“Cassie? Kenapa kau di sini?” tanya Eridan dengan kerut alis melukiskan keheranan. Mata perempuan di hadapannya pun terbuka tak kalah lebar.
“Aku … aku ….” Pandangan si wanita kurus kini bergerak-gerak tak tentu arah. Selang beberapa saat, kakinya melangkah mundur lalu berbalik pergi.
Merasa ada yang tak beres, Eridan langsung berlari mengejar. “Tunggu dulu, Cassie.”
“Apa lagi, Eri? Aku sudah tidak mengganggu istrimu. Apa lagi yang kau minta?” Sekali lagi, si wanita bergegas menjauh.
“Aku bertanya kenapa kau di sini? Apa mungkin … kau hamil?”
Langkah Cassie pun terhenti. Setelah menimbang-nimbang sejenak, ia berbalik dan mendongakkan wajah ke arah si mantan kekasih. “Tidak. Aku tidak hamil. Aku sakit, Eri.”
Kerut alis sang pria otomatis bertambah dalam. “Sakit?”
“Kanker mulut rahim. Sekarang, apa kau senang sudah membuatku menderita?”
Pelupuk Eridan
“Belakangan ini, kamu semakin sering pulang malam, Ridan. Kapan kita bisa bersantai seperti biasa lagi? Padahal, aku sudah bersemangat menyelesaikan target harian menulisku,” protes Vela sembari melirik ke arah jam. Suaminya selalu pulang lewat dari pukul 9.“Maaf, Vel. Pekerjaanku sedang menumpuk. Bersabarlah sampai masalah ini selesai, hm?” tutur pria berwajah lelah. Dengan penuh harapan, ia membelai wajah sang istri.“Masalah apa? Kamu enggak pernah cerita kalau di kantor sedang ada masalah,” geleng perempuan yang tidak mengerti. Mulut Eridan sontak menganga. Ia telah melontarkan kalimat yang salah.“Hm, sulit untuk dijelaskan, tapi percayalah padaku. Aku pasti bisa mengatasinya,” angguk pria yang sedang mengusahakan senyum. Ia tidak tahu bahwa bibirnya tidak bisa lagi melengkung. Sudutnya hanya tertarik datar menuju pipi.Sadar akan kebohongan sang suami, Vela pun menggembungkan pipi. “Apakah malam ini kamu mau
“Kamu mau pergi? Bukankah kamu baru saja memintaku menemanimu makan malam?” tanya Vela dengan kerut alis tak terima. Perempuan itu hanya bisa pasrah melihat sang suami bergegas menuju motornya.“Maaf, Vel. Aku harus pergi. Permintaan klien kali ini sangat mendesak.”“Oh, begitukah? Lebih penting dari kebersamaan kita?” Mata sang wanita mulai berkaca-kaca.“Maaf, Vel. Besok malam, kita makan bersama. Oke?”Tanpa menggerakkan kepala sedikit pun, Vela melihat motor Eridan melaju. Otaknya sudah teralihkan oleh rasa sesak dalam dada. Bernapas pun sulit bagi wanita itu.“Lihatlah, Vel. Siapa yang kamu harapkan? Laki-laki yang bahkan tidak memandang dirimu penting,” ucap Vela kepada diri sendiri. Sedetik kemudian, ia tertunduk dan menelan ludah.“Ah, kenapa sakit sekali?” Dengan mata terpejam, perempuan itu memukul-mukul dada, berharap rasa nyeri berhenti menggerogoti asa.
“Jangan paksa aku, Ridan! Aku enggak mau mengandung anakmu!” Vela terus memberontak meski sia-sia. Tenaganya terlalu lemah bagi seorang pria yang dilanda keberingasan.Tanpa melakukan pemanasan, Eridan menyerbu masuk dan menghujam dengan kekuatan penuh. Erangan kesakitan sontak terdengar pilu.“Akh …! Ridan … kumohon,” rintih Vela lirih. Tangannya terus menggapai-gapai, mencoba meraih apa pun yang berada dalam jangkauan. Namun, yang ia dapat hanyalah seprai yang bahkan tidak bisa digenggam.“Ridan! Engh …. Hentikan!” seru Vela di sela desah. Erangan tertahan membuntuti kata-katanya. Perempuan berwajah merah itu sudah tidak bisa melawan. Serangan suaminya terlalu brutal, sama sekali tak kenal ampun.“Kumohon, Ridan …” bisik wanita yang telah pasrah. Akan tetapi, Eridan tetap mendesak tubuhnya. Alhasil, Vela pun terpejam dan meringis dalam rintihan. Hatinya tidak bisa lagi diselamatkan. Kepingannya telah berhamburan m
