Lagi kukuatkan hati ini agar tak menangis di hadapannya. Sebisa mungkin aku tak menjatuhkan air mata bila melihat lelakiku bersanding dengan istri pertamanya.
"Sabar ya, Nduk. Jangan putus asa, tapi perbanyaklah zikir dan do'a mudah-mudahan semua akan berbuah manis suatu hari nanti."
Ibu menghiburku di saat aku sedang terluka dan bersedih. Hanya Ibu satu-satunya orang yang mengerti penderitaanku sebagai istri yang dimadu.
Memang dalam kehidupan manusia tidak ada yang abadi apalagi kebahagian dan penderitaan. Semuanya pasti akan berakhir pada masanya yang tepat bila waktunya telah tiba.
Aku harus menguatkan hati ini ketika kudengar berita dari Nyonya Besar Kinanti lelakiku ak
Sore itu, kala senja hampir saja tengelam di ufuk barat aku duduk di bawah pohon akasia yang menjulang tinggi. Debaran angin sepoi-sepoi menyapu wajahku hingga mempermainkan rambutku yang sebatas bahu melambai-lambai tertiup angin. Di bawah pohon ini aku membaca buku novel sebuah karya dari penulis terkenal Asma Nadia, surga yang tak dirindukan. Anganku melambung tinggi memikirkan lelakiku nun jauh di sana. Lagi apakah dirinya di sana? Mungkin ia sama sepertiku yang di sini sedang merindukannya dan menanti kedatangannya? Ah, mana mungkin ia memikirkanku. Sedangkan dirinya sedang menikmati bulan madu bersama pujaan hatinya. Mengapa aku masih mengharapkan lelaki itu yang sudah jelas-jelas tak bisa menepati janjin
Kuseret kaki ini menuju kamar sebisa mungkin aku bertahan agar tidak jatuh saat menuju taman belakang. Di ruang itulah aku sering menangis menumpahkan segela kekesalan yang ada dalam hati. Pandanganku mengablur, kepala terasa pusing dan pandangan juga berkunang-kunang. Aku berharap tidak akan pingsan saat berjalan menuju taman belakang tempat para pembantu biasa berkumpul. Jika sampai aku pingsan maka sudah pasti akan dituduh cari perhatian. Lambat-laun kaki ini sampai juga di taman belakang. Aku duduk di bangku taman dengan menyandarkan kepala yang terasa berdenyut. Butuh waktu yang lama untuk tiba di sini dalam keadaan tak baik. Kurebahkan diri ini dia atas kursi panjang agar bisa merenggangkan kaki, namun sebuah suara mengagetkanku.
Malam yang kulalui sendiri tak pernah berharap Den Abi Manyu datang kembali. Lelah aku menanti janjinya yang tak kunjung ditepati. Biarlah kusimpan kerinduan ini tanpa jeda, sementara yang kunanti tak kunjung tiba. Tidak mungkin juga aku minta pada lelaki itu untuk mendekatiku dan menemuiku sementara ia tak mau meninggalkan wanitanya. Nyonya Nadia terlalu berharga untuknya hingga ia tak rela berpisah atau menjauh dari pujaan hatinya. Sudah lewat beberapa hari sejak ia menangis bersama di kamar itu, dirinya tak pernah kembali menemuiku. Aku pun hanya bisa pasrah meratapi nasib seperti digantung statusnya janda bukan, istri pun tidak digauli. Di meja makan ini kami bertemu, itu pun tidak bertegur sapa hanya saling diam m
