“Kita mau ke mana? Bukankah aku harus menyelesaikan tugas?” tanya Amber dengan nada yang cenderung datar. "Amber, apakah kau percaya kepadaku?" Mendapat balasan semacam itu, alis sang wanita terangkat lebih tinggi. "Kenapa bertanya begitu?" "Jawab saja. Kau percaya kepadaku atau tidak?" desak Adam dengan kepala yang agak dimajukan. Ia ingin ketulusannya terlihat. Namun, sekalipun jarak pandang mereka terpangkas, Nona Lim tetap menaruh curiga. Ia tidak bisa menerka apa yang direncanakan oleh Tuan Smith. "Ya," sahutnya setengah hati. Sedetik kemudian, sang pria menyodorkan sebuah penutup mata. "Kalau begitu, pakai ini." Melihat benda yang terbuat dari kain hitam tersebut, Amber sontak mengernyit. "Dari mana kau mendapatkan ini?" "Tenang saja. Ini bersih dan wangi. Pakailah!" Adam menyerahkan penutup mata itu ke tangan sang murid. Namun, bukannya menurut, Amber malah memicingkan mata. "Kau tidak berencana membawaku ke danau lalu mendorongku ke dalam kolam, bukan? Ingat! Aku in
“Kau yakin akan melakukan apa saja untukku?” Amber menaikkan sebelah alis, melukiskan keraguan. “Ya. Percayalah padaku.” Adam memegangi kedua pundak sang wanita dan menyejajarkan pandangan. “Aku akan menjadikanmu seorang ratu,” ucapnya penuh penekanan. “Bisakah kau membuktikannya kepadaku? Aku ingin kau mengalami apa yang kurasakan saat kau menindasku dulu,” tutur Amber santai. Ia merasa berada di atas angin. “Tidak masalah. Aku memang pantas mendapat balasan. Silakan lakukan semaumu,” sahut Tuan Dingin sembari merentangkan tangan. Ia seperti sudah pasrah menerima segala jenis perlakuan. “Kalau begitu,” desah sang wanita sebelum tersenyum miring, “terima ini!” Dengan sekuat tenaga, Amber mendorong pundak Adam. Namun, bukannya melihat pria itu jatuh, dirinya malah terpental mundur dan mendarat di tumpukan salju. “Akh!” Menyaksikan kekonyolan perempuan itu, Tuan Smith nyaris memuncratkan tawa. “Hei, apakah kau baik-baik saja?” Dengan wajah cemberut, Amber berusaha bangkit. “Kenapa
Seketika, paru-paru Adam bergetar hebat dan wajahnya memucat. Keringat dingin perlahan-lahan mendesak keluar. Masa lalu telah berseliweran dalam benaknya. Nyaris tidak ada tempat untuk Amber bertahta. “Kenapa baru sekarang dia menghubungiku?” gumam pria itu sebelum terpejam menahan air mata. Retakan dalam hati yang dikiranya telah sirna kini menganga lebar. Rasa sakitnya menjalar seakan meremukkan badan. Tiba-tiba, Amber mendorong pintu dan melangkah masuk. Adam pun tersentak dan membuka mata. Dengan kesadaran utuh, tangannya dapat kembali digerakkan. Secepat kilat, pria itu menghapus pesan yang tidak lagi diharapkan. “Bukankah aku tepat waktu? Kami hanya mengobrol selama dua setengah menit,” tutur Amber santai. Tanpa membuang waktu, Adam mengeringkan bukti kesedihan. Setelah mengisi paru-paru dengan udara yang lebih segar, ia beranjak dari kursi dan langsung merengkuh kekasih barunya. “Aku mencintaimu, Amber. Aku sangat mencintaimu,” bisiknya terdengar sangat putus asa. Mendapa
Napas Adam kini bergemuruh. Rasa panas dalam dada tidak mampu lagi diredam. Kenangan yang terputar dalam otaknya sukses mencungkil luka. Dengan mata merah, ia menatap nama perempuan di layar komputernya. “Kenapa kau kembali di saat aku sudah berhasil melupakanmu?” batin pria itu sembari mencengkeram mouse lebih erat. “Tidak bisakah kau melepasku dari bayang-bayangmu?” Setelah menarik napas berat, Adam mulai menggeser kursor. Namun, bukannya menekan tombol hapus, ia malah membuka pesan itu. “Dear Adam, Kenapa kau tidak membalas pesanku? Apakah kau sudah menghapusku dari ingatanmu? Atau menempatkan perempuan baru di hatimu? Sudah bisakah kau mengganti arah cahayamu? Aku tahu kau kecewa padaku. Tapi, aku selalu berharap kau sudah memaafkanku. Belakangan ini, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Aku menyesali keputusanku dulu. Hari-hari setelah kepergianmu menjadi sangat redup. Salahkah jika aku mengharapkan kau kembali kepadaku? Aku sangat bodoh telah membuang jimatku.” Setetes a
