Share

6 Aku Akan Balas Mereka

Pagi itu Marcel ikut membantu Nana menyiapkan sarapan pagi untuk seluruh anggota keluarga Delvino. Peluh membanjir di kening dan tengkuknya sementara Shirley dan yang lain asyik bercengkerama sembari menyantap hidangan yang tersaji.

“Pak Marcel, makan dulu di kamar kami.” Nana berbisik ketika melihat Marcel terduduk menyedihkan di dekat mesin cuci yang sedang beroperasi.

“Nanti saja, Bi.” Marcel menyahut dengan suara pelan, dia melirik Shirley yang sedang asyik menyantap paha ayam crispy yang terhidang. Belum lagi suara rakus Ciko yang sedang sibuk menggiling daging sapi lada hitam hingga membuat Herman menegurnya supaya lebih santun saat di meja makan.

Marcel memegangi perutnya yang perih melilit karena sedari tadi belum terisi apa pun, tapi sudah dipaksa untuk bekerja keras membantu pekerjaan rumah tangga.

“Aku kenyang sekali!” seru Ciko sambil meraih selembar tisu untuk mengelap bibirnya.

“Makanlah dengan lebih santun lagi lain kali,” kata Herman datar. “Setelah ini ayah dan ibu akan menghadiri rapat dengan klien dari perusahaan yang memproduksi bor ....”

“Aku jadi ingat film tentang meteor!” celetuk Alvon, kakak Shirley yang nomor tiga. “Para astronot terpaksa melubangi meteor itu dengan bor untuk mencegahnya menabrak bumi!”

Ronnie mendengus di piringnya, Alvon memang penggemar berat segala sesuatu yang berhubungan dengan astronomi.

“Kamu kapan ada rencana untuk ke planet Uranus, Kak?” tanya Shirley menggoda. “Aku mau titip pesan untuk alien yang mampir di sana ....”

Gelak tawa memenuhi seantero dapur hingga suaranya mencapai tempat di mana Marcel berada. Tidak sedikit pun mereka ada yang berpikir untuk mempersilakan Marcel bergabung di meja makan.

“Pak Marcel, Anda pucat sekali ...” bisik Eli saat mengecek mesin cuci yang baru saja berhenti beroperasi. “Sebentar lagi mereka akan pergi, setelah itu Anda bisa makan.”

Marcel menghela napas.

“Makan hidangan sisa lagi,” keluhnya. “Makanan kalian bahkan jauh lebih manusiawi daripada makanan yang mereka sisakan untukku.”

Eli memahami betul perasan Marcel karena dia sendiri tidak akan sampai hati menyantap makanan sisa.

“Anda tunggu sebentar, nanti akan saya ambilkan makanan utuh untuk Pak Marcel.” Eli berjanji.

“Jangan!” desis Marcel. “Itu tidak perlu, aku khawatir kalau kamu ketahuan ... Bisa-bisa kamu dipecat karena hal itu.”

Eli untuk sesaat merasa tidak enak kepada Marcel.

Nana muncul tidak lama setelah itu.

“Eli, bantu ibu beres-beres meja makan!” anaknya. “Nyonya Shirley dan kakak-kakaknya sudah pergi, Pak Marcel mau makan apa untuk sarapan?”

Marcel menggeleng dan berkata, “Tumben mereka tidak mencariku untuk menghabiskan makanan sisa?”

“Sepertinya mereka tahu kalau kalau makanan sisa itulah yang membuat Pak Marcel mencoba bunuh diri,” jawab Nana hati-hati. “Bukankah itu bagus? Anda tidak perlu tersiksa lagi sekarang ....”

Marcel diam saja dan tidak yakin dengan pendapat Nana.

“Mari, Pak?” ajak Nana sambil menoleh ke arah Eli. “Kamu segera menyusul ya kalau sudah selesai cuciannya?”

“Ya, Bu!” Eli mengangguk.

Marcel menuruti saran Nana untuk pergi ke dapur dan benar saja, beberapa mangkok dan piring saji masih ada di meja makan.

“Mereka tidak makan semuanya?” tanya Marcel heran karena dia tahu betul seberapa rakus keluarga istrinya. Mereka terbiasa menyantap hampir semua masakan yang disajikan dan sengaja menyisakan sedikit-sedikit untuk Marcel makan sisanya.

“Kebetulan Tuan Ciko dan Tuan Ronnie minta kami memasak lebih banyak daripada biasanya,” jawab Nana memberi tahu. “Biarpun Pak Marcel belum boleh makan semeja dengan mereka, tapi paling tidak ini adalah sebuah kemajuan.”

Marcel terdiam selama beberapa saat, entah kenapa dia tidak begitu yakin dengan pendapat Nana.

