“Kita harus bicara. Aku ingin mengakhiri semuanya.” Sebuah pesan teks singkat dari Hail setelah sekian purnama untuk penantian Ranesha.
“A-Ap ….”
Dugh ….
Brugh!
Ada bunyi dari benda pipih yang jatuh mencium lantai, kemudian disusul oleh bunyi nyaring berikutnya dari tubuh ramping Ranesha. Tangan gadis itu tidak sanggup hanya untuk memegang gawai miliknya. Mungkin sekarang, layar kaca ponsel Ranesah sudah retak?
Namun yang lebih dramatis lagi adalah tubuh ramping Ranesha yang seakan melelah bagaikan mentega, meluncur dari posisi duduknya di kursi dan kini pantat Ranesha sudah bersentuhan dengan lantai. Entah bagaimana bisa terjadi, tapi yang jelas, sekretaris cantik ini mungkin saja tengah bersembunyi.
Karena memang tidak ada jaminan kalau pintu di depan sana tidak akan diketuk oleh siapa pun. Ranesha tidak ingin
Suasana ruangan yang terasa semakin dingin, seolah-olah dapat menyelimuti tulang dan membekukan sel darah. Dulu ruang kerja ini bisa terasa sangat panas meskipun AC sedang menyala. Dulu ruang kerja ini bisa terasa sangat hangat dan menyenangkan meskipun ditumpuk banyak pekerjaan. Dulu ruangan kerja ini sudah Ranesha anggap seperti rumah kedua … tempat ia bisa merasa pulang.“Anda ingin membicarakan apa lagi? Saya rasa sudah cukup hanya dengan teks pesan yang Bapak kirim itu. Apa Anda masih belum puas? Ingin manyakiti saya sejauh mana lagi?” tajam Ranesha, menghadap Hail dengan posisi congkak dan wajah yang keras, seakan menegaskan rasa emosional yang ada di dalam diri.Namun, semua orang yang jika saat ini bertemu dengan Ranesha tentu bisa langsung tahu dengan satu kali lihat saja, bahwa perempuan itu habis menangis dengan sangat tragis, mata sembab nan bengkak milik Ranesha tidak bisa disembunyikan.J
Ranesha menggigit bibirnya sampai menimbulkan luka di sana. “Apa saya … memiliki kesalahan pada Anda? Padahal beberapa waktu yang lalu Anda sendiri yang bilang—”“Aku hanya berbohong saat itu,” sela Hail cepat.“H-Hanya?” ulang Ranesha gagap. Apa Hail benar-benar sejahat ini?Hail menyugar rambut dan menghela napas berat. “Apa ada masalah?”Yang benar saja? Apa kata pria brengsek ini tadi? ‘Aku hanya berbohong’ dan ‘Apa ada masalah’ katanya?Tubuh Ranesha membara, terbakar oleh api amarah bagai letusan gunung. Maka dengan langkah yang penuh dengan emosi, Ranesha mendekati Hail. Tepat pada saat itu, akhirnya pria tersebut berbalik, menghadap sang sekretaris cantik. Dan—PLAK!!Ranesha menampar keras dengan sekuat tenaga pipi kanan Hail, sampai-sampai
“A-Anda sungguh serius … dengan ucapan Anda barusan?” tanya Ranesha dengan suara yang sedikit bergetar, ia sudah mulai goyah. Namun, tidak ada satu titik pun air mata yang mengalir dari netra hezelnutnya yang indah itu. Perempuan tegar ini masih berusaha untuk mempertahankan harga diri yang sudah dijatuhkan oleh Hail begitu sangat jauh sampai ke dasar bumi.“Kenapa tidak? " Wajah yang datar. Tatapan yang dingin sampai menusuk ke tulang belulang. Ekspresi yang sangat amat Ranesha benci, pandangan seseorang yang merendahkan, dan tidak memiliki barang sedikit pun rasa peduli … apalagi empati. Kini semua hal itu ada pada diri sosok pria yang begitu Ranesha cintai. Hail Delmara.“Kau yang salah, Nona Ranesha Seibert. Harusnya dari awal, kau tidak mendekati suami orang. Ini adalah hukuman dari Tuhan untuk perempuan sepertimu.” Hail kembali melemparkan kalimat yang bagaikan belati, menusuk dan mancabik sa
“Hoaamm ….” Mata dengan netra abu-abu itu terlihat terkantuk-kantuk, sang pemilik tubuh baru saja menguap lebar, merenggangkan otot-otot badan yang terasa kaku.“Alexi!” panggil sebuah suara dari arah pintu depan.“Hm?” sahut malas pemuda yang memiliki warna rambut senada dengan matanya, abu-abu.“Kau tidak pulang? Masih betah di sini? Ayolah, pekerjaan itu bisa dilanjutkan besok!” seru suara lain lagi dengan nada yang cukup tinggi.“Hah … Bryan, Rayhan.” Alexi masih terlihat enggan untuk menoleh pada lawan bicaranya. Ia masih begitu sibuk memandang layar komputer di meja kerja. “Kalau kalian di sini hanya untuk menggangu. Lebih baik kalian berdua pergi saja sana, hush!” usir Alexi mengibaskan tangannya sekilas.“Wah, dasar orang gila kerja!” caci Rayhan dengan wajah mencibir. Ia men
