Kekacauan pesta itu akhirnya berhasil diatasi hingga matahari hampir terbit.Setelah kakak-kakak iparnya dibaringkan ke kamar masing-masing, Marcel bersama pelayan yang lain bahu membahu membereskan sampah hasil pesta dan membersihkan ruangan hingga tidak ada lagi bekas-bekas minum di sana.“Aku capek sekali!” Marcel mengeluh di depan Venya ketika dia datang ke lab lebih awal. “Ini formula yang kamu berikan, aku hanya pakai sedikit. Para pelayan bilang kalau mereka merasakan energi yang tidak biasa.”Venya menerima kembali formula itu menatap Marcel. “Kamu ikut minum?” “Aku lupa ....”“Seharusnya stamina mereka akan terus terjaga sampai beberapa jam ke depan, tapi kamu kelihatan sudah lemas ....”Marcel merebahkan dirinya di samping Meru yang sibuk mencoret-coret kertas.Venya segera membuatkan Marcel sesuatu di lab, yakni serupa ramuan modern dari campuran beberapa bahan dan diraciknya sesuai pengetahuan yang dia dapatkan selama ini.“Minumlah,” suruh Venya sambil membawakan
Marcel sedang sibuk membersihkan kebun ketika sudut matanya tanpa sengaja melihat beberapa orang yang berjalan mengendap-endap ke arah gudang.“Kak, ini kenapa justru kita yang jadi seperti pencuri ya?” komentar Ciko seraya berjalan membuntuti Ronnie yang melangkah paling depan.Namun, hanya Alvon satu-satunya orang yang bersikap biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa.“Ini kan kawasan rumah kita!” ucap Ciko lagi.“Diam lah,” tukas Ronnie. “Kamu harus tahu kalau gudang itu memang bagian dari kawasan rumah kita, tapi ada hal yang kalian tidak pernah tahu ....”“Apa?” tanya Ciko. “Lab yang ada di bawahnya adalah milik orang tua Marcel,” jawab Ronnie memberi tahu.“Serius?” sahut Alvon meragukan.“Kok tidak percaya,” ketus Ronnie sambil terus melangkah.“Bagaimana ceritanya orang tua Marcel bisa membangun lab tepat di bawah gudang rumah kita?” tanya Ciko tidak percaya.“Aku tidak terlalu paham bagaimana perjanjian mereka, tapi itu yang aku dengar dari ayah.” Ronnie menjelask
Marcel menjalani kehidupannya seperti biasa, sebagai menantu, pembantu, dan juga sesekali samsak bagi kakak-kakak iparnya yang sedang kesal.Dia tidak keberatan sama sekali, justru terkadang malah menikmati sandiwaranya setiap kali Ronnie dan yang lain mengerjainya.“Sudah berapa lama kamu tidak makan hidangan sisa lagi?” tanya Ciko ketika melihat Marcel sudah berani minum terang-terangan di dapur bersama mereka.“Mungkin mulai hari ini,” jawab Marcel seraya memegang cangkirnya yang berisi teh hangat campur lemon.“Dan kamu akan makan menu baru?” tanya Ronnie memastikan.“Sepertinya begitu,” jawab Marcel terus terang. “Nanti setelah aku mencuci pakaian kalian semua.”Ciko saling pandang dengan Ronnie.“Cel, aku nitip gaun lagi!” timpal Shirley. “Jangan sampai rusak, karena aku tidak akan memaafkan kamu.”Marcel mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.“Kenapa suami kamu itu?” tanya Ciko heran. “Tidak seru sama sekali kalau dia menurut begitu.”“Kamu aneh, Kak.” Alvon b
Marcel terdiam cukup lama setelah Herman mengungkapkan keheranannya atas keputusan untuk mengajak ilmuwan yang bahkan sudah tidak mampu lagi bekerja di lab.“Aku pikir yang penting aku berani mencoba dulu, Yah.” Marcel menjelaskan.“Berani? Maksud kamu berani rugi?” Herman menegaskan. “Memangnya kamu bisa yakin kalau penelitian itu akan membuahkan hasil?”“Segala sesuatu layak untuk dicoba, Yah. Kita tidak akan pernah tahu kalau tidak mau mencoba,” jawab Marcel dengan bahasa yang tetap santun dan juga sopan.“Kamu bisa saja membuat sebuah terobosan, tapi saya tetap tidak mau dirugikan lagi.” Herman menegaskan.“Aku tahu, Yah. Karena itu aku berusaha cari sponsor untuk bisa melanjutkan penelitian ini,” angguk Marcel. “Aku sama sekali tidak ingin merugikan Ayah lagi, melainkan supaya bisa membayar ganti rugi atas apa yang telah Ayah kucurkan di masa lalu.”Herman menatap Marcel, seorang menantu yang tidak pernah dia harapkan kedatangannya.Namun, sepasang suami istri bodoh dan il
