganku.Ada Lashira di sini. Kalau aku nggak usir Naufal sesegera mungkin, Lashira akan tambah curiga, dan pasti akan bertanya macam-macam."Oh, baiklah. Tapi, lain kali kita bisa ketemu lagi, kan?" Naufal menatapku."Mmm ... mungkin. Nanti aku bakal kabarin lagi," kataku, meski berharap ini pertemuan yang terakhir kali.Setelah memastikan Naufal pergi, aku segera membawa Lashira masuk ke kost."Uuh ... berantakan banget kost-annya," komentar Lashira begitu memasuki kamar kost. Aku sih, nggak heran kalau Lashira bakal ngomong kayak gitu. Maklum, orang kaya mana mungkin pernah merasakan tinggal di ruangan sempit seperti ini."Ya ... pastinya, kalau dibanding rumah kamu, bak bumi, dan
Hari ini aku nggak masuk kerja lagi. Tepatnya izin cuti, karena pulang kampung. Kemarin ibu menyuruhku untuk pulang. Katanya akan membicarakan perihal perjodohanku dengan Naufal, juga tentang lamaran Gaza.Sedari kemarin, Gaza tak memberiku kabar. Aku juga nggak berusaha buat hubungi dia dulu. Tapi, menurut informasi dari Lashira, Gaza, dan kedua orang tuanya belum pulang ke Jakarta. Kata ibu, mereka juga nggak menginap di rumah.Mendengar kabar itu, membuatku khawatir. Mungkin saja kan, kalau ibu sudah menolak lamaran itu, lalu Gaza merasa patah hati, hingga memutuskan untuk menunda kepulangan ke Jakarta.Jika benar ibu sudah menolak Gaza, tahu gitu, kemarin-kemarin aku terima lamaran Gaza aja dulu tanpa sepengetahuan ibu. Biar nanti aku sama Gaza bisa sama-sama meyakinkan ibu. Huh! Aku jadi nyesel karena nggak langsung kasih jawaban ke Gaza waktu itu.'Alula, kata ibu kamu,
"La, kalau bener keluarga Gaza yang punya kantor tempat kamu kerja, ibu kok, jadi nggak yakin merestui, seandainya kamu milih Gaza."Oh My God! Ini apa lagi? Kenapa ibu jadi berubah pikiran begini?Aku mengerutkan dahi. "Memangnya kenapa, Bu?""Ya, berarti mereka kan orang kaya, La. Sedangkan kita cuma orang biasa," jawab ibu.Nggak salah sih, kalau ibu memikirkan hal ini. Tentunya, aku juga sadar diri kok, kalau status sosial antara aku, dan Gaza amatlah berbeda. Tapi, sebelumnya aku sudah memberitahu Gaza tentang hal ini, dan dia sama sekali tidak mempersoalkan mengenai ini, pun dengan kedua orang tuanya. Makanya, aku berani maju, dan memikirkan untuk menerima Gaza."Tapi, Gaza, dan keluarganya nggak pernah menilai orang dari status sosialnya, Bu. Orang tua Gaza juga tau, kok, aku berasal dari golongan rakyat jelata, dan mereka setuju-setuju aja. Kalau orang tua Gaza nggak setuju, nggak mungkinlah mereka kemarin datang ke sini,"
"Lho, kenapa? Memangnya apa kurangnya Naufal?""Ini bukan cuma tentang Naufal, Om. Tapi, aku udah ada pilihan lain. Om mau, kan memberi restu untuk pilihanku? Om mau kan, jadi wali nikahku dengan pria yang aku suka?""Tentu om mau menjadi wali nikah kamu, Alula. Kan om satu-satunya saudara kandung laki-laki dari ayah kamu. Tapi, om mau jadi wali kamu, jika calon suami kamu adalah laki-laki yang baik, seperti Naufal," ucap om Ardi.Aku menghela napas. Lagi-lagi Naufal yang jadi acuannya om Ardi. Memangnya laki-laki baik di dunia ini cuma Naufal aja, apa? Banyak kali, salah satunya Gaza. Uuh, aku jadi kangen deh, sama dia."Pilihan aku laki-laki baik, kok, Om," ungkapku."Buktinya apa?""Kemarin lusa, dia datang melamar langsung ke ibu bersama kedua orang tuanya. Kalau Om nggak percaya, tanya aja ke ibu," ujarku.Om Ardi manggut-manggut. Tampaknya dia sedang berpikir. Harapanku sih, om Ardi setu
