Part 27Setelah Asih melepaskan celana dalamnya seperti yang diminta oleh Nyi Warsih, mereka bertiga segera keluar goa mengikuti langkah sang dukun pemuja penghuni alam kegelapan. Berjalan perlahan menyusuri kegelapan malam Hutan Cipelang dengan hanya membawa dua buah obor. Menerobos rumput ilalang lebih masuk lagi ke dalam hutan, dan berhenti tepat di sebuah pohon yang sangat tinggi dan besar. Suara-suara hewan hutan sesekali terdengar, diselingi suara gemerisik ranting-ranting pohon yang terkena hembusan angin malam. Bagi Narti dan Asih suasana terasa sangat mencekam. Isi dalam hutan ini masih sangat asing bagi mereka, tapi tidak buat Nyi Warsih. Nyi Warsih lantas memutari pohon besar tersebut, diikuti oleh Narti dan Asih, yang langsung terkejut setelah melihat batang pohon itu berlobang besar pada bagian bawah, mirip seperti pintu bulat yang terbuka lebar. Sesaat Nyi Warsih mengucapkan mantra-mantra dengan matanya yang terpejam, yang tidak dimengerti oleh Asih dan Narti. Seseka
Part 28Tubuh Asih sampai bergetar dan menggigil saat ada sesuatu seperti hembus angin yang tidak terlihat oleh kasat mata memasuki kemaluannya. Badannya terasa dingin, namun perlahan-lahan mulai hilang dengan sendirinya, dan sekarang justru area sekitar kehormatannya terasa hangat. Tidak ada sedikit pun rasa sakit pada area itu.Sepertinya, malam mulai memasuki waktu subuh, ketika Nyi Warsih dan Narti kembali datang untuk menjemput Asih Sukesih di lobang pohon tempat ritual berlangsung. Tidak banyak percakapan atau pun pertanyaan dari dukun tua tersebut, karena mereka langsung kembali lagi ke goa tempat di mana dukun perempuan tua itu tinggal."Gimana Sih, serem nggak ditinggal sendiri?" bisik Narti saat mereka berjalan bersisian dan sudah hampir sampai goa, sementara Nyi Warsih dengan langkah terseok-seok melangkah lebih dulu."Urang nteu berani buka mata, Nar. Merem wae ngikutin perintah dari Nyai Warsih," jawab Asih juga dengan sedikit berbisik."Tidak terjadi apa-apa gitu, Sih?"
Part 29Pagi-pagi sekali, dengan ditemani oleh Asih, Narti berangkat ke pasar dadakan yang berada di Desa Sekarwangi. Untuk ke desa itu, mereka harus melewati Desa Cipandayan terlebih dahulu, baru setelah itu desa tujuan mereka untuk berbelanja kebutuhan berdagang warung soto milik Narti. Asih memang sengaja memilih menginap di rumah Narti semalam, selain karena Narti minta ditemani untuk pergi ke pasar, hari ini juga untuk yang pertama kali mereka mencoba penglaris dagang yang diberikan oleh Nyi Warsih. Selain untuk membuat agar dagangan Narti menjadi laris, penglaris dan pengharum aroma masakan ini juga bertujuan agar Juragan Karta mau mampir dan makan di warung soto santan milik Narti. Keduanya sangat bersemangat sekali. Ingin secepatnya membuktikan keampuhan penglaris dari Nyi Warsinah. Apakah benar bisa membuat dagangan Narti menjadi laris dan diserbu pembeli. Karena memang sebenarnya, warung soto milik Narti ini tidak bisa dibilang rame-rame amat, bahkan cenderung sepi pemina
Part 30"Nartii ...! Bikinin soto nya tiga!"Narti dan Asih saling berpandangan, seperti tidak percaya jika secepat itu sudah ada pelanggan yang datang ke warung soto miliknya. "Nartii! Ini dagang nggak, sih?" Terdengar teriakan dari ruangan warung bagian depan. "Iya, Kang! Sebentarr!" jawab Narti cepat. Wajahnya terlihat cerah. "Ayuk, Sih ada pelanggan," ajak Narti meminta Asih membantunya melayani pelanggan. "Urang di dapur saja, Sih. Nanti jika Juragan Karta melihat urang, malah tidak jadi makan di sini," jelas Asih kepada Narti. "Terus, ini kuah sotonya bawa ke depan tidak?""Tidak usah, Nar. Biar di sini saja. Masa urang nanti ngangkang di depan banyak orang?"Narti tertawa kecil mendengar ucapan Asih, dan memang benar. Rahasia dagangnya ini jangan sampai diketahui oleh orang lain selain hanya dia dan Asih. "Nartii ...! Maneh pingsan di dalam!" Si pelanggan yang Narti tahu itu suara dari Kang Kosim memanggilnya kembali. Dan Kosim ini boleh dibilang mungkin jarang sekali mak
