"Sampai tadi pagi pun aku tahu bahwa keadaan Ibu masih belum stabil. Itu makanya saya masih belum berani bilang ke ibu. Saya takut kalau keadaan Ibu semakin memburuk," kata Nira lagi. Dia memberi tahu alasannya padaku mengapa ia tidak memberitahuku bahwa Xabiru mengigau serius."Oh ya sudah enggak apa-apa, Nira. Saya minta tolong ya sama kamu. Tolong panggilkan dokter pribadi untuk memeriksa Xabiru. Okay? Tunggu saya pulang. Sebentar lagi ya saya akan pulang." Begitu kataku kepada Nira. "Baik. Siap laksanakan," ucapnya.Aku mengakhiri telepon. Ternyata Birana sudah berdiri dibelakangku. Wajahnya terlihat sedih melihat air di kedua sudut mataku sudah turun. "Ra, aku gagal jadi ibu. Aku nggak tahu kalau dia sakit," kataku pilu.Birana langsung mendekatiku dan memelukku. "It's okay. Nggak papa. Kamu bukan gagal jadi ibu. Cuman Tuhan kasih kamu waktu buat sendiri dulu untuk mewaraskan diri kamu yang lagi ditimpa masalah ini.***Tidak terasa waktu ku sudah habis 10 menit. Polisi memanggil
"Sayang, pulang cepat ya. Mas nggak tahan nih. Lagi kepingin." Begitu isi pesan yang dikirim Mas Adam siang ini padaku. Sebuah kode yang sangat aku pahami.Aku tersenyum malu. Ku tahan sekuat tenaga rasa senang yang tiada kira, agar karyawanku tidak mengira aku sedang gila."Ya ampun, Mas. Baru tadi malam lho kamu dapet jatah. Kurang ya?" Ku balas dengan memberikan pertanyaan dan emotikon lidah menjulur sebagai ekspresi untuk menggoda Mas Adam. Istri mana yang tidak tersenyum geli ketika ajakan bercinta datang dari suaminya di siang bolong? Apalagi mas Adam memintanya lagi setelah semalaman kami bertempur ria.Akhir-akhir ini, cuaca sangat panas karena sudah memasuki musim kemarau. Namun, suamiku itu selalu meminta haknya pada malam maupun siang. Tentu tidak biasa. Keseringan melakukan, membuatku menjadi bertanya-tanya mengapa Mas Adam kembali seperti dulu. Disaat kami baru-baru menikah alias menjadi pengantin baru. Padahal usia pernikahan kami sudah tujuh tahun berlalu."Ayolah, Dek.
Wanita asing tersebut tampak terkejut ketika melihatku. Begitu juga dengan Mas Adam. Suamiku itu berjalan ke arah kami dengan cepat."Dek, pulang sama siapa? Kok nggak minta jemput sama Mas?" tanyanya kepadaku.Aku memang sengaja tidak menghubungi Mas Adam. Karena aku ingin memberinya kejutan.Aku tidak langsung menjawab pertanyaan suamiku. Dadaku sudah terasa sesak menahan amarah yang bergejolak. "Siapa dia, Mas?" Ku lontarkan pertanyaan itu kepada Mas Adam tanpa melirik ke arah wanita muda tersebut.Gigiku saling bergesekan. Geram dengan keadaan yang terjadi. Bagaimana mungkin seorang wanita bisa memasuki kamarku dan Mas Adam? Apalagi dia adalah wanita asing, yang sama sekali tidak aku kenali."Dek, ini Nira. Babysitternya Cleo. Dia mulai kerja dan tinggal disini hari ini." Mas Adam memperkenalkannya kepadaku. Aku baru teringat bahwa dua hari yang lalu aku mencari Babysitter baru untuk si bungsu kami-Cleo yang berusia 4 tahun. Babysitter yang lama sudah berhenti bekerja dirumah kami
Kedua mataku membulat sempurna setelah membaca isi pesan dari nomor tanpa nama digawai suamiku. Pesan tersebut bermakna ambigu, bagaimana mungkin aku bisa berpikir positif.Mas Adam terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba ia langsung merebut ponselnya dari tanganku.Aku tercengang."Siapa itu, Mas?" tanyaku langsung. Mataku sudah memanas."Bukan siapa-siapa," jawab Mas Adam tanpa melirik sedikitpun ke arahku. Ia tetap menatap layar gawainya. Ku lihat jemarinya langsung menari diatas keyboard ponsel. Sepertinya suamiku itu sedang membalas pesan dari nomor tanpa nama tadi."Apa maksudnya bukan siapa-siapa, Mas? Lihat itu isi pesannya kenapa begitu?" tanyaku lagi. Mulai merasa penasaran."Ini rekan kerjaku." Mas Adam menjawab singkat. Matanya masih fokus dengan layar telepon.Aku tersenyum kecut. "Heh, rekan kerja kok nanyanya begitu? Apa maksud dia nanya-nanya kamu puas atau nggak? Puas apa? Memangnya kalian habis ngapain?""Dia punya usaha kuliner. Tadi mas pesan sekalian buat anak-anak jug