“Masuk saja, jangan malu-malu!” “Suami kamu ada di rumah?”“Tentu saja ada, dia kan memang tinggal di sini.”Marcel sedang mengepel lantai dapur ketika mendengar suara Shirley dengan teman prianya. Kalau bukan karena keterbatasan diri, ingin sekali dia menceraikan sang istri.“Cel, buatkan kami minum!” perintah Shirley ketika dia menyadari kehadiran Marcel.“Semua cangkir sudah aku cuci bersih,” sahut Marcel. “Kamu bisa bikin sendiri, mau teh? Kopi? Ada semua.”Teman pria Shirley tertawa tipis ketika mendengar ucapan Marcel.“Kamu ini ... jangan bikin aku malu di depan teman aku,” ucap Shirley tersinggung.“Kamu yang seharusnya malu,” tukas Marcel. “Sudah bersuami, tapi ke sana kemari sama teman-teman pria kamu seperti ini.”Shirley menatap Marcel semakin galak.“Mulai ngelunjak ya sekarang,” katanya sambil berkacak pinggang. “Status kamu di sini apa sih? Suami aku? Kata siapa?”Marcel balas menatap Shirley.“Jadi ternyata aku bukan suami kamu?” katanya dingin. “Oke, kala
“Tidak boleh yang seperti ini lagi!” ucap Ronnie seraya memandang Vando dan Shirley bergantian.Marcel berlalu melewati mereka begitu saja, dia tahu kalau Ronnie sedang bersandiwara untuk mendapatkan perhatiannya.“Kamu aneh sekali, Kak!” protes Shirley.“Diam, jangan sembarangan memasukkan teman pria-mu itu lagi sesuka hati.” Ronnie memperingatkan. “Kamu juga, Vando. Jangan membuat rumah tangga adikku bermasalah ....”“Kamu sehat, Ron?” tanya Vando dengan rasa heran yang sama.“Sudah, sudah, kalian harus sadar posisi dulu untuk saat ini.” Ronnie menegaskan.Marcel yang tiba di dapur, segera membuat teh untuk dirinya sendiri. Biasanya dia tidak berani karena siksanya bisa begitu pedih setiap kali Ciko mengetahuinya.Namun, sekarang Marcel tidak peduli. Dia punya banyak uang di rekening, dia bisa menggunakannya jika sewaktu-waktu diperlukan.“Cel, kita bisa mencoba mematenkan beberapa formula diam-diam untuk mendapatkan tambahan modal.” Venya memberi saran ketika dia melihat Ma
“Wah, tidak ada yang berharga di kamar ini.” Shirley menepukkan kedua tangannya dengan ekspresi jijik. “Namanya juga kamar pembantu dan aku punya suami yang tidur di kamar ini ....”Wanita itu menarik lengannya ke samping seraya memikirkan bagian mana lagi yang akan dia telusuri.“Ini bagus,” gumam Shirley seraya membuka laci meja satu per satu, dia bergidik ketika menemukan beberapa pasang kaos kaki bersih di dalam lemari.Hampir tiga puluh menit berlalu, dan Shirley tidak menemukan apa-apa di kamar pembantu. Meskipun demikian dia tetap menyingkap seprai tempat tidur, mengacak tumpukan baju-baju kotor, dan akhirnya dari jemari Shirley menemukan sebuah botol kecil bening di dasar keranjang.Apa ini?” tanya Shirley dalam hatinya seraya memandangi botol kecil mungil itu. “Apa ini punya Marcel?”Apa pun itu, Shirley segera keluar dari kamar pembantu dan pergi menemui kakaknya di ruang keluarga.“Kak, coba lihat apa yang aku temukan!” seru Shirley ketika dia berpapasan dengan Ciko.
Marcel menerima botol bening itu dan mengamatinya. “Jadi aku harus tetap konsumsi rutin ya,” komentar Marcel. “Tentu saja harus, karena kamu tetap manusia yang membutuhkan makan untuk bertahan hidup.” Marcel mengangguk paham dan bertanya, “Apakah kita sudah bisa mengedarkan produk ini ke masyarakat luas—tapi jangan sampai keluarga istriku tahu.” Venya mengangkat jempolnya. “Bisa saja, kenalanku yang akan mengurusnya. Untuk sementara kita akan memasarkan produk ini secara online, tapi ponselku butut—jadi kita harus mengandalkan dia sepenuhnya.” “Tapi dia bisa dipercaya kan?” tanya Marcel ingin tahu. “Bisa, aku jamin.” “Kalau begitu aku akan beli ponsel untuk kita gunakan khusus bisnis ini,” kata Marcel. “Aku titip lab ini kepadaku, tolong kamu urus sebaik mungkin. Aku percaya sama kamu.” Venya mengangguk kuat-kuat. “Aku tidak akan merusak kepercayaanmu.” Mendengar ucapan Venya, Marcel menarik napas lega. Selanjutnya, dia tinggal menunjukkan sikap kepada keluarga Shirley kalau