“Bapak cepat makan, biar saya cicil beres-beresnya!” sambung Nana lagi sambil menumpuk piring-piring yang kotor. “Air tehnya masih ada sedikit, mau saya tambahkan?”

“Sudah cukup, Bi.” Marcel mengangguk sambi duduk di meja makan. Baru saja dia meraih sepotong paha ayam crispy yang masih utuh, tiba-tiba saja ada tangan terulur dan menyambar paha ayam itu.

Marcel menoleh dan tatapannya langsung tertumbuk pada Ciko yang telah merebut paha ayam itu.

“Mau sarapan?” tanya Ciko sambil tersenyum miring.

Marcel menelan ludah tepat ketika perutnya menjerit lapar.

“Tuan ...?” Nana yang menyadari kedatangan Ciko buru-buru menengahi. “Maaf, saya ....”

“Tidak perlu minta maaf, Bi!” sahut Ciko dengan suara keras. “Aku tidak masalah kalau adik iparku ini mau sarapan.”

Nana bahkan sampai ternganga selama beberapa saat seolah tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Ciko.

“Aku ... aku akan makan hidangan sisa seperti biasanya,” ucap Marcel yang malas ribut pagi-pagi.

“Oh, tidak perlu!” sahut Ciko sambil menyeringai. “Khusus hari ini aku sedang berbaik hati, jadi aku akan izinkan kamu untuk makan hidangan yang masih utuh. Salah satunya adalah paha ayam ini.”

Marcel mengernyitkan keningnya, hampir tidak percaya dengan apa yang Ciko katakan.

“Mau?” tanya Ciko sambil melambaikan paha ayam itu ke wajah Marcel. “Ayo ambil!”

Marcel tertegun dan dengan ragu-ragu dia mengulurkan tangannya untuk mengambil daging itu.

Namun, sebelum tangan Marcel sempat memegangnya, Ciko dengan sengaja malah menjatuhkan paha ayam itu ke lantai.

“Tuh, makan sana!” suruh Ciko semena-mena.

Nana terbelalak melihatnya.

“Tuan, jangan begini ....” cicit Nana yang tidak tega melihat kejadian yang berlangsung di depannya. “Pak Marcel pernah keracunan, jadi ....”

“Bibi diam saja kalau masih mau bekerja di sini,” kata Ciko dengan nada mengancam. “Cel, cepat makan.”

Marcel terdiam mematung.

“Ayam ini enak sekali lho,” pancing Ciko sambil terkekeh. “Cepat ambil!”

Marcel membungkuk untuk meraih paha ayam itu menggunakan tangannya.

“Ambil pakai mulut kamu!” perintah Ciko sambil menendang lutut Marcel hingga dia tersungkur.

“Pak Marcel!” seru Nana tertahan.

“Aku tidak ....”

“Ambil pakai mulut!” potong Ciko tegas.

“Aku bukan anjing, paham?” sahut Marcel, melawan untuk pertama kalinya. Meskipun perutnya melilit perih, dia tidak ingin menuruti perintah gila Ciko. “Aku adalah suami adikmu ....”

“Dan aku adalah kakak iparmu, bodoh!” umpat Ciko sambil menempeleng kepala Marcel. “Cepat ambil atau aku suruh orang-orang untuk mencari jejak orang tuamu dan menjebloskan mereka ke penjara?”

Marcel mendongak menatap Ciko dengan penuh benci, Nana sampai gemetar melihat situasi yang sedang berlangsung di hadapannya.

“Cepat!” suruh Ciko lagi.

Sambil menahan marah, Marcel terpaksa menuruti perintah kakak iparnya. Dia menundukkan kepala dan menggigit paha ayam itu dengan bibirnya.

Nana memalingkan wajah karena tidak tiga.

Ciko tertawa terbahak-bahak dan berseru, “Sayangnya aku tidak bawa ponsel! Kak Ronnie pasti suka melihat pemandangan ini, ha ha ha!”

Nana yang merasa sangat bersalah, segera memeluk bahu Marcel begitu Ciko pergi meninggalkan dapur masih dengan lengkingan tawanya yang keras.

“Maafkan saya, Pak Marcel! Gara-gara saya ...! Gara-gara saya, Anda jadi begini! Seharusnya saya tidak memaksa Pak Marcel untuk ....”

Marcel meludahkan paha ayam itu kemudian mengusap bibirnya.

“Tidak apa-apa, Bi. Suatu hari nanti aku akan balas perlakuan mereka berkali-kali lipat lebih pedih dari yang pernah mereka perbuat terhadap aku,” sumpah Marcel dengan kilat yang menyala-nyala di matanya.

Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status