Bagian 67
PoV Lestari
Makan siang kali itu terasa begitu berbeda bersama Mamak dan Bapak. Ada haru yang membiru, sekaligus rasa syukur yang tiba-tiba tumbuh di tengah-tengah cobaan berat. Aku sekarang sudah tak apa-apa. Terlebih ketika kedua orangtuaku tampaknya telah ikhlas menerima keadaanku yang tengah berbadan dua. Tak terlihat sedikit pun rasa marah di dalam manik mata mereka. Memang, keduanya sampai menangis. Namun, aku tahu itu bukanlah suatu tanda bahwa mereka sudah membenciku. Mereka tetap orangtuaku yang memberikan kasih sayang seluas samudra kepada kami bertiga beradik.
Usai makan bersama, aku membantu Mamak untuk membereskan dapur kami yang dulunya menggunakan tungku api untuk memasak, tapi sekarang telah memakai kompor gas yang tak menimbulkan abu serta asap tebal. Kondisi dapur Mamak juga sudah rapi. Atapnya tak lagi
Bagian 68PERSIDANGAN TERAKHIR1,5 BULAN SETELAH PERJUMPAAN ABAH DENGAN RISA …. Satu kali proses mediasi (yang sama sekali tidak dihadiri oleh Mas Rauf maupun kuasa hukumnya), satu kali persidangan pembuktian yang juga tak dihadiri oleh pihak mereka, dan akhirnya tiba juga hari di mana sidang putusan itu berlangsung. Didampingi kuasa hukumku, Mas Deni dan Mas Robyn, pada hari itu, Kamis pukul 10.15 siang, aku mendengarkan dengan seksama ucapan hakim yang mengabulkan gugatan cerai dariku. Saat palu itu diketuk tiga kali, air mataku langsung tumpah. Betapa aku bahagia. Lepas dari segala beban yang selama ini membelenggu. Langsung kutoleh ke arah bangku panjang yang disediakan untuh hadirin yang ingin melihat langsung sidang terbuka ini. Tampak dr
Bagian 69“Aku tidak tahu, apakah dia masih di rumah sakit atau sudah di rumah, Bu,” jawabku dengan nada malas. Kuharap, dengan jawaban ini, Ibu dan Abah berubah pikiran saja. Berhenti untuk mengajakku ke sana dan mengalihkannya dengan hal lain, semisal makan bersama atau jalan-jalan ke suatu tempat wisata. “Kita datangi saja ke rumahnya dulu. Bagaimana? Biar tahu. Kan, sudah lumayan lama dia sakit? Kemungkinan sudah pulang ke rumah.” Ibu bagai tak mau menyerah saat mendengarkan alasan yang kubuat. Aku menghela napas dalam. Rasanya tak ingin bila harus merusak kebahagiaanku dengan mengunjungi lelaki bajing*n tersebut. Untuk apalagi? Bukankah kami baru saja resmi bercerai? “Iya. Tidak apa-apa. Kita tunjukkan rasa kemanusiaan kepa
Bagian 70PoV Lestari Hari bahagia Mbak Vinka malah menjadi hari paling menyedihkan yang pernah kualami dalam hidup. Sepanjang aku berada di rumahnya yang sangat besar untuk ukuran penduduk desa seperti kami, aku hanya bisa makan hati dan menahan tangis. Mencoba untuk cuek saat pertanyaan demi pertanyaan terlontar ke arahku. Acara lamaran selesai tepat pukul 21.30 malam. Ada sesi foto-foto keluarga di mana aku sengaja menghindari hal tersebut dan lebih memilih untuk mencuci piring sisa makan para tamu undangan yang segunung. Sembari menulikan telinga dan membutakan mata, aku terus memasang wajah cuek, seolah tak peduli dengan ucapan para bibi maupun paman yang tak hentinya menanyakan kapan aku akan menyusul kakak sepupuku.&nbs