Aku tersentak ketika mendengar suara azan berkumandang. Kulirik jarum jam diatas dinding menunjukkan pukul empat sore. Selama lebih satu jam aku tertidur dalam posisi duduk hingga membuat kakiku terasa membeku dan kram.Berjalan tertatih sembari berpegangan menuju ke kamar mandi untuk melaksanakan salat asar. Aku mengambil air wudhu setelah selesai barulah menghamparkan sajadah dan menunaikan kewajiban.Selesai salat kupanjatkan rangkain doa dan memohon pada sang pencipta. Kembali air mata ini berurai memohon pada-Nya. Berharap bisa menyelesaikan masalah tanpa harus meninggalkan masalah.Lepas menunaikan kewajiban lima waktu, aku terduduk di tepi ranjang. Memutar otak agar bisa menghindari pertemuan dengan Den Abimanyu. Nyonya Besar Kinanti pasti akan memintaku untuk makan bersama di meja
"Kamu harus ikut bersamaku, Salma. Aku tidak bisa membiarkanmu ada di sini dengan laki-laki durjana seperti Saka. Hatiku tidak tenang meninggalkanmu sendiri bersama lelaki asing," tegas Den Abimanyu.Den Abimanyu menarik tanganku dengan paksa untuk mengikutinya. Aku terkesiap dengan kelakuannya yang tiba-tiba saja memaksaku untuk ikut. Atau jangan-jangan ia cemburu pada saudara sepupunya. Ah, entahlah. Lelaki itu sulit ditebak jalan pikirannya."Aku tak Sudi, Abimanyu bila babu itu ikut liburan bersama kita," ucap Nyonya Nadia melengos pergi.Nyonya Besar Kinanti hanya menggelengkan kepala saja saat melihat anak dan menantunya berdebat.Kali ini, Den Abimanyu tak berniat mengejarnya seperti yang biasa
Tubuhku terkulai lemas bersandar di samping tempat tidur. Kepalaku terasa pusing diiringi kerongkongan yang terasa pahit. Ditambah perut yang terasa mual ingin memuntahkan kembali isi dalam perut.Kumuntahkan semua apa yang ada dalam lambungku hingga tak ada lagi yang tersisa di dalamnya untuk kukeluarkan lagi. Sampai kedatangan Ibu ke kamar mengantarkan makanan aku belum bisa bangkit dari tempat dudukku.Samar kudengar Ibu mengetuk pintu kamarku. Aku tak mampu bangkit walau sekedar membuka pintu saja."Salma, kamu kenapa, Nduk? Apa yang terjadi denganmu?" tanya Ibu gusar.Ibu lantas membantuku berbaring di atas ranjang dengan mensejajarkan kaki. Namun, belum lagi aku naik ke atas ranjang tubuhku sudah ambruk ke lantai.
Saka adalah laki-laki periang, ramah dan tidak sombong. Berbeda dengan suamiku Den Abimanyu yang pendiam dan dingin.Sikapnya yang merakyat tidak menjadikan derajatnya rendah di mata orang lain. Ia juga tak pernah menyombongkan diri meski keturunan dari darah biru dan berpendidikan. Darah ningrat yang mengalir ke tubuhnya tidak menjadikan ia meninggikan diri.Bahkan pada kalangan pelayan ia tak segan-segan untuk menyapa. Baginya derajat pembantu dan dirinya sama. Hanya yang membedakan adalah iman di mata Tuhan.Saka terkenal ramah dan tampan diantara para pelayan hingga namanya terkenal dan disebut sebagai tuan muda yang dermawan."Aku bawakan buku cerita tentang kesehatan ibu dan anak. Kamu bisa belajar dari buku
"Jaga mulutmu kalau bicara Abimanyu? Aku tak mungkin melanggar hukum dan tata krama. Aku laki-laki terhormat dari keluarga baik-baik," ucap Saka.Lelaki jangkung itu terlihat berbicara sengit dengan Den Abimanyu. Ada apa dengan suamiku?"Kau memang laki-laki tak tahu diri, Saka. Merayu istri orang lain di saat suaminya tidak ada di rumah," tukas Den Abimanyu.Matanya menatap nyalang ke arah Saka, dua laki-laki itu sedang berhadapan dengan tangan saling mengepal."Tidak seharusnya kau bersikap seperti itu, Abimanyu. Sebagai pria sejati dari keturunan bangsawan," lanjut Saka.Saka menarik kerah baju Den Abimanyu dengan kuat sementara Den Abimanyu terlihat santai menghadapi Saka.