Share

Membungkam Mulut Tetangga Julid
Membungkam Mulut Tetangga Julid
Penulis: Nisa Khair

Dewi Mengamuk

Brak!

Suara pintu yang dibuka paksa, menimbulkan suara yang memekakkan telinga.

Dina yang sedang menyuapi anaknya untuk sarapan, reflek menoleh ke arah datangnya suara untuk melihat siapa yang datang dan membuka pintu dengan kasar.

Dapat dilihatnya Dewi, wanita yang setahun ini menjadi tetangga samping rumahnya, berdiri di ambang pintu dengan menatap tajam dan tangan berkacak pinggang. "Mau kamu apa, sih?!" tanya perempuan berkacamata bulat itu dengan mata melotot marah dan bibir bergetar. 

"Tiap saya mau keluar malah kamu keluarin jemuran. Kamu pikir, enak apa ketetesan air jemuran?!" sambungnya dengan suara menggelegar.

Deg!

Jantung Dina seketika berdetak lebih kencang.

Jujur, dia tak menyangka kalau pakaian yang dijemur di depan bagian rumah itu ternyata sampai mengganggu tetangganya.

Mereka memang tinggal di rumah kontrakan berderet.

Ada lima rumah dalam satu pagar dengan dua buah pintu pagar untuk keluar masuk.

Dewi menempati rumah paling ujung di sebelah timur, sedangkan Dina di sebelah kanannya.

Di tengah ada Bu Yati, sebelahnya lagi ada Nia. Paling barat ada Iwan dan Roni, si penjual bubur ayam.

Kebetulan, pintu gerbang kontrakan ada di depan kamar Dina, sedangkan yang satu lagi di depan pintu rumah Nia.

Jadi, mau tak mau Dewi memang harus memilih untuk melewati halaman Dina setiap keluar masuk pagar.

Tapi seharusnya jemuran Dina tidak mengganggu, sebab terletak di langit-langit plafon teras, bukan di halaman yang tak seberapa lebar.

"Astaghfirullah … Mbak Dewi. Mau saya ya rukun sama tetangga," jawab Dina sambil mengusap lengan anaknya, "Lagian saya kan nggak tau jadwal Mbak mau keluar rumah jam berapa." 

"BOHONG!!" teriak Dewi semakin melebarkan kedua matanya. Sorot itu semakin berkilat penuh benci. Tidak peduli pada bocah berumur tujuh bulan yang terhenti kegiatan makan pagi sebab terganggu dengan kedatangannya. "Kamu pasti sengaja kan, biar kalo saya lewat kena air jemuran kamu?" sambung Dewi lagi.

Dina tidak menjawab, melainkan kembali menyuapi anaknya. Ia ingin mengusir tamu yang tak diundang itu, tapi tidak punya keberanian. Suara bentakan telah menciutkan nyali perempuan itu, hingga badannya bergetar hebat.

"Saya kan sudah pernah bilang, jangan jemur baju di jalanan. Susah amat sih, dibilangin?!" bentak Dewi lagi.

Sementara Dina yang mendapat bentakan demi bentakan mengucap istighfar berkali-kali.

Benar memang, beberapa Minggu sebelumnya Dewi pernah mengingatkan dirinya untuk tidak menjemur pakaian di depan rumah. Namun, kondisi yang ada, membuat Dina tidak punya pilihan. Dan secara kebetulan juga, tetangganya itu justru baru keluar setiap kali ia baru selesai dengan pekerjaan menjemur pakaian.

Dina sendiri tak tahu mengapa ini terjadi.

"Jadi saya harus jemur baju dimana, Mbak?" tanya Dina pada akhirnya.

Suaranya melemah, merasa putus asa dengan dirinya sendiri. Tatapannya menyorot ke luar jendela, di mana di sana sedang berbaris rapi pakaian yang sedang menari-nari sebab tertiup angin.

"Di kamar mandi kan bisa!" sahut Dewi dengan tatapan mengintimidasi.

"Saya juga pernah nempatin rumah di tengah begini, tapi nggak pernah saya netesin tetangga sama jemuran. Selalu saya keringkan dulu di mesin cuci, sudah setengah kering baru saya keluarin. Masa kamu nggak mau beli mesin cuci?!"

Dina memejamkan mata demi mendengar curahan hati tetangganya.

Semua aktifitas yang berhubungan dengan air di rumahnya, dilakukan di dalam kamar mandi.

Jika jemuran juga ditaruh di sana, bisa dipastikan tak ada lagi ruang gerak. Karena sekali nyuci pasti satu hanger bulat itu penuh dengan baju bayi yang baru berumur tujuh bulan. Belum lagi pakaian Dina dan suami. Jangan lupakan selimut dan sprei yang sering kena pipis, karena Dina tidak memakaikan popok sekali pakai pada bayinya.

Dan soal mesin cuci, tentu saja Dina mau membeli jika punya rejeki lebih. Dina juga tak ingin kepontal dengan jemuran yang seakan tak ada habisnya. Yang dijemur belum kering, sedangkan keranjang baju kotor sudah penuh lagi. Ibu-ibu yang punya bayi pasti mengerti kondisi ini.

"Terus kamu bilang anakku berisik, anak kamu nangis terus dari orok kamu pikir nggak berisik apa?!" Dewi berkata dengan kekuatan penuh dan dada naik turun.

Kali ini Dina terkejut dengan ucapan Dewi. Ingatannya kembali pada kejadian seminggu yang lalu ketika ia meminta tolong pada Dewi supaya menegur anaknya yang bernama Sultan. Anak lelaki satu-satunya yang berumur delapan tahun.

Saat itu sudah jam sembilan malam. Sultan masih sibuk berlarian kesana-sini dengan menendang bola, gedebag gedebug di depan kamar Dina. Dina yang sedang menidurkan bayinya pun merasa terganggu. Dengan keberanian yang dipaksakan, ia keluar kamar dan menemukan Dewi sedang mengawasi anaknya yang bermain bola sendirian.

Tidak ia sangka kalau Dewi tersinggung, bahkan menyebut anaknya berisik. Tidak mau memperpanjang urusan, Dina segera bangkit dan mengulurkan tangan pada sang tamu yang menatapnya penuh dendam.

"Ya sudah saya minta maaf ya, Mbak, kalau saya punya salah sama Mbak," ucap Dina, menatap tangannya yang tak kunjung disambut.

Dewi hanya melirik, membiarkan tangan yang terulur di depannya menggantung di udara.

"Saya gak butuh maaf kamu, dan saya nggak percaya ucapan kamu!"

"Ya sudahlah kalau nggak percaya, terserah Mbak aja," jawab Dina, menarik kembali tangannya.

Ia baru berniat untuk kembali duduk dan melanjutkan menyuapi anaknya ketika melihat Bu RT muncul di depan pagar yang terbuka lebar, lalu menghampiri mereka.

"Assalamu'alaikum ... . Ada apa ini, kok ribut-ribut?" 

Alis wanita itu bertaut, seolah meminta jawaban secepatnya.

"I--itu...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status