"Maaf, semuanya, khususnya untuk ibu, dan omnya Alula. Karena Alula sudah menerima saya, apa saya boleh mengajukan permintaan?" tanya Gaza."Ooh, tentu saja boleh, Nak Gaza," jawab ibu, "ayo diutarakan saja."Gaza tersenyum. "Begini, Bu, apa boleh kalau hari ini juga, saya menikahi Alula?"Semua tercengang mendengar penuturan Gaza. Begitu juga aku. Bisa-bisanya dia bersikap bak orang yang nggak sabaran buat cepet-cepet nikah di depan ibuku. Apa dia nggak malu?Ibu tersenyum. "Gimana, ya? Ibu sih, ikut gimana baiknya saja, Nak Gaza.""Begini, Ibunya Alula. Sebenarnya, ini anak sama menantu saya mau mengadakan resepsi pernikahan kurang lebih delapan hari lagi. Jadi, mungkin Gaza ingin sekarang menikah dulu, lalu resepsinya dibarengkan sama resepsi adiknya Gaza nanti," jelas bu Maura."Iya, Bu, mungkin maksud kak Gaza, biar resepsinya bareng aja sama resepsi saya besok." Liora menimpali.Ibu manggut-manggut
Di sinilah aku sekarang. Di kamarku bersama dengan bu Maura, dan adik kembar Gaza, Lashira, dan Liora. Eh, kalau dipikir-pikir, kok aku dan Gaza sama-sama punya adik kembar, ya. Jangan-jangan, anak kami nanti juga kembar, secara kami sama-sama berasal dari keluarga yang punya gen anak kembar."Udah, selesai!" sorak Liora setelah dia selesai meriasku. Riasannya cukup bagus, dengan Korean look make up seperti request dariku. Melihat di cermin, aku terlihat cantik. Ya, meskipun nggak pake make-up juga cantik, sih, hehe."Wow! Cantik banget, sih, kakak iparkuuu," puji Lashira dengan begitu antusiasnya. Dia kemudian mengambil ponselnya yang sedari tadi tergeletak di ranjang, lalu mulai memotretku. "Ini kalau dikirim ke kak Gaza, pasti dia bakal liatin terus tanpa kedip.""Ngapain dikirim ke kak Gaza segala? Orang sebentar lagi dia juga bakal liat orangnya langsung," ujar Liora."Ya
"Gaza lepasin, deh, nggak enak kalau ada yang lihat," ucapku yang merasa tak nyaman. Bukan tak nyaman dipeluk, tapi takut ketahuan sama yang lain, nanti diledekin, lagi, kan malu!"Biarin. Toh, kita sudah menjadi suami istri. Wajar kan, jika seperti ini?" ucap Gaza dengan santainya, tanpa menghiraukan perkataanku. Justru pelukannya kini semakin erat."Tapi, tetep aja nggak enak kalau ada yang liat. Nanti kalau diledekin gimana?" Memang kebiasaan di keluarga besarku tuh, suka meledek pasangan pengantin baru yang lagi mesra-mesraan."Ya, nggak papa. Pasangan pengantin baru, kan, memang sasaran empuk untuk jadi bahan ledekan."Ish! Dasar suami bandel!Baru nikah aja, dia sudah nggak mau dengerin omonganku, gimana kalau usia pernikahannya sudah lama?Aku membalikkan tubuh menjadi menghadap ke arahnya. Grogi jangan