Batu-batu yang tiba-tiba saja muncul, berlompatan menyerang Nurlaila dan Ki Gendeng.“Tidak! Ada apa ini? Tolong! Aduh! Siapa yang sudah melempari batu? Ah, bukan, bukan! Batu-batu ini bergerak sendiri. Aki!!” teriak Nurlaila sambil berusaha melindungi kepalanya dengan tangan.Ki Gendeng mengangkat tangannya, mulutnya mendengungkan mantra, kemudian sekejap sebuat tongkat kayu berkepala ular muncul dari udara berpindah ke tangannya. Dia lalu menghentakkan tongkat itu ke tanah.“Batu tidak seharusnya berlompatan ke sana kemari. Diam kalian semua, kembalilah ke sifat asal kalian, membatu, tidak bergerak, mati!” Ki Gendeng berseru dengan suara lantang.Duk, duk, duk! Puluhan batu yang tadinya beterbangan langsung jatuh ke tanah seakan-akan memahami perintah Ki Gendeng.Ki Gendeng belum berhenti sampai di sana. Dia mengarahkan lagi tongkatnya ke tumpukan batu besar kecil yang berhasil menyusun barikade di hadapan mereka, penghalang antara mereka dengan sungai ratapan. Kemudian, dengan seka
Panik, Nurlaila melempar rambut manusia yang ada dalam genggamannnya itu. Tetapi gerakan yang mendadak itu membuat keseimbangannya runtuh sehingga membuatnya terpeleset dan masuk lebih dalam ke sungai.Kepala Nurlaila di dalam aliran air yang seperti darah. Matanya yang terbuka sempat melihat apa yang ada di dalam sungai. Dasar sungai yang dikiranya lumpur ternyata adalah timbunan dari jasad-jasad manusia, potongan-potongan tubuh. Dia terbelalak kemudian berusaha secepat mungkin berenang kembali ke permukaan.Namun tumpukan jasad dan potongan-potongan tubuh yang dikiranya mati itu ternyata hidup. Sepotong tangan menangkap kakinya, menariknya lagi ke dalam sungai. Nurlaila berjuang menyelamatkan dirinya. Dia menendang-nendang dengan kekuatan penuh, berusaha menyingkirkan tangan-tangan yang mencengkeram kaki dan tubuhnya.Kepalanya hilang timbul di permukaan sungai. Sekilas dia melihat Ki Gendeng masih ada di daratan, tapi tidak berbuat apa-apa selain memerhatikannya dengan tatapan hera
Nurlaila memicingkan mata, berusaha berkonsentrasi penuh sambil terus mengawasi makhluk raksasa bertubuh setengah kura-kura, setengah ular yang ada di hadapannya itu, mencari-cari di bagian manakah hatinya berada. Sulit untuk bisa menemukan titik lemah si raksasa karena di saat yang bersamaan dia juga harus berkelit menghindari serangan demi serangan yang dilancarkan oleh ular-ular itu.“Hatinya, seperti apa bentuk hatinya?” Nurlaila berteriak kepada Ki Gendeng yang ada di tepian sungai.“Hatinya bersinar paling terang, berwarna hijau. Ada di pangkal lehernya. Lihat dan cari baik-baik!” Ki Gendeng memberi petunjuk. “Cepatlah, waktumu tak banyak. Kita harus segera menyeberangi sungai ini sebelum malam.”Setidaknya Nurlaila tahu apa yang harus dicarinya saat itu. Sambil meliuk dan menghindar, entah bagaimana tetapi di dunia itu tubuhnya terasa lebih ringan dan lincah sehingga bisa bergerak lebih cepat, dia mendekati pangkal leher si monster. Kemudian dalam jarak semeter, akhirnya Nurlai
Pagi buta di kediaman Suroso, jeritan keras mengejutkan seluruh penghuni rumah. Jeritan panjang, histeris menggema tanpa putus dari balik pintu kamar utama di rumah berlantai dua itu. Asalnya dari Dahlia, perempuan yang baru saja menjadi istri muda Suroso.Bik Yanti, pembantu rumah, tergopoh-gopoh keluar dari dapur menuju sumber suara. Karno, sopir pribadi Suroso, mengikutinya dari belakang sambil berlari kecil. Dari lantai dua, Hendi, putra semata wayang Suroso, menuruni tangga dengan langkah cepat.“Bu? Pak? Ada apa?” Bik Yanti menggedor-gedor pintu dengan panik.“Ada apa, Bik?” tanya Karno.“Mbuh, No, aku, ya, ora paham, enggak tahu. Lah, ini pintunya dikunci dari dalam, aku enggak bisa buka. Piye, yo, No?”Sekali lagi mereka menggedor-gedor pintu sambil memanggil-manggil Dahlia dan Suroso. Namun, yang dipanggil seakan-akan tidak mendengar dan terus menjerit histeris.“Karno, ayo, kita dobrak saja pintu kamar Papah. Cepat!” Hendi berseru cemas. Hatinya gelisah, entah apa yang sedan