Selangkah demi selangkah, Amber mendekati pintu. Hatinya berdebar dan tangannya gatal. Kegugupan telah menajamkan sel-sel sarafnya. “Adam pasti menyembunyikan sesuatu di sini,” batinnya yakin. Beberapa saat kemudian, ia telah duduk di depan komputer dan menekan tombol ON. Tanpa membuang waktu, wanita itu memeriksa email. Hanya itu cara Adam berkomunikasi dengan dunia luar. Namun anehnya, tidak ada pesan mencurigakan di kotak masuk. “Apakah Adam menghapusnya?” gumamnya seraya memeriksa tempat sampah. Detik berikutnya, perhatian Amber tersedot oleh sebuah nama. “Ruby?” Dalam sekejap, ingatan tentang foto yang dibakar oleh Adam terlintas dalam benaknya. “Apakah perempuan anggun berambut merah itu ... wanita ini? Mantan istri Tuan Smith?” Sambil menahan napas, ia membuka pesan. Begitu mulai membaca, matanya langsung berkaca-kaca. Dadanya sesak seakan terimpit oleh beban berat. “Salahkah jika aku mengharapkan kau kembali kepadaku?” Berulang kali Amber membaca kalimat ini. Semakin seri
“Selamat ulang tahun, Amber!” seru tiga orang wanita yang baru muncul pada layar. Mendapat sambutan semacam itu, si penerima panggilan sontak tertawa. “Terima kasih, Teman-Teman. Aku tidak menduga kalian ingat tanggal lahirku.” “Kami tidak mungkin lupa. Ada Nona Sekretaris yang mencatat segalanya di sini,” celetuk Katniss. “Kau tahu? Dia sudah mengirim reminder sejak dua hari yang lalu,” sambung wanita yang mendekap seorang bayi laki-laki di pangkuannya. “Wah, terima kasih banyak, Mia,” desah Amber penuh haru. “Katniss dan Gaby berlebihan. Jangan kau percaya. Justru merekalah yang mengingatkanku untuk mengatur jadwal panggilan ini.” Sambil tertawa samar, Amber memiringkan kepala. “Kalau begitu, terima kasih untuk kalian semua. Aku sungguh terkesan dengan perhatian kalian.” “Jadi, bagaimana kabarmu, Amber? Kenapa kau tampak lebih kurus?” timpal Gabriella sambil menggenggam tangan putranya agar tidak meraih ponsel. “Benar. Kau juga terlihat pucat,” sambung Katniss seraya memerik
Adam heran melihat buku-buku yang berserakan tanpa sang murid. Sambil menaikkan sebelah alis, ia membawa kue yang dibelinya ke dapur. Namun ternyata, Amber juga tidak berada di sana. “Ke mana perginya perempuan bodoh itu?” gumamnya sembari menaruh kotak merah berhiaskan pita itu di atas meja makan. “Apakah dia mengobrak-abrik ruang kerjaku lagi?” Tanpa membuang waktu, pria itu pergi memeriksa. Ia sudah bersiap marah. Itulah cara terampuh untuk menetralkan perasaannya. Namun, begitu mendapati ruangan yang kosong, ia mengernyitkan dahi. “Di mana dia?” Tak juga menemukan sang wanita di kamar ataupun kamar mandi, Adam pun mulai memanggil. “Amber?” Selang beberapa detik, tidak ada sahutan yang terdeteksi. Sang pria kini tidak dapat memungkiri. Dirinya memang khawatir. Dengan wajah gusar, ia memeriksa setiap jendela. Namun, tidak ada satu pun cahaya di luar sana. Bahkan, matahari sudah bersembunyi dengan sempurna di balik bumi, meninggalkan semburat biru yang tak lama lagi menghitam. “
Seorang pria berjas putih mengangguk-angguk mengamati laporan yang baru saja ia tulis. Setelah menambahkan satu keterangan lagi, ia kembali menatap wanita berwajah pucat yang terkulai di atas kasur darurat. “Selain itu, apakah ada keluhan lagi, Nona Lim?” Masih dengan alis berkerut, Amber menggeleng lemah. “Tidak, Dok.” Mendengar jawaban tersebut, pria yang berdiri di dekat tirai sontak berbalik. Ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak peduli. Akan tetapi, kondisi belum memungkinkan. Sang wanita terlalu lemah untuk dibiarkan sendiri. “Ada, Dok. Dia mengeluh mual saat dalam perjalanan ke sini. Dan akhir-akhir ini, dia juga sering ke kamar kecil,” tutur Adam melengkapi keterangan. Tiba-tiba, alis sang dokter berkerut lebih dalam. Selang perenungan singkat, matanya menyipit ke arah pasien. “Maaf, Nona Lim. Bisakah Anda menyebutkan kapan Anda haid terakhir?” Adam dan Amber sontak bertukar pandang. Mereka berdua heran. Bukankah pertanyaan itu biasa ditujukan kepada ibu hamil?