Share

Bab 6-Maafkan aku, Mas!

Aku memandang Tere sebelum menjawab pertanyaan yang baru saja ia bisikkan kepadaku. "K-kenapa, Re?" Aku balik bertanya dengan kening yang berkenyit.

Tere berdehem. Ia memandang ke arah putraku lebih dulu. "Cleo, tunggu di kolam renang ya. Nanti miss menyusul." Tampaknya Tere sengaja memberi perintah Cleo untuk pergi dari hadapan kami. Gadis itu seperti ingin mengatakan sesuatu padaku.

Si bungsuku itu mengerti dengan perintah Tere. Cleo diikuti Nira berjalan ke arah taman belakang.

Setelah memastikan keduanya hilang dari pandangan kami, Tere menghadap ke arahku lagi. "Pakaiannya begitu, Kak. Nggak masalah?" tanya Tere mempertanyakan pakaian seksi yang dikenakan Nira.

Aku tersenyum agak ragu. "Iya. Kakak udah tegur dia kok. Besok dia nggak akan pakai baju kayak gitu lagi."

"Gimana sama Mas Adam, Kak?" tanya Tere tiba-tiba.

"M-maksudnya?" Aku mengernyitkan dahi. Belum mengerti dengan maksud pertanyaan Tere.

"Maksudku, apa Mas Adam nggak masalah sama Babysitter baru Cleo? Nggak risih ngeliat bajunya begitu? Ketat banget. Lekukan badannya keliatan." Tere memperjelas pertanyaannya.

"Ah, nggak kok. Justru Mas Adam yang menerimanya bekerja disini. Kakak kan lagi dikantor kemarin. Tiba-tiba Nira udah kerja disini aja," jawabku kembali menjelaskan kepada adik kandung sahabatku ini.

"Oh begitu ya, Kak?"

Aku mengangguk.

Disela-sela obrolan kami, terdengar suara orang yang mengucapkan salam.

"Assalammualaikum."

"Waalaikumsalam," jawabku dan Tere secara bersamaan.

"Eh, udah siap nganter Xabi, Mas?" tanyaku basa-basi. Aku tahu Mas Adam masih marah padaku karena perdebatan kami tadi. Tapi karena ada Tere, Mas Adam bisa terlihat biasa saja didepanku. Suamiku itu tahu bagaimana bersikap dengan istrinya didepan tamu. Tidak akan membawa-bawa urusan pribadinya.

"Udah," jawab Mas Adam singkat.

"Hei, Mas." Tere menyapa suamiku.

"Hei, Tere. Sama siapa kesini?" tanya Mas Adam.

"Sendiri, Mas. Mau ngajar les renang Cleo," kata Tere memberitahu tujuan kedatangannya ke rumah.

"Oh iya. Udah jadwalnya ya?" Mas Adam balik bertanya untuk memastikan.

Tere mengangguk. "Iya, Mas."

Setelah itu ia mengangkat tasnya dan pamit untuk menyusul Cleo yang sudah menunggu dikolam renang. "Aku pamit dulu ya Mas, Kak untuk ngajarin Cleo."

"Oh iya." Aku dan Mas Adam menjawab secara kompak.

Setelah Tere tidak lagi bersama kami, Mas Adam kembali cuek kepadaku. Ia melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar. Aku tentu tidak tinggal diam. Aku berdiri dan menyusul Mas Adam.

"Mas!" sapaku seraya melangkahkan kaki mengikutinya dari belakang.

Tidak ada jawaban dari Mas Adam. Jangankan menyahut, menoleh ke arahku saja tidak. Mas Adam memang benar-benar marah padaku.

"Mas, maafin aku," ucapku masih sambil berjalan mencoba untuk menyusul suamiku itu.

Permintaan maafku pun tidak digubrisnya. Mas Adam sampai didepan pintu kamar. Dengan cepat aku langsung mencegahnya untuk membuka pintu. Ku halangi pintu tersebut dengan tubuhku dan menghadap ke arah Mas Adam.

"Mas, maafin aku," lirihku pelan. Mas Adam akhirnya menatapku. Namun, tatapanya itu masih dingin.

"I am so sorry, Sayang. Aku nggak akan mengulanginya lagi. Aku berjanji nurut terus sama kamu, karna kamu sebagai kepala keluarga dirumah ini, Mas." Aku mencoba meminta maaf lagi kepada Mas Adam.

"Dari kemarin kamu gini terus sama aku. Setiap apapun yang aku lakukan, kamu selalu membantahnya. Apa karna kamu yang mencari nafkah dikeluarga kita? Sementara aku nggak. Jadi itu yang buat kamu bisa semena-mena sama aku?" Kedua mata Mas Adam tampak memerah. Ia meluapkan kekesalannya kepadaku.

Aku hanya bisa terdiam. Ku telan air ludahku sendiri karena menahan takut mendengar suara Mas Adam yang meninggi.

Aku pun hanya bisa terdiam juga. Kata-kata Mas Adam tadi mengingatkanku dengan keputusan-keputusan Mas Adam yang aku tidak setujui. Semisal, ketika Mas Adam ingin membeli mobil baru lagi untuk keluarga. Aku melarangnya. Sebab, aku adalah tipe orang yang super hemat. Menurutku, jika barang lama masih ada dan bisa dipakai, tidak perlu lagi membeli barang baru. Lebih baik uangnya ditabung saja untuk masa depan anak-anak. Mas Adam pun menuruti apa yang aku katakan.

Tidak hanya itu, ketika suamiku itu memutuskan ingin membawa adik kandungnya untuk tinggal dirumahku bersama suaminya yang juga belum mendapat pekerjaan, aku pun melarangnya dengan alasan baik. Aku menolak adik iparku untuk tinggal bersama kami, namun suaminya ku beri pekerjaan sebagai supir pribadi distributor usahaku. Dan ku berikan juga mereka sepetak rumah kontrakan untuk sementara. Aku tahu rasanya tinggal seatap dengan ipar bukanlah pilihan yang tepat untuk dimasa yang akan datang. Tidak sependapat dan rasa segan yang meninggi bisa menimbulkan kesalahpahamam. Sebab, aku sudah merasakannya dulu. Jauh sebelum kedua putraku lahir.

Dan banyak keputusan Mas Adam lainnya yang tidak bisa ku terima. Tapi ku pikir, aku memiliki alasan baik untuk menolak itu semua. Hanya saja, tanpa kusadari ternyata suamiku tersinggung dengan penolakan-penolakanku itu.

"M-maaf, Mas." Hanya itu yang bisa kuucapkan sekarang.

Mas Adam mengusap wajahnya sambil mengucapkan istighfar berulang kali. Aku tahu saat ini suamiku itu tengah lepas kendali, dan ia masih berusaha untuk meredakan amarahnya sendiri.

Aku tidak bisa melihat Mas Adam marah kepadaku. Apalagi, kesalahanku baru ku sadari saat ini. Langsung saja tanpa pikir panjang, aku memeluk Mas Adam dengan erat. Ku tumpahkan air mata didada bidangnya. Merasa sedih, karena aku merasa menjadi istri yang tidak bisa menghargai keputusan suami. Aku pun kecewa dengan diriku sendiri.

"Hikss! Mas, maafin aku. Apa yang kamu pikirkan tadi tentang aku nggak bener. Tetep Mas Adam yang jadi kepala keluarga dan pemimpin dirumah ini. Bukan aku, Mas. Aku nyesel," ucapku seraya menangis.

Tangan Mas Adam mencengkram kedua bahuku dan berusaha untuk mendorong badanku agar terlepas dari pelukannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status