"Lho, kenapa? Memangnya apa kurangnya Naufal?"
"Ini bukan cuma tentang Naufal, Om. Tapi, aku udah ada pilihan lain. Om mau, kan memberi restu untuk pilihanku? Om mau kan, jadi wali nikahku dengan pria yang aku suka?"
"Tentu om mau menjadi wali nikah kamu, Alula. Kan om satu-satunya saudara kandung laki-laki dari ayah kamu. Tapi, om mau jadi wali kamu, jika calon suami kamu adalah laki-laki yang baik, seperti Naufal," ucap om Ardi.
Aku menghela napas. Lagi-lagi Naufal yang jadi acuannya om Ardi. Memangnya laki-laki baik di dunia ini cuma Naufal aja, apa? Banyak kali, salah satunya Gaza. Uuh, aku jadi kangen deh, sama dia.
"Pilihan aku laki-laki baik, kok, Om," ungkapku.
"Buktinya apa?"
"Kemarin lusa, dia datang melamar langsung ke ibu bersama kedua orang tuanya. Kalau Om nggak percaya, tanya aja ke ibu," ujarku.
Om Ardi manggut-manggut. Tampaknya dia sedang berpikir. Harapanku sih, om Ardi setu
"Maaf, semuanya, khususnya untuk ibu, dan omnya Alula. Karena Alula sudah menerima saya, apa saya boleh mengajukan permintaan?" tanya Gaza."Ooh, tentu saja boleh, Nak Gaza," jawab ibu, "ayo diutarakan saja."Gaza tersenyum. "Begini, Bu, apa boleh kalau hari ini juga, saya menikahi Alula?"Semua tercengang mendengar penuturan Gaza. Begitu juga aku. Bisa-bisanya dia bersikap bak orang yang nggak sabaran buat cepet-cepet nikah di depan ibuku. Apa dia nggak malu?Ibu tersenyum. "Gimana, ya? Ibu sih, ikut gimana baiknya saja, Nak Gaza.""Begini, Ibunya Alula. Sebenarnya, ini anak sama menantu saya mau mengadakan resepsi pernikahan kurang lebih delapan hari lagi. Jadi, mungkin Gaza ingin sekarang menikah dulu, lalu resepsinya dibarengkan sama resepsi adiknya Gaza nanti," jelas bu Maura."Iya, Bu, mungkin maksud kak Gaza, biar resepsinya bareng aja sama resepsi saya besok." Liora menimpali.Ibu manggut-manggut
Di sinilah aku sekarang. Di kamarku bersama dengan bu Maura, dan adik kembar Gaza, Lashira, dan Liora. Eh, kalau dipikir-pikir, kok aku dan Gaza sama-sama punya adik kembar, ya. Jangan-jangan, anak kami nanti juga kembar, secara kami sama-sama berasal dari keluarga yang punya gen anak kembar."Udah, selesai!" sorak Liora setelah dia selesai meriasku. Riasannya cukup bagus, dengan Korean look make up seperti request dariku. Melihat di cermin, aku terlihat cantik. Ya, meskipun nggak pake make-up juga cantik, sih, hehe."Wow! Cantik banget, sih, kakak iparkuuu," puji Lashira dengan begitu antusiasnya. Dia kemudian mengambil ponselnya yang sedari tadi tergeletak di ranjang, lalu mulai memotretku. "Ini kalau dikirim ke kak Gaza, pasti dia bakal liatin terus tanpa kedip.""Ngapain dikirim ke kak Gaza segala? Orang sebentar lagi dia juga bakal liat orangnya langsung," ujar Liora."Ya
"Gaza lepasin, deh, nggak enak kalau ada yang lihat," ucapku yang merasa tak nyaman. Bukan tak nyaman dipeluk, tapi takut ketahuan sama yang lain, nanti diledekin, lagi, kan malu!"Biarin. Toh, kita sudah menjadi suami istri. Wajar kan, jika seperti ini?" ucap Gaza dengan santainya, tanpa menghiraukan perkataanku. Justru pelukannya kini semakin erat."Tapi, tetep aja nggak enak kalau ada yang liat. Nanti kalau diledekin gimana?" Memang kebiasaan di keluarga besarku tuh, suka meledek pasangan pengantin baru yang lagi mesra-mesraan."Ya, nggak papa. Pasangan pengantin baru, kan, memang sasaran empuk untuk jadi bahan ledekan."Ish! Dasar suami bandel!Baru nikah aja, dia sudah nggak mau dengerin omonganku, gimana kalau usia pernikahannya sudah lama?Aku membalikkan tubuh menjadi menghadap ke arahnya. Grogi jangan
"Tadi janjinya cuma sebentar aja, kan ketemunya? Terus, kenapa sekarang malah minta nego perjanjian?"Gaza menggenggam kedua tanganku. "Jujur, aku keberatan dengan syarat tadi siang, untuk tidak sekamar sama kamu. Tapi, daripada kamu nggak mau menikah sama aku, terpaksa aku iyakan.""Ya, udah, kalau gitu, tepati dong, syarat perjanjiannya," kataku."Tadi siang aku tidak berjanji, lho. Cuma mengiyakan saja."Huh! Si*l*n!"Oke. Tapi, kamu tadi janji cuma sebentar ketemunya, kan?"Gaza menghela napas, lalu melepaskan genggaman tangan. Dia menyugar rambutnya seperti sedang frustasi. Duh, aku jadi kasian."Kalau aku ingkar janji bagaimana? Aku beneran tidak bisa berjauhan sama kamu, Alula."Dasar mas suami! Segitu bucinnya ya, sama aku?Melihat matanya yang sendu, membuatku semakin tidak tega. Dia mungkin nggak bisa tidur karena ini bukan di rumahnya, atau di apartemennya. Maklu
