[Jakarta, 21 April 1991 'Diariku, Seminggu lagi hari pertunanganku akan tiba. Aku sudah tidak sabar menantikan hari pertunanganku dengan pria pujaan hatiku. Semoga saja berjalan dengan lancar ya. Aku tidak tahu, tapi entah kenapa aku begitu menantikannya. Apa dia menantikannya juga? Kuharap iya. Sampai di sini dulu ya, diariku.'] . . . "Ayuuuuuuuu!!!" seru Emily dari kejauhan. Sosok pemilik nama tersebut menoleh dengan ekspresi penuh tanda tanya. "Emily? Kok kamu ke kampus? Bukannya hari ini kamu tidak ada kelas, ya?" Bukannya menjawab, gadis surai coklat itu malah memasang senyuman termanis, manisnya mengalahkan madu. Senyuman yang menghiasi wajahnya semakin membuat Ayu bertanya-tanya. "Emily ... kamu baik-baik saja?" Ayu kini mulai bergidik ngeri karena sikap aneh dari teman baiknya itu. Emily mengangguk penuh semangat. Kini wajahnya semakin
"Baik, Bi. Aku sudah siap," ucap Emily seraya bangkit dari kursi riasnya. "Mari saya antar, Nona," tawar sang Pelayan sembari mengulurkan tangannya. . . . Ketika Emily keluar dari dalam ruang rias dengan kebaya modern berwarna beige dan kain batik berwarna coklat pekat. Beberapa tamu undangan langsung menoleh ke arahnya dan berdecak kagum. Gadis itu sesekali melirik ke arah para tamu undangan yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan penuh rasa takjub. Bukan hanya itu, kini dirinya juga melirik ke arah Jonathan—calon tunangannya yang saat ini juga sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit ia terjemahkan. Kagumkah? Sukakah? Atau hanya sekedar terpana? Setibanya di hadapan calon ibu mertuanya. Ia disambut dengan sebuah pelukan hangat. "Hello, Dear. Nice to meet you. You're so beautiful," pujinya dengan senyum sumringah. "Aa ... thank you so much, Ma'am," ba
Memori. Satu kata yang tak akan pernah lekang oleh waktu. Seperti kata pepatah; setiap ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Yang tersisa hanyalah kenangan. Sebuah kenangan indah yang pernah terukir bersama dengan orang tersayang. Kenangan yang akan selalu tersimpan dalam sanubari, bahkan sampai ajal menjemput. Kenangan yang menjadi penopang seseorang, hingga mampu berdiri tegar menjalani hidup seperti sedia kala. Namun, tak dimungkiri, bila kenangan juga mampu menjadi pedang bermata dua yang menusuk tepat di titik sanubari. Kenangan yang membuat luka hati tak kunjung pulih. Kenangan yang terus menyisakan penyesalan terdalam. Seperti kisah ini, di mana sang tokoh utama pria yang bernama Jonathan Hamilton harus merasakan kepedihan mendalam usai kepergian sang istri tercinta untuk selama-lamanya. Kenangan akan sang istri yang menghembuskan napas terakhirnya di atas tempat tidur pasien meninggalkan rasa penyesalan yang selalu menghantuinya. Andai waktu bisa diputar kembali, ia ber
Tampak sebuah lampu sorot dan dua kamera merekam seorang pria paruh baya berjas hitam dan seorang wanita muda, berprofesi sebagai interviewer sedang melakukan sesi wawancara dengan duduk saling berhadapan. Di tengah-tengah mereka berdiri kokoh sebuah meja kayu berbentuk lingkaran yang di atasnya berhiaskan sebuah vas bunga mawar berwarna merah muda. Duduk di sofa putih yang nyaman dengan kaki menyilang elegan, pria tersebut memasang senyum formal pada sang interviewer. Sang interviewer pun membalas senyumnya. "Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih atas kesediaan Anda, Mr. Jonathan untuk melakukan wawancara dengan Global Enterpreneur." "Saya juga mengucapkan terima kasih pada pihak Global Enterpreneur karena telah mengundang saya kemari untuk sebuah wawancara eksklusif," balas pria paruh baya yang diketahui bernama Jonathan dengan lugas. "Begini, alasan saya mengundang Anda kemari karena berkaitan dengan berita yang sedang trending di berbagai media beberapa hari terakhir." Sang i
