“Apakah Anda masih menyimpan hasil pemeriksaan tersebut?” tanya sang dokter dengan nada serius. Sambil menarik napas berat, Adam menggeleng. “Tidak, Dok.” “Apakah Anda ingat apa penyebabnya?” Seketika, alis sang duda merapat. “Saya tidak ingat apa istilahnya, tapi itu berkaitan dengan jumlah sperma yang sedikit. Saya juga tidak ingat angkanya.” “Oligospermia?” celetuk sang dokter dengan sebelah alis bergerak naik. Mata Adam sontak melebar. “Apa itu?” “Suatu kondisi yang menyebabkan ketidaksuburan pria di mana jumlah sperma kurang dari standar. Apa Anda ingat derajat keparahannya?” Sekali lagi, sang duda menggeleng. Pria di sampingnya pun bersandar pada jok dan melipat tangan di depan dada. “Sebetulnya, bukan tidak mungkin seseorang yang didiagnosis mandul bisa mendapatkan keturunan.” “Maksud Anda?” “Begini .... Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan oligospermia,” terang sang dokter sebelum menautkan telunjuk pada tiga jari. “Faktor medis, lingkungan, dan gaya hidup.” Al
Dengan tangan kekar yang dialiri kegeraman, Adam mencengkeram kerah mantel Sebastian. Setelah merapatkan pandangan, menunjukkan betapa merah matanya dalam kegelapan, pria itu memperdengarkan deru napasnya. “Kutegaskan padamu! Amber adalah milikku, bayi di dalam perutnya adalah milikku, dan cintanya juga ada padaku. Kaulah yang seharusnya menjauh dari kehidupan kami!” Sambil menekan sudut bibirnya dengan lidah, Sebastian tertawa datar. “Kenapa kau yakin sekali kalau Amber mencintaimu? Jika benar, dia tidak akan memilih pergi bersamaku, Tuan Smith. Sekarang, kenapa dia malah enggan tinggal bersamamu?” “Hentikan omong kosong itu!” Sebastian menegakkan tubuh dan memasang tampang remeh. “Aku tidak mengada-ada. Dia sudah menerima lamaranku. Besok, kami akan segera pergi dari pondokmu dan pulang untuk menyelenggarakan pernikahan. Apakah kau bersedia datang kalau kami undang?” Cengkeraman Adam mendadak semakin kuat. Jarak pandang mereka pun merapat. “Kau pikir mudah memisahkan kami? Deng
Begitu keluar dari kamar mandi, Amber tertegun. Adam kembali menyambutnya di depan pintu. Pria itu tidak lagi menunjukkan punggung, melainkan kotak merah yang sempat membuatnya menangis selama bermenit-menit dalam pelukan Sebastian. “Aku tahu ini terlambat. Tapi, selamat ulang tahun, Amber,” ucap Adam sembari memaksakan senyum. Mendapat kejutan yang tak lagi diharapkan, helaan napas berembus cepat dari mulut sang wanita. “Inikah usaha terbaikmu?” tanyanya dengan nada meremehkan. “Kau sungguh menyedihkan, Adam.” Sebelum Amber berjalan pergi, sang pria bergeser menghalangi langkahnya. “Dengarkan aku! Ini adalah bukti kalau aku sungguh peduli padamu. Aku tahu, belakangan ini, aku kembali bersikap dingin kepadamu. Tapi ketahuilah, aku bersikap begitu demi mengingkari rasa cintaku padamu. Aku mengira itu palsu. Aku takut kau tersakiti kalau kujadikan pelarian.” “Aku memang pelarian. Itulah faktanya,” sela Amber dengan anggukan tegas. Alisnya terangkat tinggi menyangga kekesalan. “Tida
“Tidak,” desah Adam sembari bangkit dan berlari mengejar. “Amber! Kumohon ... beri aku kesempatan! Amber!” Malangnya, sang sopir terus mengemudikan mobil. Ketika memasuki jalan beraspal, lajunya malah semakin kencang. “Amber!” Adam mempercepat langkah. Namun, saat ia tiba di bahu jalan, mobil sudah bermeter-meter di depan, terlalu jauh untuk dikejar. “Amber, kembalilah!” pekiknya dengan sekuat tenaga. Mendengar suara keputusasaan itu, sang wanita pun menggigit bibir. Dengan segenap kesungguhan, ia mencengkeram map di pangkuan. Kepalanya pusing, dadanya sesak, dan hatinya sakit. Namun, ia tidak berani menoleh. “Amber, kau baik-baik saja?” tanya Sebastian, khawatir dengan gemetar di sekujur tubuh wanita itu. Amber tidak mampu menjawab. Ia hanya tertunduk, memperhatikan map yang bertuliskan nama Adam. Perlahan-lahan, kenangan mulai bermunculan. Laki-laki itu pernah menjadi kekasihnya. Laki-laki itu masih bersarang di hatinya. Menyadari kebenaran, ia spontan menoleh ke belakang. Be
