Marcel memandang seluruh rekannya bergantian setelah mereka dengan susah payah berhasil mendapatkan izin dari Aldi untuk maju mencari keberadaan Ronnie.“Kita tidak bisa membawa semua rekan untuk ikut ke sana,” katanya kepada Ivan. “Sebagian harus tetap di sini untuk mengawasi anak buah Ronnie yang kita sandra.”Diko dan Ivan mendengarkan ucapan Marcel dengan wajah serius.“Memangnya Ronnie itu orang yang seperti apa, kira-kira?” tanya Diko ingin tahu. “Apa kita harus benar-benar membawa penjaga khusus?”“Ronnie itu adalah anak dari Herman Delvino,” jawab Marcel lambat-lambat. “Tujuan awal kita hanya untuk mengetahui apa yang diinginkan keluarga Delvino. Selain itu kita juga harus mencari keberadaan Ronnie untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada kita.”Marcel sengaja menyisipkan satu pucuk senjata api kecil di pinggangnya.“Penyadapan tidak akan bisa berfungsi di sana,” kata Marcel lagi. “Kita akan diperiksa sampai beberapa kali, bahkan ponsel kita juga akan ditahan sesuai pr
Marcel i kini menumpang mobil yang akan membawanya ke tempat Keluarga Delvino berada, Aldi sudah memperingatkan dirinya bahwa sikap kehati-hatian sangat penting selama berurusan dengan keluarga Delvino.Tanpa sepengetahuan siapapun, Aldi rupanya sudah menggerakkan tambahan tim khusus untuk membuntuti mereka karena hunian keluarga Delvino juga memiliki banyak bodyguard terlatih.Dan Aldi sengaja memilih satu jalur yang tidak pernah terpikirkan oleh orang lain.“Kita tidak boleh bicara sepatah katapun tanpa diminta, mengerti?” tanya Marcel tajam kepada rekan satu timnya. “Daripada berdebat, lebih baik siapkan tenaga kalian untuk menghadapi risiko terburuk seandainya benar-benar terjadi baku hantam.”“Kami mengerti, Pak.” Diko menganggukkan kepala sementara Ivan memilih diam saja.Perjalanan mereka terus berlangsung selama setengah jam sampai akhirnya memasuki gapura besar dan megah dengan plakat bersepuh emas bertulisan Herman Corporation.“Setelah ini penjagaan akan semakin ketat,” gum
Beberapa saat sebelumnya ....Diko yang terdesak, terpaksa mundur sejenak.“Kalian menyerah saja, tinggalkan lab ini sebelum kami musnahkan!”“Lab ini selamanya adalah milik keluarga Delvino.”Ivan dan rekannya merapat ke sisi kanan dan kiri Diko untuk saling melindungi.“Mana Suni?” tanya Diko lirih.“Masih di dalam mobil,”jawab Ivan.“Dia menyusul Pak Marcel yang menyelamatkan Bu Venya,” imbuh rekan lainnya, membuat Diko terpana.“Celaka!” batinnya dalam hati.Situasi di lab baru mulai semakin tidak terkendali. Orang-orang saling baku hantam menggunakan kayu, batu, bahkan besi.“Jangan pakai senjata api!” Ronnie sibuk berteriak-teriak di tengah medan, seakan dia adalah panglima perang yang sedang mengincar buruannya. “Aku tidak mau ada mayat! Bisa repot urusannya sama pemerintah!”Pegawai Aldi yang tidak tahu apa-apa sudah lari menyelamatkan diri dari tadi, dibantu oleh beberapa anggota tim yang mulai berdatangan.“Bos, situasi mulai menyudutkan kita!” lapor salah satu anak buah kep
Diko memapah Ivan yang staminanya terkuras habis setelah pertarungannya dengan Lokan.“Pak Marcel ... bagaimana?” tanya Diko sembari membimbing Ivan yang berjalan terseok-seok. “Juga Bu Venya yang mengantar tabung-tabung tadi ....”“Aman,” jawab Ivan lirih. “Anggota kita yang terluka ...?”“Masih ditangani,” sahut Diko.Ivan mengangguk lega, keduanya terus berjalan menuju ruangan yang penuh sesak.“Mereka harus kita tolong,” ucap Ivan ketika matanya menatap tubuh-tubuh anggotanya yang tidak sadarkan diri. “Ke mana yang lain?”“Kita melakukannya bertahap,” kata Diko. “Mereka semua masih hidup, tenang saja ....”Ucapan Diko terhenti ketika dia dan Ivan terhuyung oleh tendangan keras pada bahu mereka.Ketika Diko menoleh, Lokan baru saja mendarat mulus di atas tanah. Dia menyeringai, tampak jelas dari maskernya yang robek separo—dia memiliki wajah yang sama persis dengan Ivan.“Dia ....”“Mustahil,” gumam Ivan dengan wajah pias. “Aku sudah kerahkan semua tenagaku tadi ....”“Kalian pengk
