Share

Tidak diajak Makan Bersama

"Tumben pulang malam, Mas. Biasanya sebelum magrib sudah di rumah," ujarku sambil menyiapkan makan malam. 

Mas Handi terlihat baru saja keluar dari kamar mandi. Iya nampak terkejut dengan pertanyaanku. 

Aku memperhatikannya dari sudut mataku. Tangannya yang sedari tadi sibuk mengeringkan rambut dengan anduk tiba-tiba terhenti.

Mas Handi menghela napas. Lalu ia mendekatiku perlahan.

Hatiku mulai tidak karuan membayangkan hal yang bukan-bukan. Awalnya aku bertanya iseng saja, tapi melihat reaksi mas Handi yang aneh membuatku takut. 

"Kalau aku beritahu kamu pasti marah," ucapnya sambil memasang wajah bersalah. 

Keningku mengkerut. 

Kenapa mas Handi terlihat aneh? 

"Kenapa harus marah? Memangnya apa yang kamu lakukan?" tanyaku sembari menatapnya tajam. 

Mas Handi tertunduk lesu. 

"Apa!" seruku mendesak agar ia menjawab perkataanku. 

"Tadi siang, mba Hasna dan mba Risma mengajakku makan bersama di restoran yang ada di samping kantor polisi itu. Mba Hasna hanya mengajakku saja, makanya aku takut kamu marah karena tidak diajak," tuturnya menjelaskan.

Aku tersenyum kecut, "sejak kapan aku marah dengan hal itu? Bukannya sudah sering kalian begitu," balasku. 

Sejenak aku terdiam untuk mengambil napas agar suasana hatiku menjadi tenang. 

"Mas, setidaknya kalau tidak mengajakku, ajaklah anak-anakmu! Mereka 'kan juga keponakan mba Hasna, seperti halnya Adit dan Agnes," lanjutku. 

Aku cukup kesal dengan mas Handi. Bisa-bisanya ia tidak mengingat kedua anaknya. 

"Ya, Mas mana berani bilang ke mba Hasna untuk mengajak anak-anaknya. Yang ada malah tidak jadi nanti mas diajak," ujar mas Handi berasalan. 

Aku mendesah kesal, "terserah kamu deh Mas!" Aku beranjak dari sisi mas Handi dan berlalu.

"Loh, mau ke mana, Dek!" seru mas Handi ketika aku meninggalkannya. 

"Manggil anak-anak makan!" balasku tanpa menoleh kebelakang.

Suamiku ini tidak cukup pengertian.

***

Selesai makan malam, mas Handi menonton televisi sambil tangannya menggenggam erat ponsel kesayangannya.

Memang ia selalu begitu, tidak pernah berpisah dengan benda pipih itu. Sampai ke kamar mandi pun ia bawa. 

Aku tidak merasa aneh? 

Tentu saja aku merasa aneh, awalnya. Namun akhirnya tidak lagi setelah mengetahui alasannya.

Sebagai driver ojek online, tentunya suamiku akan akrab dengan ponsel dan internet. Terlebih keadaan ekonomi kami yang mengharuskan mas Handi bekerja keras. Membuatnya kadang-kadang akan menerima orderan dengan tujuan yang jaraknya tidak terlalu jauh, walaupun ketiak ia berada di rumah sekali pun.

Kadang-kadang setelah makan malam mas Handi berangkat ngojek lagi hingga hampir larut malam.

Aku tidak terlalu memusingkannya, yang terpenting suamiku itu pulang dengan selamat dan tidak lupa membawa uang, hehe.

“Lagi baca pesan dari siapa, Mas? Dari tadi cengar-cengir terus,” tanyaku kala mendapati mas Handi terkikik sambil menatap layar ponsel.

Aku menggeleng, “tidak usah Mas. Pusing aku membaca pesan grup kalian,” balasku sambil berlalu memasuki kamar anak-anak.

Waktu telah menunjukkan pukul 09:00 malam. Kedua anakku sudah pulas di kamarnya.

Aku memperbaiki selimut mereka yang tersingkap.

Setelah memeriksa anak-anak, aku pun pergi ke kamar.

Mas Handi masih cekikikan di depan televisi. Aku tidak mau mengganggunya. Biarkan saja dia menghibur diri setelah penat seharian bekerja.

Ting

Notifikasi aplikasi hijauku berbunyi. Segera kubuka dan kubaca isi pesannya.

“Alhamdulillah,” gumamku sambil meletakkan ponsel di dada.

Adikku satu-satunya memberi kabar bahwa tanah warisan yang diberikan ayah padaku telah ditawar oleh seseorang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status