Hari-hari berlalu seperti biasa. Sejak insiden di ulang tahun Daffa, baik Fiona maupun Mas Jaya tidak pernah lagi bertegur sapa. Pagi minggu yang cerah ini, Fiona hanya bisa menghabiskan hari dengan bermalas-malasan di dalam kamar. Dia tidak bisa mengajak Freya keluar jalan-jalan karena sahabatnya itu ada urusan keluarga. Adapun Naura dan Max, katanya mereka sedang pergi honeymoon. Entahlah, sejak sahabatnya yang satu ini menikah, dia jadi ketularan misterius sama seperti suaminya itu. Alhasil, waktu senggang yang Fiona miliki hanya bisa digunakan untuk merencanakan bagaimana lagi caranya membuat Mas Jaya dan Mbak Zoya menderita. Sambil sesekali berbalas pesan dengan Igor yang katanya sedang menemani ibunya ke salon. Adapun rencana Fiona kali ini adalah, dia akan pura-pura menjual rumah ini, mumpung rumah ini masih atas nama dirinya. Lalu setelah itu, biarkan mereka semua kembali tinggal bersama ibu Marni yang banyak aturan? Sepertinya akan seru melihat drama rumah tangga mereka.
Selesai dari pasar, Fiona masih terinfeksi oleh perasaan riang gembira atas rencana yang sudah tidak sabar untuk dia eksekusi besok. Belum lagi ada seratus lima puluh ribu sisa uang kembalian yang masuk ke dalam kantong pribadinya. "Lumayan buat beli bensin." ujar Fiona dengan gembira. "Kamu beruntung, Mas. Mood-ku sedang baik sekarang. Kalau tidak, mana mau aku kembali dengan kantong belanjaan ini!" dengus Fiona sembari terus melangkah dengan sedikit melompat-lompat disertai siulan kecil yang lolos dari bibirnya. Alasan lain dia kembali ke rumah dengan patuh adalah karena dia tidak ingin melewatkan tontonan menarik. Melihat bagaimana tidak bergairahnya Mas Jaya ketika menyambut keluarga Mbak Zoya cukup menjadi hiburan baginya. Apalagi jika berhubungan dengan paman Mbak Zoya yang tampaknya tidak memiliki tata krama itu membuat Fiona curiga. Dia tidak ingin melewatkan apapun. Ini adalah kesempatan baginya untuk mengamati secara langsung seperti apa keluarga Mbak Zoya ini. Mana tah
Fiona baru saja berbaring tengkurap di atas ranjang empuknya ketika sebuah pesan masuk muncul di layar ponselnya. [Masak cepat!]Isi pesan itu yang kemudian diikuti oleh notifikasi transfer uang sejumlah 2 juta ke akun m-bankingnya. "Cih!" Fiona mencibir. [Cepat!]Belum sempat Fiona beranjak dari kasurnya, pesan lain bernada menuntut kembali masuk ke ponselnya. Dengan sudut bibir yang miring karena sinis, Fiona tetap berjalan keluar dari kamar menuju dapur untuk memasak. Hari ini mata Fiona terbuka lebar. Dia baru tahu kalau pria ini memiliki cinta sebesar itu untuk Mbak Zoya. Hanya untuk menghormati mertuanya, pria pelit ini sampai rela merogoh kocek cukup dalam agar Fiona bersedia memasak untuk rombongan keluarga istri barunya itu. Dulu giliran dia aja, duit sejuta harus dihemat-hemat selama sebulan. Harusnya tadi dia minta lebih banyak! Fiona menggelengkan kepala geli pada diri sendiri. Demi menanti pertunjukan menarik, dia sampai rela memasak demi keluarga madunya itu. "Fio
"Hah? Hilang? Kok bisa?!" jerit paman Rusdi dengan berlebihan. Percikan ludah bahkan terlihat nyata terbang ke atas piring di depannya. Keributan yang disebabkan pria ini membuat nafsu makan semua orang lenyap seketika. 'Aelah, mau makan siang doang banyak bener lika-likunya.' dumel Fiona sambil meletakkan sendoknya di atas piring, dan terus mengikuti pertunjukan di depannya. "Kamu bohong, ya? Sengaja biar pamanmu ini tidak bisa meminjamnya?!" tuding paman Rusdi dengan marah. Dia bahkan sampai menunjuk-nunjuk Mbak Zoya dengan jari telunjuk bulatnya yang penuh dengan noda sambal. Zoya yang dituding dengan begitu tidak menyenangkan ingin menampar bibir pamannya ini. Satu kata lagi keluar dari mulut pria ini, Zoya yakin bahwa amarah yang sudah sampai di ubun-ubunya pasti akan meluap keluar. Braakk, Mas Jaya yang sejak tadi hanya bisa diam kini mulai kehilangan kesabaran. Dengan keras dia menggebrak meja makan hingga mengagetkan semua orang. "Tidak bisakah kita makan dengan tenang?