Tujun tahun yang lalu. Di universitas X.“Hic … Hic … ah, sia—l!” maki seorang pemuda dengan wajah memerah yang tengah cegukan dan berjalan sempoyongan, tak tentu arah. Kadang tubuhnya oleng ke kanan atau oleng ke kiri secara tak karuan.“Di … mana jalan, huh? Hic—pulang, haha … hehe … di mana ya?” racunya sambil menyengir kuda. Dia adalah Alexi, dengan rambut asli yang pirang dan berkacamata besar. Pemuda ini tadi dipaksa minum sampai melewati batas diri oleh para senior di kampus. Merasa puas sudah menertawakan Alexi, orang-orang biadab itu pun langsung pergi.Ah, tidak pergi begitu saja sih. Mereka menyeret Alexi entah ke mana dan melempar pemuda malang itu bagai sampah jalanan. Di dalam kepala Alexi, mungkin ini adalah akibat dari dirinya yang sengaja menyembunyikan identitas. Seorang anak tunggal dari salah satu konglomerat terkenal. Seharusnya A
Kemabli ke masa sekarang. Di mana ada Alexi yang hanya dapat terdiam saat ditabrak dan jatuh terjungkal oleh Ranesha. Saat melihat perempuan itu menangis sambil berlari dengan brutal, Alexi tadi jadi ingat sekilas tentang pertemuan pertama antara ia dan Ranesha di masa lalu.Orang pertama dan perempuan satu-satunya yang mengulurkan tangan dengan perasaan tulus pada Alexi. Mata selalu berkata jujur. Saat itu meski dalam pengaruh alkohol, Alexi bisa tahu bahwa Ranesha tidak mengharapkan imbalan apa-apa darinya. Karena perempuan itu benar-benar murni melakukan kebaikan.Alexi yang polos di masa lalu … langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. “Dan sialnya aku sampai sekarang masih juga terjebak di sana,” beo Alexi pelan. Mulai berdiri dan menepuk-nepuk pakaian yang ia kenakan.“Jadi kau akhirnya mencampakkan Ranesha, ya?” Mata Alexi terarah pada sebuah tombok yang jika ditembus, ada ruang k
“Jadi bagaimana? Mau memanfaatkan aku?” tanya Alexi setelah menyampirkan mantel tebalnya pada Ranesha. Mata abu itu terlihat begitu serius. Tidak ada titik kebohongan barang sedikit pun yang bisa Ranesha temukan di sana.Namun, tetap saja perempuan ini tidak bisa mengerti apa motif dari tindakan Alexi yang mendadak seperti ini. Entah ke mana hilangnya semua rasa sesak yang Ranesha rasakan tadi. Kini semuanya berganti dengan rasa tak karuan dan keheranan akan tingkah laku Alexi.“Kau … bicara apa?” Ranesha mengeratkan mantel yang tadi dipakaikan untuknya. Baru ia sadar akan suasana dingin di sekitar yang menghunus dan menusuk tajam sampai ke tulang."Ah, j-jadi ...." Telinga Alexi tiba-tiba memerah. Ia menjilat bibirnya yang kering agar basah, menunduk gelisah dan menggaruk kepala seperti sedang dilemparkan pertanyaan mematikan saat sedang wawancara.Harus kah ia melakuk
O-Orang gila ….Bibir Ranesha terasa sangat kelu, ia tidak tahu lagi harus merespon seperti apa pernyataan sekaligus tawaran yang diberikan oleh Alexi. Memang di sisi lain perempuan ini butuh tempat pelarian, ia sangat ingin keluar dari lingkaran setan cinta berbelit antara dirinya, Hail, Meriel, dan juga Aron.Namun … apa benar kalau jawabannya adalah Alexi?Ah, tidak. Ranesha menggeleng keras. Ia harus menghentikan pemikiran sampah seperti itu. Bukanlah kebenaran menjadikan seseorang sebagai pelarian hanya karena kau sudah sakit hati dan orang tersebut mencintai dan memberikanmu penawaran. Ranesha tidak ingin menjadi orang sejahat itu. Hanya karena ia disakiti terus menerus, tidak akan membenarkan alasan untuk menyakiti orang lain juga, apalagi mempergunakannya.Ranesha menguk ludah. Ia harus menolak lelaki rapuh di hadapannya saat ini juga? Padahal Ranesha sendiri begitu sangat memah