Bagian 71PoV Lestari “Kamu serius ingin ke kota lagi besok, Nduk?” Bapak tampak terkejut dengan ucapanku sepulang dari rumah Pakdhe Narto. Kami berlima berkumpul di ruang tamu sebelum pergi tidur. Aku yang mengumpulkan mereka semua dengan alasan ingin ngobrol-ngobrol dulu. “Lho, Mbak Tari kan belum sehari di sini. Masa harus pulang lagi ke kota?” Eva tampak kecewa. Gadis itu terlihat murung wajahnya. Gadis yang duduk melantai di sampingku tersebut langsung memeluk tubuh ini. Kupeluk balik dia. Si Evi yang juga duduk di samping kiri, lalu ikut memeluk. Keduanya mengapitku dengan dekapan erat yang penuh kasih sayang. Diam-diam mataku beralih pada Mamak dan Bapak yang juga duduk melantai di depan kami. Keduanya seperti tengah menyimpan
Bagian 72PoV Lestari Empat jam perjalanan kami tempuh dengan menaiki mobil milik Mas Tama yang nyaman dan tak bikin mabuk sedikit pun ini. Suasana hatiku langsung berubah drastis saat bersama mereka. Yang tadinya galau sekaligus muram, sekarang malah sangat semangat. Bahagia sekali. Aku bagai tengah melupakan sesaat beban yang menghimpit. Sampai aku tak sadar, bahwa aku tengah hamil janin yang kini bapak biologisnya tengah mendekam di rumah sakit akibat kecelakaan hebat. Kami berempat tiba di depan halaman rumah berarsitektur gaya minimalis dengan warna cat kombinasi hitam dan putih. Asri sekali pikirku. Halamannya setengah ditumbuhi oleh rumput jepang yang dipangkas rapi. Banyak sekali tumbuhan di depan rumah. Berbagai bunga mekar dan berkembang sehat dalam pot-pot berwarna putih. Ada tanaman bonsai kamboja dan flamboyan, bunga
Bagian 73PoV Lestari Selesai sesi curhat, aku lalu mengganti pakaian, sedang Mama keluar dan katanya akan menungguku di dapur. Mau masak-masak bersama Mama bilang. Tak menunggu waktu lama, aku langsung bertukar pakaian dengan one set homedress berwarna merah muda dan tak lupa mengenakan hijab bergo instan. Tekatku ingin selalu menutup aurat di rumah ini. Mencoba untuk menjadi insan yang lebih baik lagi. Dosaku sudah terlalu banyak. Hanya dengan cara ini aku bisa perlahan mencegah diri untuk menambah dosa-dosa baru. Kutata pakaian dari ransel ke dalam lemari pakaian di kamar ini. Aku teringat dengan beberapa pakaian yang masih tertinggal di kontrakan. Lain kali aku akan main ke sana dan mengambil semua barang-barangku yang masih tersisa.&nbs
Bagian 74PoV Lestari Lagi-lagi aku hanya bisa bungkam. Takut melontarkan komentar. Ya, takut dianggap lancang atau kurang sopan. Jadinya aku hanya dia sembari mengulas senyuman tipis saja ke arah Mama. “Goreng tepungnya sampai kriuk, bisa nggak?” Mama menuangkan tepung tersebung ke dalam sebuah wadah beling. Beliau menyiapkan dua wadah. Satu yang sudah diisi dengan air, satunya lagi hanya berisi dengan tepung. “Bisa, Ma. Tari saja yang goreng. Mama duduk aja.” “Masa Mama duduk terus? Yang harusnya duduk kan, kamu. Kamu kan, lagi hamil.” Aku hanya mengulas senyuman saja. Iya, y
Bagian 75PoV Lestari Makan siang di atas meja dengan menu hidangan yang berasal dari keterampilan tanganku sudah selesai. Mas Tomo tadi sempat menelepon Mama, mengatakan bahwa dia mendadak tak bisa pulang segera sebab ada urusan di luar. Untunglah kami tak menunggu kedatangannya dan langsung mulai makan. Kalau tidak, keburu perut yang lain kelaparan. Mas Tama masih terlihat kurang bersemangat. Aku tahu, mungkin hatinya sedang patah saat ini. Kasihan sebenarnya. Namun, aku pikir itu adalah yang terbaik. Sebab, Mama pun kurang sreg kepada Tiara. Menurut pandanganku, Tiara juga bukan tipikal yang sopan. Kurang ramah dan terkesan agak sombong. Maaf, bukan aku bermaksud buat lancang menilai orang lain. Diriku pun jelas tak lebih baik bila dibanding dengannya. &l