“Selamat datang kembali di rumah kita, Amber,” bisik Adam saat mereka baru memasuki ruang tamu. Tanpa ragu, ia mengecup pipi wanita yang mendongak menatapnya itu. “Ini rumah kita?” tanya Amber seraya menaikkan sebelah alis. “Tentu saja. Semua yang kumiliki adalah milikmu juga,” timpal sang pria sembari mengelus pundak yang dirangkulnya itu. Alih-alih mengembangkan senyuman, sang wanita malah menjauh dan menyipitkan mata. “Tapi aku belum resmi menjadi istrimu. Aku belum menjadi Nyonya Smith ataupun nyonya rumah ini.” Sambil tertawa samar, Adam meraih kedua pundak kekasihnya. “Kau akan segera menjadi istriku, Amber, nyonya rumah ini. Apa lagi yang kau ragukan?” “Kesungguhanmu?” celetuk Sebastian sembari menyelinap masuk dari celah di antara pintu dan punggung Adam. “Jangan lupa kalau kestabilan jiwamu masih dipertanyakan.” “Kau pikir aku gila?” balas si tuan rumah dengan nada tak senang. Sejak tadi, ia memang sudah kesal karena laki-laki itu tidak langsung pergi. “Kau belum mempe
“Kenapa kau mengajukan pertanyaan konyol semacam itu, Adam?” bisik wanita yang duduk tegak di atas sofa. Ia bingung harus beranjak atau tetap pada posisinya. “Itu bukan pertanyaan konyol, Amber. Sejak awal, aku sudah curiga kalau laki-laki ini juga menyimpan perasaan terhadapmu,” terang Adam, membuat rahang Sebastian berdenyut-denyut geram. Sementara itu, Amber berusaha mencairkan ketegangan lewat tawa datarnya. “Itu musta—” “Kalau aku memang mencintainya, lalu kenapa?” sela Sebastian sembari menaikkan kedua alis. Ia tidak peduli lagi jika Amber menatapnya dengan penuh keheranan. “Oh, sekarang kau mengaku kalau dirimu mencintai perempuan yang kau sebut sahabat itu?” “Ya. Lalu apa? Kau takut aku menyaingimu? Merebut perhatiannya darimu?” Tiba-tiba saja, Adam membunyikan tawa yang mencekam. Sembari mengembalikan pandangan kepada Amber, ia meruncingkan telunjuk ke arah Sebastian. “Kau dengar? Inilah alasan mengapa aku tidak tenang jika ada dirinya di sampingmu. Laki-laki ini mencin
“Hei ...” desah Adam sembari ikut duduk di sofa. Setelah menyerahkan secangkir teh hangat kepada Amber, ia merangkul pundak wanita itu dengan sebelah lengan. “Apa yang sedang kau lamunkan?” tanyanya seraya melirik ke arah buku yang terbuka di atas meja. Sebuah bros cantik dan penjepit dasi keren tergambar di sana. Keduanya sama-sama memiliki hiasan yang berbentuk huruf A. “Aku tidak melamun,” timpal Amber seraya memalsukan senyuman. “Hanya memikirkan betapa beruntungnya aku bisa mendapatkanmu.” Lengkung bibir Adam seketika terkulum. Sambil memiringkan kepala, ia berbisik, “Kau yakin? Kukira kau sedang menerka-nerka harga cincin barumu itu.” Tawa Amber sontak menggetarkan udara. Kekakuan di wajahnya pun sedikit mengendur. “Aku sudah bukan perempuan semacam itu lagi, Tuan Dingin,” gerutunya seraya menyikut dada Adam. “Aku tahu. Kau adalah calon istriku yang bijak sekarang.” Usai membenamkan kecupan di pelipis, ia membiarkan wanita itu menyeruput teh pinusnya. “Apakah ada kabar te
Sambil menurunkan sweater yang bergulung di perutnya, Adam melangkah keluar kamar. Ia seperti mendengar suara ketukan pintu tadi. Begitu menemukan sang kekasih sedang berdiri di dekat jendela dengan kepala tertunduk dan tangan mencengkeram tirai, kerut alisnya bertambah dalam. “Ada apa, Amber? Siapa yang datang?” Dengan mata bulat yang memancarkan kebingungan, Amber berbalik. Telunjuknya terangkat ragu ke arah pintu. “Orang tuaku datang,” sahutnya setengah berbisik. “Orang tuamu?” Adam tidak yakin dengan pendengarannya. Selang satu kedipan lambat, wanita berekspresi datar itu meraih gagang pintu. Sambil menelan ludah, ia mengumpulkan nyali untuk berhadapan dengan kedua orang tuanya. “Papa? Mama?” sapanya datar. “Amber,” balas wanita bermantel cokelat yang menyunggingkan senyum elegan. “Bagaimana kabarmu?” Masih dengan tangan menggenggam tuas pintu, Amber mengangguk. “Baik. Ada kepentingan apa Papa dan Mama datang kemari?” “Bukankah wajar jika orang tua mengunjungi putri tungga