Dari KUA, kita diberi surat keterangan bahwa pernikahan belum dicatat oleh negara. Surat itu yang nantinya akan diajukan ke pengadilan agama sebagai syarat pengajuan isbat nikah. Cukup rumit juga, ya, ternyata.Ini semua gara-gara Gaza. Coba kalau dia nggak maksa nikah siri dulu, pasti nggak akan ribet ngurusin ini itu. Kalau langsung nikah resmi kan gampang, cukup daftar ke KUA aja beres, nggak perlu ke pengadilan agama segala.Sepulang dari KUA, aku langsung menghubungi om Ardi, dan kerabat-kerabat lain yang kemarin menjadi saksi nikah. Gaza memaksa hari ini juga harus ke pengadilan agama, dan mereka semua harus ikut.Selesai mendaftar di pengadilan agama, kami langsung dipanggil ke ruangan sidang untuk melakukan isbat nikah. Sebelumnya aku mengira kalau proses ini akan memakan waktu berhari-hari, tapi ternyata langsung dipanggil untuk sidang. Entahlah, mungkin uang yang berbicara. Secara Gaza cukup m
"Itu apa, Sayang?" Gaza yang tadinya duduk di depan laptop, kini sudah berdiri, dan mendekat ke arahku. Melihat tatapan matanya yang kali ini terasa aneh, aku pun mundur. Tak disangka dia terus mendekat, sehingga mau tidak mau, aku pun terus mundur dengan perasaan sedikit ... takut. "Mas, kamu mau apa?" tanyaku cemas. Gaza menaikkan sebelah alisnya, seraya tersenyum miring. "Kenapa? Takut?" "E-enggak!" dustaku seraya terus mundur. "Kamu jangan dekat-dekat, dong!" Bukannya menuruti perkataanku, dia justru terus berjalan mendekat. Sialnya aku yang dari tadi mundur, tiba-tiba terhenti karena menabrak tembok. Dengan sigap, tangan Gaza segera mengunci pergerakanku. Kini jarak wajah kami amatlah dekat. Mungkin kalau diukur pakai penggaris anak sekolah, sekitar dua sampai tiga centi meter, atau bahkan kurang dari itu. Jangan tanyakan bagaimana degub jantung yang dari tadi terus menggila. Meski
Hari ini adalah resepsi pernikahan Liora. Sejak pagi, aku sudah didandani oleh MUA yang disewa untuk merias keluarga Alexander. Karena selepas subuh Lashira mengajakku untuk dirias, alhasil Gaza beberapa kali menghubungiku lewat ponsel. Mungkin dia uring-uringan karena istri cantiknya ini tak kunjung selesai dirias.Seperti kali ini, saat hair stylist menata rambutku, Gaza kembali menelpon. Aku yang sudah merasa tidak enak pada hair stylist, dan orang-orang yang berada di ruangan ini, memutuskan untuk mengabaikan panggilan Gaza."Pasti kak Gaza lagi tuh, yang telfon," tebak Lashira yang duduk di sampingku. Kebetulan dia juga sedang dirias."Iya, nih. Dia lagi." Aku memperlihatkan layar ponsel pada adik dari suamiku itu. "Biarin ajalah. Palingan mau tanya lagi udah selesai atau belum.""Diangkat aja, Kak. Kalau dicuekin, aku yakin nanti kamu bisa dihukum sama dia." Ancaman Lashira membuatku sedikit khawatir. Masa iya, sih, Gaza mau
"Kamu bukannya masih di kampung, La, kok tiba-tiba sudah ada di sini?" tanya Alena."Iya, La, sama pak Gaza, lagi. Kalian ada hubungan apa?" timpal Tere yang seketika membuatku mati kutu.Aku harus jawab apa?"Mmm ... a-aku ...." Duh! Aku bener-bener bingung mau jawab apa."Saya yang undang Alula secara langsung. Maka dari itu Alula ada di sini," ujar Gaza yang membuatku sedikit bisa bernapas lega. Tere mengangguk, sedangkan Alena masih dengan raut curiganya. Sekarang saja dia memicingkan mata ke arahku. "Kalau emang diundang, kok nggak balik ke kost dulu, La?"Mampus!Apa yang aku takutkan kini beneran terjadi. Ini semua akibat dari perbuatan Gaza yang ngebet pengen nikah siri. Ya, meskipun sekarang sudah resmi menikah secara negara, sih."Alula, aku cariin kamu dari tadi, lho," ujar Lashira yang tiba-tiba datang."Oh, hai. Iya, aku nyasar di sini," balasku.