Share

Mei 9

Pagi ini Mei bangun dengan semangat baru. Siang ini dia akan kembali ke Surabaya. Lili sudah memesan tiket untuk mereka bertiga –Erik termasuk.

Mei sempat mencium pipi Alan sebelum dia beranjak ke kamar mandi. Mei hanya butuh sepuluh menit di kamar mandi. Saat dia kembali, Alan masih memejamkan matanya. Dengan gemas, Mei mendekati putranya.

“Sayangnya mama, nggak ingin bangun nih? Hm?” Mei menciumi pipi Alan. Yang dicium justru mengerucutkan bibirnya. Tangannya mengelap pipi yang baru saja dicium Mei.

Sontak saja hal ini membuat Mei tertawa. Alan tampak semakin menggemaskan di matanya. Semakin besar Alan semakin mirip dengan papanya. Tiba-tiba saja mata Mei mulai memanas. Air mata mulai mengumpul di sudut matanya.

 Mei menatap wajah Alan tanpa kedip. “Apa kamu tahu betapa miripnya wajahmu dengan papamu?” ucapnya lirih. Tangannya mengelus lembut pipi dan alis Alan. Bayi itu seperti terhipnotis. Dia tidak bergerak seakan usapan mamanya adalah nina bobok untuknya.

“Maaf, mama harus meninggalkanmu sekali lagi, Sayang. Mama harus mengejar orang jahat yang telah mencelakai papamu. Mama harap kamu  bisa mengerti.”

Suara ketukan di pintu mengejutkan Mei. Dia segera berdiri untuk membuka pintu.

“Semua barangmu sudah siap, Mei?” Ternyata Retno yang berdiri di depan kamarnya.

“Sudah, Mom. Aku sudah mengepak semuanya.” Mei membuka pintunya lebar-lebar agar Retno bisa masuk.

Benar saja! Retno melihat sebuah koper sudah disiapkan di samping meja rias.

“Mommy harap perjalananmu lancar. Sering-seringlah datang kemari agar rumah ini terasa lebih hidup.” Retno memilih duduk di tepi ranjang.

“Tentu, Mom. Aku akan berusaha. Maaf aku harus merepotkanmu lagi karena mungkin beberapa hari ke depan akan sedikit sibuk, Mom,” ucap Mei sembari duduk di kursi rias.

“Apa kau akan membuka cabang restoran baru?” tanya Retno penasaran.

“Bukan, Mom, bukan itu. Ada hal lain yang aku belum bisa memberitahukan padamu.” Mei menunduk. Dia tidak sanggup mengangkat kepalanya.

Retno tampak khawatir mendengar kalimat Mei. Menantunya itu seakan menyembunyikan sesuatu.

“Mommy jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja. aku bisa menjaga diriku sekarang.” Mei berusaha menenangkan ibu mertuanya.

Retno menghela nafasnya dalam-dalam. Dia tidak akan memaksa Mei untuk bercerita. “Jangan terlalu capek. Kau tahu mommy dan daddy tidak punya siapa pun lagi selain kalian. Semua yang kami miliki akan menjadi milik kalian suatu hari nanti.” Retno menatap Mei sendu. Dia merasa iba pada menantunya itu. Begitu muda tapi sudah menjadi janda karena suaminya meninggal hingga dia mengalami depresi dan baby blue.

“Mommy, I’m fine and well. Lili dan Erik sudah mengatakan kalau aku sembuh. Bukankah mommy juga merasa begitu?” Mei menggenggam erat jemari Retno.

Retno tersenyum tipis. “Berarti sekarang saatnya bagimu untuk mencari pasangan lain yang cocok untukmu.”

Raut Mei seketika berubah. Dia tidak nyaman dengan percakapan ini.

“Dengarkan mommy sebentar, Sayang. Mommy sungguh bersyukur Albert bertemu denganmu, mommy dan daddy menyayangimu tanpa cela. Tapi kau juga harus menata masa depanmu. Mommy hanya inign kamu tahu kalau apa pun keputusanmu, mommy akan selalu mendukung.”