Aku dan Mas Adam bersamaan memandang ke arah Nira yang saat ini menunduk. Tampaknya ia tidak berani mengangkat kepalanya untuk menatap kami."Mbak Nira ngga boleh pergi dari sini. Cleo sayang Mbak Nira," ucap Cleo yang tiba-tiba datang dari arah dapur. Sepertinya putera bungsu kami itu pun juga mendengar perdebatan yang sempat terjadi antara aku dan Mas Adam.Cleo memeluk Nira. Wajah anakku itu terlihat sedih melepas kepergian Babysitter barunya yang belum ada 24 jam bekerja disini.Tapi mau bagaimana lagi, aku tetap tidak menyukainya. Sangat pantang bagiku jika orang asing memasuki kamarku."Cleo," panggilku dengan lembut. Aku berjongkok dan membentangkan kedua tanganku ke arah Cleo, untuk memanggilnya dalam pelukanku. Namun, si bungsuku itu tetap memeluk Nira."Mbak Nira mau ambil cuti," kataku kepada Cleo. Sengaja ku perhalus, agar anak-anak tidak mengetahui problem yang sebenarnya.Cleo menggeleng dengan kuat. "Nggak boleh. Mbak Nira baru nemenin Cleo kemarin. Masa mau ambil cuti
Nira sudah serius memandang ke arahku. Ia tampaknya penasatan dengan kata tapi yang masih menggantung dari mulutku."Tapi, kamu nggak boleh ulangin yang kemarin ya. Jangan masuk ke kamar saya tanpa izin. Saya nggak suka."Nira mengangguk dengan cepat. "Baik, Bu. Saya berjanji nggak akan mengulanginya lagi.""Satu lagi," kataku. Aku menyeruput teh sebelum melanjutkannya. Sementara Nira sudah menungguku. Tidak sabar ingin mendengarkan syarat yang selanjutnya."Apa itu, Bu?" tanya Nira."Tolong kamu jangan pakai pakaian ketat begitu dirumah ini. Kamu tahu kan anak saya dua-duanya laki-laki. Mereka juga masih terlalu kecil. Kalau ngeliat kamu sehari-hari berpakaian seperti ini, nanti timbul rasa penasaran mereka," ucapku sambil menunjuk baju ketat lengan pendek yang ia kenakan. Sangking ketatnya, lekukan tubuhnya terlihat jelas. Apalagi dari pinggul sampai kakinya, ia tampak seperti tidak memakai celana.Sebenarnya alasanku melarangnya mengenakan pakaian itu karena aku tidak ingin suamiku
Aku memandang Tere sebelum menjawab pertanyaan yang baru saja ia bisikkan kepadaku. "K-kenapa, Re?" Aku balik bertanya dengan kening yang berkenyit.Tere berdehem. Ia memandang ke arah putraku lebih dulu. "Cleo, tunggu di kolam renang ya. Nanti miss menyusul." Tampaknya Tere sengaja memberi perintah Cleo untuk pergi dari hadapan kami. Gadis itu seperti ingin mengatakan sesuatu padaku.Si bungsuku itu mengerti dengan perintah Tere. Cleo diikuti Nira berjalan ke arah taman belakang.Setelah memastikan keduanya hilang dari pandangan kami, Tere menghadap ke arahku lagi. "Pakaiannya begitu, Kak. Nggak masalah?" tanya Tere mempertanyakan pakaian seksi yang dikenakan Nira.Aku tersenyum agak ragu. "Iya. Kakak udah tegur dia kok. Besok dia nggak akan pakai baju kayak gitu lagi.""Gimana sama Mas Adam, Kak?" tanya Tere tiba-tiba."M-maksudnya?" Aku mengernyitkan dahi. Belum mengerti dengan maksud pertanyaan Tere."Maksudku, apa Mas Adam nggak masalah sama Babysitter baru Cleo? Nggak risih ngel
Aku mengikuti dorongan Mas Adam untuk melepas pelukanku. Perlahan ku angkat kepalaku dan bertanya dengan bibir yang bergetar. "K-kenapa, Mas? Mas nggak mau maafin aku?" Ujung mataku sudah memanas. Riak air sudah ingin turun. Ditambah raut wajah Mas Adam yang datar. Sulit ku tebak."Kamu minta maaf terus. Tapi nol aksi. Besok-besok kamu lakuin hal yang sama lagi," kata Mas Adam datar tanpa ekspresi.Aku menggelengkan kepala dengan kuat. "Nggak, Mas. Aku janji kali ini nggak akan ngulangin hal yang sama lagi. Aku janji akan menghargai setiap keputusan yang Mas Adam buat." Aku mengatakan itu dengan terisak. Aku sangat mencintainya. Setiap kali kami memiliki masalah, selalu aku yang menangis tersedu-sedu. Tangisanku itu adalah ketakutanku kehilangan Mas Adam. Meski aku tahu, Mas Adam tidak akan kemana-mana. Ia tidak akan meninggalkanku. Kami sudah berjanji dari tujuh tahun yang lalu, bahwa kami akan terus melanggengkan pernikahan ini sampai maut yang memisahkan. Bagaimanapun cobaan yang me