Bu Wetty menghampiri dan menerima uluran tangan mantan menantu. Berbasa-basi sejenak kemudian pergi ke belakang. Ganti Pak Dedy yang keluar dari kamar, menyalami Gama. Duduk dan berbincang-bincang sejenak.Sambutan mantan mertua membuat Gama lega dan berharap banyak. Semoga mereka kembali merestui jika ia menginginkan putrinya lagi.Setelah Dea muncul, Pak Dedy pamit ke belakang. Lelaki yang memakai pakaian olahraga itu kalau pagi senam di halaman belakang atau joging di sekitar komplek perumahan. Meski rambutnya separuh telah berubah, nyatanya masih tampak sisa postur tubuhnya yang gagah di waktu muda."Mas, nggak bawa mobil?" tanya Dea saat melihat tidak ada kendaraan di halaman rumah atau di depan pagar."Aku naik taksi." Gama tidak ingin Alita tahu kalau ia menemui Dea. Wanita itu bisa saja menyuruh orang untuk mengikutinya. Naik taksi pun tadi sempat khawatir. Namun ia harus bertemu Dea pagi ini."Antik, ke belakang dulu dan minta Mbak Sri makein seragam ya."Antika langsung turu
MASIH TENTANGMU- Jangan Menyerah "Baru tadi malam kita membahas tentang dokter Angkasa. Pagi ini kita dengar pengakuan Gama pula. Menurut Papa gimana?" tanya Bu Wetty ketika mereka dalam perjalanan ke pasar setelah mengantarkan Antika ke sekolah.Hendak belanja keperluan dapur, mumpung hari itu tidak ada jadwal mengajar. Daripada belanja di mall, Bu Wetty lebih suka belanja di pasar. Berinteraksi dengan para pedagang yang begitu bahagia jika wanita itu mengunjungi lapak jualannya. Sayur mayur para pedagang itu juga segar-segar dan bersih, tidak kalah dengan yang di mall.Biasanya Antika berangkat ke sekolah bareng Dea, nanti kalau pulang Pak Dedy-lah yang menjemput. Tapi pagi ini Dea berangkat kesiangan karena tadi ngobrol lama dengan Gama. Dea berangkat naik mobil sedang Gama kembali memesan taksi online. Dengan alasan karena arah kantor mereka yang berbeda dan khawatir Dea akan terlambat. Memang itu benar. Namun ada alasan lain yang tidak diketahui oleh Pak Dedy dan Bu Wetty."Do
Papa dan mamanya tampak juga terpikat dengan kehadiran dokter Angkasa. Meski belum ada ucapan dari mereka yang mendorong Dea untuk mempertimbangkan dokter itu. Hanya sekedar memberitahu, kalau Angkasa datang dan bicara dengan papanya.Dea kenal baik buruknya Gama, tapi dia belum tahu bagaimana dokter Angkasa. Setiap awal perkenalan, tentu yang tampak adalah baiknya saja. Selama menjalani kehidupan sebagai suami istri, seegois apapun Gama, tapi ia tidak pernah memaksakan kehendak tentang kebutuhan pokok, makan dan minum harus tersedia. Se*s juga tidak harus selalu dituruti. Gama tidak pernah memaksa Dea harus menyediakan makan minum dengan sempurna. Paling tidak minta ditemani saat makan misalnya, karena saat itu mereka juga ada asisten rumah tangga. Namun Gama tidak menuntut hal itu. Kalau tidak sempat masak disaat pembantu cuti, dia mengajak Dea makan di luar atau pesan online.Sebab Gama juga ingin Dea paham dengan hobinya di luar rumah. Bahkan ketika Gama menghendaki keint*man de
MASIH TENTANGMU- Malam Menegangkan Mobil Gama langsung masuk ke carport di rumah orang tuanya. Garasi yang berada di sebelah kiri rumah itu bisa menampung lima kendaraan. Sebelum ke rumah Dea, ia menemui kedua orang tuanya lebih dulu. Sekalian tukar mobil untuk pergi."Kamu perlu ditemani? Tadi papamu nelepon dan suruh nanyain kamu," tanya Bu Hawa pada Gama yang duduk di sofa.Hanya ada Bu Hawa dan para pembantu di rumah. Sebab Pak Benowo belum pulang dari bertemu relasi."Nggak perlu, Ma. Doakan saja, agar Dea dan keluarganya bisa menerima."Bu Hawa mengangguk pelan seraya mengusap lembut punggung Gama. "Mama nggak pernah berhenti doain kamu dan kakakmu. Tapi kamu sendiri berdoa nggak untuk diri sendiri?"Gama memandang mamanya. "Ga, dalam menghadapi apapun. Mintalah petunjuk dan kekuatan pada sang pemilik kehidupan. Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia. Kamu ini, salat saja nggak pernah. Umurmu sudah berapa, Gama. Seorang istri pasti ingin memiliki imam yang bisa dijadi