Dalam sekejap rumah Suroso dikerubungi warga. Pak RT bersama dua orang tetangga bergegas masuk dan terkejut mendapati apa yang telah terjadi. Mereka yang tidak kuat menyaksikan kondisi mayat Suroso segera keluar sambil menahan mual. Tidak ada yang berani mendekati apalagi menyentuh mayat Suroso. Mayatnya masih berada dalam posisi yang sama seperti ketika ditemukan oleh keluarganya: terbujur kaku, mata melotot, mulut menganga seakan-akan malaikat kematian telah meninggalkan jejak penderitaan dan kesakitan tiada tara.“Dahlia, katakan, siapa yang sudah membunuh Papa?” tanya Hendi mendesak Dahlia agar bicara.Hendi sukar memercayai bahwa Dahlia, perempuan berparas bak bidadari itu sanggup melakukan sebuah pembunuhan sadis seorang diri. Munurutnya, Dahlia tidak punya motif yang kuat. Dahlia baru saja menikahi Suroso dan sedang berbahagia dengan calon bayi yang sedang dikandungnya.Tubuh Dahlia gemetar, wajahnya sedemikian pucat hingga nyaris seperti mayat itu sendiri. Dia menggelengkan ke
Menjelang tengah malam, bak seorang pencuri, Nurlaila berjalan mengendap-endap di kediamannya sendiri. Dia bersyukur kamar Hendi, putra semata wayangnya, ada di lantai dua. Setidaknya, kecil kemungkinan dia berpapasan dengan Hendi saat akan keluar rumah. Dia tidak ingin Hendi tahu kepergiannya malam itu.Masih tetap berjingkat-jingkat, Nurlaila melangkah menuju kamar yang ada di sebelah tangga menuju lantai dua, kamar itu kamar Karno, sopirnya. Pintu kamarnya tertutup, Nurlaila mengetuknya pelan-pelan.“No, Karno?” Nurlaila memanggil Karno, “Kamu sudah tidur? Bangun, No.”Pintu kamar dibuka dari dalam. Karno masih belum tidur. Majikan putrinya itu sudah berpesan sebelumnya kalau malam itu dia harus mengantar sang majikan ke suatu tempat.Tanpa diberi tahu pun, Karno sudah bisa menebak tempat mana yang akan mereka tuju nantinya. Sebab, hanya ada satu tempat yang mungkin mereka datangi di jam segitu. Rumah Mbah Wursita, sang dukun.“Ayo, No, cepat keluarkan mobil sekarang. Jangan berisi
Suatu hari saat Suroso masih hidup dan rumah yang mereka huni masih sangat sederhana. Beberapa orang berbadan tinggi besar mendatangi rumah mereka, menggedor-gedor pintunya tidak sabaran.“Suroso! Jangan ngumpet kamu di dalam! Keluar bayar semua utang-utangmu!” teriak orang-orang itu.“Pah, bagaimana ini?” Nurlaila ketakutan sambil memeluk lengan Suroso erat. “Kita sudah enggak punya apa-apa lagi yang bisa digadaikan.”Suroso menelan ludah, dia juga sama paniknya dengan Nurlaila. Siapa yang menyangka kalau semua usahanya hancur hanya karena dia tergiur oleh investasi yang ternyata bodong.“Keluar atau aku bakar rumah ini sekaligus seisinya!” Para penagih utang tidak berhenti berteriak dan mengancam.Ancaman mereka bukan omong kosong, Suroso cepat-cepat lari ke pintu depan, membukanya. Belum sempat dia bicara apa-apa, tubuhnya langsung didorong hingga dia jatuh tersungkur. Orang-orang itu merangsek masuk, mengobrak-abrik barang-barang.“Angkut semua yang bisa dijual!” perintah seseoran
Semua musibah datang karena kesalahan mereka sendiri. Nurlaila memahami dan menerima konsekuensi dari pilihan hidup mereka. Akan ada orang-orang yang terpaksa mereka sakiti demi memenuhi persyaratan pesugihan itu. Tetapi, tak pernah terlintas sama sekali dalam pikirannya kalau akan ada darah yang tumpah, terlebih Suroso sendiri korbannya. Nurlaila kembali kepada Mbah Wursito untuk menanyakan hal itu.“Kalau begitu, siapa yang sudah membunuh suami saya, Mbah?” Nurlaila bertanya beberapa saat setelah Mbah Wursita menuntaskan hasratnya.Listrik di kediaman Mbah Wursita masih padam, hujan masih turun, meski kilat dan guntur tidak lagi terdengar mereka. Ruangan di mana mereka berada saat itu hanya diterangi samar-samar oleh semburat cahaya dari kaca jendela yang tidak bertirai.Mbah Wursita menyalakan lilin, kemudian membawanya ke antara mereka berdua. Kerut keriput di wajahnya terlihat mengerikan oleh cahaya lilin yang bersinar dari bawah dagunya.“Suamimu dibunuh oleh kekuatan tak kasat