Keesokan hari, Zoya sedang bermalas-malasan di ruang keluarga sambil menonton televisi. Sekarang sudah ada ART yang mengerjakan pekerjaan rumah. Harusnya saat ini dia bisa pergi shopping atau ke salon untuk merawat diri. Tapi karena belum lama ini dia tertipu uang arisan karena ulah Fiona, mau tak mau dia harus berhemat. Dia tidak mau dianggap boros oleh Mas Jaya jika dia meminta uang lagi. "Assalamu'alaikum!" Ucapan salam yang datang dari luar membuat Zoya mendesah lelah. Suara akrab ini terdengar seperti bisikan kematian baginya. "Walaikumsalam!" jawab Zoya dengan ogah-ogahan. Dengan enggan dia kemudian beranjak dari sofa empuk yang dia duduki menuju pintu ruang tamu. "Kamu lama sekali buka pintunya!" sentak ibu mertuanya. " ... " Zoya tidak membalas. Dia hanya mempersilakan sang mertua masuk ke dalam rumah sambil mendumel dalam hati. Seandainya dia memiliki kegiatan lain di luar rumah, dia mungkin tidak akan sering-sering berhadapan dengan mertuanya ini. "Ibu dengar sekara
Jaya sangat menyadari bahwa setelah pernikahan keduanya ini, energi kehidupannya seperti disedot habis. Setiap hari pasti ada saja yang dikeluhkan oleh keluarganya. Mulai dari hal yang besar sampai hal yang paling kecil sekalipun dapat memicu perdebatan. Tak terkecuali hari ini, siang tadi dia mendapat telepon dari sang ibu yang mengeluh tentang istrinya. Dikatakan bahwa sang istri telah menghardiknya. "Mas, udah pulang?" sambut Zoya di teras rumah seperti biasanya. "Hm, tadi ibu ke sini?" tanya Jaya tanpa basa-basi sambil mengambil tempat duduk di kursi teras untuk membuka sepatunya. "Iya!" jawab Zoya singkat. "Ada apa lagi? Apa saja yang kalian obrolkan?" tanya Jaya dengan santai. Namun, istrinya itu tidak langsung menjawab. Hal ini membuat ruang di antara alis Jaya berkerut samar. Gelagat seperti ini selalu mendatangkan firasat buruk baginya. Dia paling benci disuruh memilih antara ibu atau istrinya. "Tidak bisakah kalian akur barang sehari aja sama ibu?" keluh Jaya sambil
Hari demi hari telah berganti. Satu bulan hampir berlalu sejak insiden perampokan mobil, lalu tertipu arisan, dan yang terbaru adalah tentang masalah pembantu itu. Meski sekarang hubungan Zoya dan sang suami sudah kembali akur, dan mesra lagi. Namun, dia tetap tidak berani meminta uang sebanyak 50 juta yang diminta pamannya pada Mas Jaya. Zoya merasa sekarang ini dia ada di Zona serba salah. Jika dia tidak memberikan uang 50 juta pada pamannya, maka para debt collector itu akan datang ke rumahnya. Namun, dia juga tidak berani meminta uang dalam jumlah sebesar itu pada Mas Jaya. Lagipula, harus dia jawab apa jika Mas Jaya bertanya untuk apa uang sebanyak itu, bukan? Dia juga tidak mungkin mengatakan bahwa dia akan menggunakan uang itu untuk membayar hutang judi pamannya. Siapa yang akan sudi melakukan hal ini untuknya? "Aarrrghh!" Zoya mengerang di sofa ruang keluarga sembari mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. Sudah beberapa hari ini Zoya dilanda kerisauan. Dia tidak perna
Pagi menjelang, Hari ketika ancaman Paman Rusdi akhirnya tiba. Sepanjang malam Zoya tidak bisa tidur dengan nyenyak, sampai-sampai dia harus mendapat teguran dari Mas Jaya karena terus berbolak-balik di atas ranjang. Lingkaran hitam yang menggantung di bawah matanya pun tidak bisa disembunyikan. "Kamu kenapa? Belakangan ini gelagat kamu aneh!" tegur Mas Jaya yang kali ini melihat Zoya terus berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Seperti ada yang ingin dia ucapkan, tapi terlalu takut untuk disampaikan. "Anu ... " Zoya menggigit bibirnya dengan ragu. Jantung di balik dadanya sudah menghentak dengan keras. Berapa kalipun dia berpikir, Mas Jaya tidak mungkin akan memeberikan uang sebanyak itu padanya secara cuma-cuma. Jangan katakan cinta, bahkan dihadapan uang, terkadang cinta menjadi tidak begitu berarti. Belum lagi persoalan mobil yang dirampok bulan kemarin masih meninggalkan beban psikologis untuknya. Ditambah lagi mengingat sikap pamannya yang tak tau tata krama ketika datang b