PELET DARAH KOTOR"Aku ingin menikahimu, Kesih, apa syarat yang kau minta?" tanya Karta sang juragan penggilingan padi. Pemilik puluhan hektare lahan pertanian di Desa Kemangi terus menatap Sukesih. Dalam pandangan matanya tidak ada perempuan yang cantiknya melebihi Sukesih saat ini, tidak juga Sumiarsih istrinya. Seorang mantan penari jaipong yang dahulunya menjadi primadona pria-pria sekecamatan. Pagi-pagi sekali, Karta yang juga seorang lintah darat sudah berkunjung ke rumah Sukesih. Mengetuk-ngetuk pintu rumahnya untuk bisa bertemu dengan perawan setengah tua bernama Asih Sukesih. Sukesih sengaja membiarkan saja Karta yang terus mengetuk pintu dan berteriak-teriak memanggil namanya, tidak langsung pintu rumah dibukanya. Dia hanya mengintip dari dalam rumah, melihat prilaku Karta yang seperti kelimpungan karena ingin menemuinya. Selarik senyum sedikit terangkat dari satu sudut bibirnya. Sebuah senyuman sinis, senyuman kemenangan. Satu per satu dendamnya akan dia balaskan, dan y
"Tentu saja Akang berani, geulis ... Neng bisa lihat sendiri nanti?" Karta mengerdipkan matanya genit kepada si perawan tua, lalu berbalik badan meninggalkan Sukesih yang masih berdiri di depan pintu rumahnya. Memperhatikan punggung sang juragan yang berjalan dengan sangat tergesa-gesa. Setelah tidak lagi terlihat, cepat-cepat Sukesih menutup pintu rumahnya bermaksud untuk mengikuti Karta dari belakang. Dia ingin membuktikan sendiri, apakah sang juragan tanah pemeras rakyat jelata itu akan memenuhi keinginannya atau tidak. Sementara itu sedari awal kedatangan Karta ke rumah Sukesih, sepasang mata terus memperhatikan dari jarak kejauhan. Sepasang mata milik Narti. Mengawasi setiap kejadian secara diam-diam. Lalu mengumpat dengan penuh kebencian saat melihat Karta berbalik badan dengan jalan terburu-buru. "Ma*pus kau, Sumiarsih. Sebentar lagi kau bisa merasakan, bagaimana rasanya dihinakan. Matilah maneh bersama kesombongan maneh!" Diakhiri dengan membuang ludah secara kasar ke tanah.
Asih Sukesih tidak lagi bertanya, dia hanya tersenyum sembari mengerdipkan sebelah matanya kepada sahabat sependeritaannya, Narti, dan Narti sudah bisa membaca maksud kode dari Asih. "Jadi, rencana kita beneran berhasil, Sih?" tanya Narti, walaupun dari kejauhan dia sudah bisa melihat, namun, dia ingin lebih memastikan. "Berhasil, Nar. Si Karta sekarang sudah tergila-gila denganku, layaknya a*jing penjaga kepada tuannya, dan aku sekarang yang jadi tuannya." Asih tertawa cekikikan, begitupun dengan Narti. Rencana mereka berdua untuk menuntut balas kepada Sumi akhirnya bisa terlaksanakan. "Sekarang, waktunya kita melihat penderitaan si jalang Sumi. Aku sudah berjanji, akan tertawa paling bahagia di depan biji matanya si Sumi nanti. Biar dia bisa merasakan, bagaimana sakitnya ditertawakan karena dianggap rendah dan hina," geram Asih, kembali mengutarakan sumpahnya di depan Narti, yang memang dahulu sudah Asih ucapkan ke sahabatnya itu, saat pertamakali Asih berhasil mendapatkan amalan
Karta kembali ke depan rumahnya, lantas memanggil kedua centeng yang sedang menjaga rumahnya. Berdiri bertolak pinggang di depan teras rumah. "Sarkim! Kuroo!" Tanpa menunggu lama, kedua centengnya datang dengan tergopoh-gopoh menghampiri, datang menghadap dengan tubuh terbungkuk-bungkuk. "Tabee, Juragan?" tanya Kuro, centeng Karta yang bertubuh kurus tinggi. "Nyai Sumi kemana!" tanya Karta dengan membentak. "Ti-tidak tau, Juragan.""Dasarr gob*ookk! Kerja kalian apa di sini! Makan gaji buta, haa!" bentak Karta dengan sangat gusar. "Ma-maaf, Juragan. Nyai Sumi tidak ada keluar rumah dari saat kami berjaga di sini, Gan." Sarkim kali ini yang menjawab. "Tapi nyai tidak ada!" Kedua centeng itu saling melihat satu sama lain, seperti saling memberikan kode, dan Karta membacanya sebagai sesuatu yang seperti dirahasiakan. "Kalian berdua pasti tahu sesuatu?" selidik Karta kepada keduanya. "Bicara! Atau aing suruh si Rustam buat memenggal kepala kalian?" ancam Karta kepada kedua cente