“Aku sudah bilang kan, kamu tidak akan bisa sukses di dunia luar!” Ucapan Shirley menjadi santapan malam Marcel yang muncul di depan pintu rumahnya beberapa minggu kemudian Melihat sang menantu dalam keadaan kacau dan tidak jelas, Reina buru-buru menariknya masuk dan menyiapkan sepiring makanan.“Kamu terbukti tidak bisa berbuat apa-apa di luaran sana kan?” kecam reina ketika Marcel duduk di dapur dan menghadap secangkir teh yang disediakan Reina. “Lihat dirimu, lusuh sekali.”Marcel menghela napas, dia memang belum sempat mengganti bajunya setelah pulang dari lokasi proyek.“Kamu habis berkelahi?” tanya Reina menyelidik karena kemeja Marcel yang robek di bagian lengan. “Kamu ini sebenarnya kerja apa?”Herman menatap Marcel tajam dan berkata, “Dari awal saya sudah tekankan sama kamu untuk mengikuti saran saya. Kamu itu tidak punya modal apa-apa, tapi sudah bergaya mau berusaha sendiri di luar ... Sekarang apa yang kamu banggakan dari diri kamu itu?”Marcel menarik napas, “Saya hanya
“Kamu lagi, kamu lagi!” cemooh Shirley sambil melirik Marcel yang duduk di sampingnya. “Mana, katanya mau urus perceraian kita? Tidak punya duit saja belagu.”Sebelah tangan Marcel mengepal, tapi dia tidak boleh terpancing emosi atas hinaan yang Shirley lontarkan kepadanya.“Nih, bawa mobilnya.” Shirley membanting kunci mobilnya di dasbor kemudian bersiap turun. “Kamu yang nyetir, aku mau tidur di belakang saja. Malas lihat wajah kamu ....”“Banyak omong, aku bukan sopir kamu!” balas Marcel dari sudut bibirnya.“Apa?” Shirley memutar kepalanya sambil melorot ke arah sang suami. “Suara kamu tidak enak didengar ya, Cel? Kamu lupa ayah kamu ngomong apa tadi sama keluarga aku?”Marcel mengembuskan napas panjang.“Kamu lupa?” ulang Shirley dengan suara melengking. “Ayah kamu bilang kalau kamu akan jadi suami yang bisa mengayomi, menafkahi, dan menghormati aku.”Marcel memalingkan wajahnya dan tidak menjawab. Shirley lantas turun dan pindah ke tempat duduk belakang.“Kita pulang ke rumah sek
“Mereka siapa?” tanya Ciko dengan kening berkerut.“Mereka yang mengambil alih perusahaan cabang ... ada lahan bekas pabrik kan?” sahut Ronnie mengingatkan. “Aku lihat lahan itu sudah dibangun lab yang lebih besar ... Ya aku curiga, aku minta mereka untuk menunjukkan surat-surat kepemilikan, tapi mereka tidak bisa menunjukkannya.”Ciko duduk termenung sambil menatap lurus ke arah layar monitor.“Lahan yang seharusnya jatuh ke tangan ayah, itu diperkirakan ada yang menggunakan nama Marcel sehingga bisa diambil alih.” Ronnie menjelaskan lambat-lambat. “Tapi kamu dan ayah kelihatannya tidak yakin kalau orang itu betul-betul Marcel.Ronnie menghela napas.“Entah Marcel atau bahkan Pak Aldi sendiri, yang jelas mereka memiliki anggota tim yang terlatih dalam jumlah yang lumayan banyak.” Dia memberi tahu Ciko. “Sangat mencurigakan mengingat pengusaha biasa tidak mungkin bisa mengumpulkan orang-orang terlatih seperti itu ... Maksud aku buat apa sih?”Ciko memegang keningnya sambil berpikir.“
Baru tinggal sebentar di kediaman keluarga Delvino saja Marcel sudah merasa stres berkepanjangan. Dia yang telah menyatu dengan kehidupan di lab milik Aldi bahkan rela melakukan apa saja demi bisa kembali ke sana lagi.Di rumah, Alvon masih mengeluarkan sumpah serapahnya kepada sang adik ipar. Dia yang biasanya kalem dan tidak pernah menghujat Marcel, kini seakan menunjukkan sikap yang jauh lebih buruk lagi daripada biasanya.“Suami kamu itu benar-benar kurang ajar,” semburnya kepada Shirley yang baru saja membawakan satu pot krim untuknya.“Lagian Kakak lemah sekali,” komentar Shirley sambil menggosokkan krim itu ke pergelangan tangan Alvon yang nyeri seakan terkilir.Padahal Marcel hanya mencengkeramnya saja, tidak lebih.“Lihat nih, apa yang sudah dia lakukan ke tangan aku!” hujat Alvon dengan wajah murka.“Kenapa Kakak tidak balas tadi?” tanya Shirley sambil mengembuskan napas. “Masa hanya dipegang Marcel saja sudah biru begini?”Tatapan mata Alvon lantas terpaku pada bekas membir