Baru kali ini mereka bisa berkumpul makan malam bersama setelah perceraian Dea dan Gama. Rizal yang cukup kentara menunjukkan kekecewaannya.Namun celoteh Antika yang mengajak Gama bicara, bisa mencairkan kekakuan. Pak Dedy bisa merasakan, bagaimana cintanya Antika pada sang papa. Cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya.Selesai makan, mereka semua berkumpul di ruang keluarga. "Mas, ajak adek-adek bermain di atas," perintah Arsy pada anak sulungnya. Percakapan mereka tidak boleh di dengar anak-anak.Bocah lelaki paling besar langsung berdiri dan mengajak dua adiknya. Tapi Antika tidak mau. "Aku mau sama papa aja, Mas." Bocah perempuan itu tetap duduk di pangkuan Gama. "Antik, ikut dulu sama mas main di atas, ya!" ucap Dea."Nggak mau, Ma.""Antik bisa turun lagi setelah mama panggil. Main Lego dulu sama mas di atas," bujuk Dea."Sayang, ikut Mas dulu, ya." Ganti Gama yang bicara."Nggak mau, nanti Papa pulang.""Nggak, Sayang. Nanti kalau mau pulang, papa nemui Antik dulu."Boca
MASIH TENTANGMU- Aku Akan Membantumu"Papa!" teriak Antika dari pintu. Saat Gama baru saja menyalakan mesin mobil.Spontan Gama kembali membuka pintu dan berlari ke teras. Sebab Dea sudah membawa payungnya pergi dari sana."Papa, mau ke mana?" tanya gadis kecil itu saat Gama berjongkok di depannya. Di dalam rumah, Pak Dedy, Bu Wetty, Rizal, dan istrinya memperhatikan momen itu. Sedangkan Dea berdiri di sebelah Antika."Maaf, papa buru-buru, Sayang. Nggak sempat pamitan sama Antik tadi. Eyang buyut sakit, jadi papa harus pergi ke rumah sakit." Gama menjelaskan seraya menatap Antika. Memegang kedua tangan gadis kecilnya."Antik, masih ingat sama Eyang Buyut, nggak?"Antika menggeleng. Tentu saja dia tidak ingat karena jarang sekali diajak ke sana setelah Gama dan Dea bercerai. Waktu sering berkunjung ke sana pun, Antika masih sangat kecil."Sakit apa?" tanya Antika."Sakit jantung, Sayang.""Sakit apa itu, Pa?""Antik, nanti mama yang jelasin ke Antik. Sekarang biarkan papa ke rumah sa
Gama melangkah cepat di lorong rumah sakit menuju ruang ICU di bangunan depan. Tadi dia memarkir kendaraannya di parkiran bagian belakang rumah sakit. Hawa dingin menyergap tubuh, karena baju yang dipakainya basah. Namun kekhawatiran tentang keselamatan sang kakek lebih utama daripada raganya yang kedinginan.Di ruang tunggu, depan ICU. Kerabatnya sudah berkumpul. Papa dan mamanya, Bu Ariana, dan Saga. Mereka semua tampak tegang."Bagaimana keadaan Mbah Kakung?" Gama bertanya lirih pada papanya."Masih di tangani dokter."Gama duduk di bangku logam sebelah kiri sang papa. Dan di sebelah kiri Gama ada Bu Ariana kemudian Saga. Bu Hawa duduk di sebelah kanan sang suami."Bajumu basah, Ga," tegur Bu Ariana sambil menyentuh lengan atas sang keponakan.Gama hanya mengangguk pelan. Lantas semuanya duduk dengan tegang. Sesekali memandang ke arah pintu ruang ICU yang tertutup rapat. Padahal Gama ingin sekali bertanya, apa yang menyebabkan sang kakek tiba-tiba saja kena serangan jantung. Pak W
MASIH TENTANGMU- Siapa Fany?[Maaf, ini Fany siapa, ya?] Setelah beberapa saat diam, Dea mengetik balasan. Namun beberapa lama menunggu, tidak juga ada jawaban. Mungkin hanya orang iseng.Dea melihat foto profil pengirim pesan. Ada gambar stetoskop di atas meja. Di sebelahnya ada table sign dari bahan akrilik yang mencantumkan sebuah nama yang tidak bisa dibaca dengan jelas, karena posisinya agak miring. Sepertinya dia seorang dokter?Dikarenakan tidak ada balasan, Dea meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Dia tidak memiliki kenalan seorang dokter, kecuali dokter Angkasa. Jika pengirim pesan itu tidak menjawab, Dea pun tidak akan peduli.Kembali ponsel berdenting saat Dea kembali sibuk menyusun baju yang baru selesai di setrika.[Saya hanya ingin bertemu kamu sebentar saja. Bisa? Saya tunggu di Kafe Gelora jam sebelas pagi.]Dea berdecak lirih. Tidak mau menjelaskan siapa dia, tapi malah memaksa untuk mengajak ketemuan. Apa datang saja, supaya tahu siapa perempuan itu? Di tenga