“Thanks, Mom. Tapi untuk saat ini, aku belum memikirkan itu. Ada banyak hal yang menjadi fokusku. Dan itu bukan prioritasku saat ini,” jawab Mei mantap.

Lili baru saja hendak memasuki kamar Mei saat dia mendengar kalimat itu. Dia cukup terkejut mendengar kalimat kakaknya. “Sepertinya Erik akan butuh perjuangan keras untuk mendapatkan kakak,” ringisnya.

--

Tepat pukul delapan, Erik sudah berdiri di depan rumah Dominic untuk menjemput Lili dan Mei.

“Hatii-hati di jalan, oke?” pesan Dominic saat Mei berpamitan.

“Tentu, Dad,” jawab Mei.

“Kabari kami kalau sudah sampai di sana,” tambah Retno.

Mei mengangguk. Dia mendekati Alan dan menghujani wajah bayi imut itu dengan ciuman di seluruh wajahnya. “Mama akan kembali setelah semua selesai, Sayang. Doakan mama, oke?”

Kini Lili yang berpamitan pada Retno, Dominic, dan Alan. “Terus kabari kami jika terjadi sesuatu,” pinta Retno.

“Tentu, Aunty. Aku akan terus memberi kabar.”

Retno mengangguk puas.

Setelah berpamitan, mereka bertiga pun berangkat ke bandara. Dominic sengaja meminjamkan  mobilnya dan menyuruh seorang sopir untuk mengantar ke bandara.

Di mobil, Mei duduk di belakang dengan Erik sedangkan Lili di depan. Gadis kuliahan itu sangat mengerti kalau Erik ingin waktu berdua dengan kakaknya.

Mei terus saja memandangi jendela. Otaknya sedang bekerja memikirkan langkah-langkah yang akan dia lakukan setelah di Surabaya untuk mengejar pembunuh tidak berperasaan itu.

Jika musuhnya berani mencelakai orang bahkan sampai membunuh, berarti dia memang orang sakit dan tidak punya hati. Bahkan orang itu mampu membuat pembunuhan itu tampak seperti kecelakaan tunggal hingga tidak membutuhkan tersangka sama sekali. Begitu bersih dan rapi. Mei jadi bertanya-tanya siapa gerangan orang yang membencinya dan Albert begitu dalam?

“Hei!” Erik menepuk pundak Mei. “Apa yang kau pikirkan?”

Mei menoleh, menatap wajah Erik sedetik sebelum kemudian kembali menatap jalanan. “Aku hanya tidak habis pikir dengan orang yang begitu membenci Albert hingga tega menghabisi suamiku.”

“Apa kau yakin target kecelakan itu adalah Albert?” Erik ebrtanya balik.

Sontak saja Mei menoleh. Matanya menyipit menuntut penjelasan. “Apa maksudmu?”

“Mungkin saja targetnya adalah kamu atau memang kalian berdua. Siapa tahu.” Erik mengedikkan bahunya.

“Teori dari mana itu? Jika dia memang juga menargetkan aku, kenapa aku dibiarkan hidup sampai sekarang?”

“Entahlah, mungkin karena dia tahu sekarang kau jago tinju,” jawab Erik asal.

“Ck! Jangan mengada-ada, Erik. Jawabanmu tidak masuk akal.”

“Aku hanya mengungkapkan kemungkinan, Mei. Tapi apa pun itu, aku tidak akan membiarkan kamu terluka, Mei. Aku akan ikut dalam rencanamu agar bisa selalu menjagamu.”.

Mei memukul pelan pundak Erik. “Jangan bicara yang aneh-aneh, orang lain akan mengira kau menyukaiku.” Mei menggeleng tidak percaya.

Erik melongo menatap Mei yang kini kembali fokus dengan jalanan. Dia meneguk ludahnya lalu menghela nafasnya. Hatinya baru saja patah mendengar kalimat Mei. Tanpa diduga, dia melihat Lili mencoba menahan tawanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status