Setiap pagi, Eridan menatap sisi ranjang yang tidak ditempati. Hatinya meringis perih. Setelah memejamkan mata menenangkan emosi, ia berangkat kerja dan menyibukkan diri sebisa mungkin.Saat siang datang, pria itu masih menemui Cassie, berharap bahwa keputusannya untuk membantu wanita itu tidak sia-sia. Kemudian, ia kembali ke kantor dan mendesak pikiran untuk fokus pada pekerjaan. Pada malam hari, Eridan mengunjungi mantan kekasih lagi. Setelah memastikan perempuan itu makan dan meminum obat, barulah ia pulang dan mengurung diri bersama kerinduan.“Apa yang sedang Vela lakukan? Apakah dia sudah tidur? Semoga saja dia tidak lupa makan. Ah, aku benar-benar ingin memeluknya,” batin Eridan sembari mengeratkan dekapan. Boneka dalam lingkar lengannya kini tidak lagi berbentuk bintang.“Vela bahkan tidak membawa Star bersamanya. Dia pasti benar-benar ingin melupakanku,” pikir pria yang lagi-lagi dilanda kenegatifan. “Jika tidak, bagaimana
“Ah, kenapa badanku terasa tak nyaman?” gumam Vela sembari mengangkat jemari dari keyboard. Setelah memijat tengkuk dan pundak sejenak, perempuan itu mendesah. “Ah, sepertinya … aku perlu istirahat. Tangannya pun meraih sebungkus roti dan susu.Begitu hendak menyobek kemasan, gerakannya membeku. “Apakah hari ini aku makan di luar saja?” pikirnya sambil mengerutkan alis. “Sepertinya, aku perlu asupan yang lebih bergizi.”Setelah mengangguk ragu, Vela akhirnya keluar dari sarang. Dengan kepala terus menatap jalan, ia berjalan menuju warung makan terdekat.Ketika hendak memasuki warung, mata Vela terbelalak. Sosok yang ia kenal sedang menatap balik dengan mata yang tak kalah besar. Kopi yang hendak diminum langsung diletakkan kembali ke atas meja. Sebelum pria itu bereaksi, Vela secepat mungkin berbalik dan melarikan diri.“Vela? Kenapa dia
“Bagaimana, Sus? Apa benar tekanan darahnya rendah?” tanya Roger begitu perawat mulai membuka lilitan di lengan kiri Vela.“Benar. Tensinya hanya 88/59 mmHg.”“Lalu, bagaimana, Dok?” tanya Roger sembari mengalihkan pandangan menuju wanita berjas putih yang tampak sedang berpikir.“Sus, tolong siapkan ruang USG. Saya curiga, sepertinya pasien ini sedang hamil.”Deg! Mata Roger langsung terbuka lebar dan jantungnya berdebar hebat. “Vela hamil?”“Itu baru dugaan saja, Pak. Tapi, Bapak tidak perlu khawatir. Sebentar lagi, istri Anda akan segera sadar. Pasien hanya memerlukan infus dan vitamin.”Roger mengangguk dengan tampang datar. “Terima kasih, Dok.” Setelah sang dokter pergi, tatapan Roger terfokus pada Vela. “Jika kamu benar-benar hamil, apa yang harus kulakukan?” tanyanya dalam hati. Dengan tangan terkepal dan desah napas samar, sang pria mencari jawaban dalam benaknya.***
“Apa ada yang perlu kubantu, Mbok?” tanya Vela ketika memasuki dapur. Wanita yang sedang menyiapkan sarapan pun menoleh.“Eh, Non Vela ... pagi sekali sudah bangun,” sahut Mbok Sum seraya menyunggingkan senyum hangat. “Kenapa enggak pakai baju dari lemari?”Sang tamu langsung tersenyum dan menggeleng. “Aku lebih nyaman pakai bajuku sendiri, Mbok,” sahut perempuan berkaus oblong yang sudah agak pudar itu.“Ya sudah, kalau begitu, sekarang Non Vela duduk dulu. Sarapan sepuluh menit lagi siap.”“Mau kubantu, Mbok?” tanya Vela sembari memeriksa bahan makanan yang tersedia.“Enggak perlu, Non. Cuma bikin dadar telur dan rebusan sayur.”“Enggak apa-apa, Mbok. Biar aku enggak cuma menumpang hidup di sini.”“Jangan, Non .... Den Roger melar
“Kamu benar-benar gila, Roger. Untuk apa kamu memberiku rumah baru sebagus ini?” protes Vela ketika pria itu menyeret kopernya memasuki ruang tamu.“Sudah kubilang, ini bukan rumah baru, Vel. Ini rumah warisan orang tuaku yang jarang ditempati. Daripada sia-sia, lebih baik kamu tinggal di sini.” Laki-laki itu terus menyeret koper menuju kamar. Meskipun Vela berusaha menghadang, ia tetap melaju.“Tetap saja, Roger. Ini terlalu banyak. Aku tidak bisa menerima ini.”Tiba-tiba, Roger melepas gagang koper dan berbalik menangkap lengan wanita yang berusaha merebut kopernya. “Vela, tidak bisakah kamu mengerti? Kalau kamu tidak bisa menerima hatiku, setidaknya terimalah rumah ini. Apakah sesulit itu menerima sebagian kecil dari diriku?”Deg! Jantung Vela melontarkan keterkejutan. Ia tidak menyangka bahwa Roger berani melepas kejujuran dari kandangnya. Kini, tid