“Maaf, bisa Anda jelaskan maksud Anda barusan?” Menghela napas sejenak, sang produser kembali mengutarakan maksud serta tujuannya secara rinci. “Begini, saya tertarik untuk mengangkat kisah Anda beserta sang istri ke dalam sebuah film. Berdasarkan kisah yang tadi Anda ceritakan saat sesi wawancara bersama Global Enterpreneur, tampaknya akan sangat bagus bila kisah Anda diangkat ke dalam bentuk audio visual. Saya ingin merangkai karakter serta alur ceritanya dengan baik berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Oleh karena itu, saya ingin melakukan wawancara lebih mendetail dengan Anda terkait hal tersebut.” Usai produser itu menjelaskan maksud dan tujuannya, Jonathan hanya diam. Dari raut wajahnya, tampak seperti sedang mempertimbangkan tawarannya. Usai memikirkannya sejenak, Jonathan dengan tegas menjawab, “Maaf, saya tidak tertarik.” Saat dia hendak melangkahkan kakinya ke arah mobil, sang produser itu menghentikannya. “Apa Anda tidak ingin membicarakannya terlebih dahulu dengan
“Hah?” “Iyaa. Beliau pendiri J&E Group.” Olivia kini berbisik dengan penuh antusias. Namun, Klara hanya diam, tidak berkomentar apapun. Melihatnya diam seperti itu, rekan kerjanya kembali melanjutkan topik pembicaraan. “Yaah, kurasa Bos gagal menemuinya.” Meletakan jari telunjuk di dagunya, staf wanita bersurai hitam itu melanjutkan, “Atau tawaran wawancaranya ditolak mentah-mentah oleh Mr. Hamilton.” Raut wajahnya terlihat begitu yakin dengan dugaannya. “Oooh … begitu ….” Klara hanya menjawab seadanya. “Lagipula, beliau memang terkenal sebagai sosok yang sangat menjaga privasinya. Jadi, sampai saat ini tidak ada yang tahu seperti apa keluarganya. Selama ini yang kulihat beliau hanya muncul bersama istrinya saja,” lanjut Olivia sedikit acuh. Setibanya di dalam ruang kerja, mereka berdua langsung duduk di kursi masing-masing untuk mengedit tumpukan naskah yang sudah memasuki deadline. Namun, tanpa sepengetahuan siapapun, sebenarnya sedari tadi timbul rasa gelisah di dalam bena
“Apa kamu bisa mempertemukan saya dengan putranya?” “Eh? Anda masih mau mencoba membujuknya?” Kini Klara menatapnya dengan tatapan tak percaya. Produser itu mengangguk dengan antusias. Terlihat dari binar matanya yang memancarkan semangat pantang menyerah. Berbanding terbalik dengan Klara yang kini terlihat ragu, entah apa yang membuatnya bisa seperti itu. Wanita bersurai biru navy itu berdeham pelan lalu menggeleng. “Maaf, Mr Wales ... saya tidak bisa melakukannya,” tolaknya kemudian. “Kenapa?” “Karena … saya sudah lama tidak menghubunginya,” lanjut wanita itu dengan nada senetral mungkin. “Hmm … baiklah. Maaf mengganggu waktumu kalau begitu. Selamat malam.” Usai berkata demikian, produser muda itu langsung beranjak dari kursi dan keluar dari ruangan tersebut. Tak lama setelah kepergiannya, wanita bersurai biru navy tersebut langsung menghela napas berat sembari menundukan kepalanya sejenak. Sembari memejamkan matanya, wanita itu bergumam, “Maaf Pak, saya terpaksa berbohong.
Di hari Jonathan menemui dokter, tepatnya pada sore hari di mana jam kantor telah usai. Nathan mendapati sebuah pesan masuk dari Klara, isi pesannya membuat pria bersurai coklat itu menaikan kedua alisnya. [Nathan, apa sore ini kamu sibuk? Kalau tidak, ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu. Temui aku di kafe dekat kantormu ya.] Usai membacanya, Nathan hanya menghela napas panjang. Entah kenapa, seketika jantungnya berdebar keras tak seperti biasanya. Sesaat sebelum keluar dari dalam ruang kerjanya, pria itu melihat jam yang ada di pergelangan tangannya dan mendapati kalau sudah hampir waktunya. Tidak mau membuat sang wanita menunggu, dia langsung bergegas ke kafe yang dimaksud dengan mengendarai mobilnya. . . . Sepuluh menit kemudian, pria itu sampai di kafe tersebut lalu memarkirkan mobilnya. Sesaat setelah keluar dari dalam mobilnya, Nathan tidak langsung berjalan ke dalam kafe. Ia terdiam sejenak lalu menarik napasnya dalam-dalam guna mengurangi rasa gugupnya. K