Pagi itu Marcel ikut membantu Nana menyiapkan sarapan pagi untuk seluruh anggota keluarga Delvino. Peluh membanjir di kening dan tengkuknya sementara Shirley dan yang lain asyik bercengkerama sembari menyantap hidangan yang tersaji.
“Pak Marcel, makan dulu di kamar kami.” Nana berbisik ketika melihat Marcel terduduk menyedihkan di dekat mesin cuci yang sedang beroperasi.“Nanti saja, Bi.” Marcel menyahut dengan suara pelan, dia melirik Shirley yang sedang asyik menyantap paha ayam crispy yang terhidang. Belum lagi suara rakus Ciko yang sedang sibuk menggiling daging sapi lada hitam hingga membuat Herman menegurnya supaya lebih santun saat di meja makan.Marcel memegangi perutnya yang perih melilit karena sedari tadi belum terisi apa pun, tapi sudah dipaksa untuk bekerja keras membantu pekerjaan rumah tangga.“Aku kenyang sekali!” seru Ciko sambil meraih selembar tisu untuk mengelap bibirnya.“Makanlah dengan lebih santun lagi lain kali,” kata Herman datar. “Setelah ini ayah dan ibu akan menghadiri rapat dengan klien dari perusahaan yang memproduksi bor ....”“Aku jadi ingat film tentang meteor!” celetuk Alvon, kakak Shirley yang nomor tiga. “Para astronot terpaksa melubangi meteor itu dengan bor untuk mencegahnya menabrak bumi!”Ronnie mendengus di piringnya, Alvon memang penggemar berat segala sesuatu yang berhubungan dengan astronomi.“Kamu kapan ada rencana untuk ke planet Uranus, Kak?” tanya Shirley menggoda. “Aku mau titip pesan untuk alien yang mampir di sana ....”Gelak tawa memenuhi seantero dapur hingga suaranya mencapai tempat di mana Marcel berada. Tidak sedikit pun mereka ada yang berpikir untuk mempersilakan Marcel bergabung di meja makan.“Pak Marcel, Anda pucat sekali ...” bisik Eli saat mengecek mesin cuci yang baru saja berhenti beroperasi. “Sebentar lagi mereka akan pergi, setelah itu Anda bisa makan.”Marcel menghela napas.“Makan hidangan sisa lagi,” keluhnya. “Makanan kalian bahkan jauh lebih manusiawi daripada makanan yang mereka sisakan untukku.”Eli memahami betul perasan Marcel karena dia sendiri tidak akan sampai hati menyantap makanan sisa.“Anda tunggu sebentar, nanti akan saya ambilkan makanan utuh untuk Pak Marcel.” Eli berjanji.“Jangan!” desis Marcel. “Itu tidak perlu, aku khawatir kalau kamu ketahuan ... Bisa-bisa kamu dipecat karena hal itu.”Eli untuk sesaat merasa tidak enak kepada Marcel.Nana muncul tidak lama setelah itu.“Eli, bantu ibu beres-beres meja makan!” anaknya. “Nyonya Shirley dan kakak-kakaknya sudah pergi, Pak Marcel mau makan apa untuk sarapan?”Marcel menggeleng dan berkata, “Tumben mereka tidak mencariku untuk menghabiskan makanan sisa?”“Sepertinya mereka tahu kalau kalau makanan sisa itulah yang membuat Pak Marcel mencoba bunuh diri,” jawab Nana hati-hati. “Bukankah itu bagus? Anda tidak perlu tersiksa lagi sekarang ....”Marcel diam saja dan tidak yakin dengan pendapat Nana.“Mari, Pak?” ajak Nana sambil menoleh ke arah Eli. “Kamu segera menyusul ya kalau sudah selesai cuciannya?”“Ya, Bu!” Eli mengangguk.Marcel menuruti saran Nana untuk pergi ke dapur dan benar saja, beberapa mangkok dan piring saji masih ada di meja makan.“Mereka tidak makan semuanya?” tanya Marcel heran karena dia tahu betul seberapa rakus keluarga istrinya. Mereka terbiasa menyantap hampir semua masakan yang disajikan dan sengaja menyisakan sedikit-sedikit untuk Marcel makan sisanya.“Kebetulan Tuan Ciko dan Tuan Ronnie minta kami memasak lebih banyak daripada biasanya,” jawab Nana memberi tahu. “Biarpun Pak Marcel belum boleh makan semeja dengan mereka, tapi paling tidak ini adalah sebuah kemajuan.”Marcel terdiam selama beberapa saat, entah kenapa dia tidak begitu yakin dengan pendapat Nana.“Bapak cepat makan, biar saya cicil beres-beresnya!” sambung Nana lagi sambil menumpuk piring-piring yang kotor. “Air tehnya masih ada sedikit, mau saya tambahkan?”“Sudah cukup, Bi.” Marcel mengangguk sambi duduk di meja makan. Baru saja dia meraih sepotong paha ayam crispy yang masih utuh, tiba-tiba saja ada tangan terulur dan menyambar paha ayam itu.Marcel menoleh dan tatapannya langsung tertumbuk pada Ciko yang telah merebut paha ayam itu.“Mau sarapan?” tanya Ciko sambil tersenyum miring.Marcel menelan ludah tepat ketika perutnya menjerit lapar.“Tuan ...?” Nana yang menyadari kedatangan Ciko buru-buru menengahi. “Maaf, saya ....”“Tidak perlu minta maaf, Bi!” sahut Ciko dengan suara keras. “Aku tidak masalah kalau adik iparku ini mau sarapan.”Nana bahkan sampai ternganga selama beberapa saat seolah tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Ciko.“Aku ... aku akan makan hidangan sisa seperti biasanya,” ucap Marcel yang malas ribut pagi-pagi.“Oh, tidak perlu!” sahut Ciko sambil menyeringai. “Khusus hari ini aku sedang berbaik hati, jadi aku akan izinkan kamu untuk makan hidangan yang masih utuh. Salah satunya adalah paha ayam ini.”Marcel mengernyitkan keningnya, hampir tidak percaya dengan apa yang Ciko katakan.“Mau?” tanya Ciko sambil melambaikan paha ayam itu ke wajah Marcel. “Ayo ambil!”Marcel tertegun dan dengan ragu-ragu dia mengulurkan tangannya untuk mengambil daging itu.Namun, sebelum tangan Marcel sempat memegangnya, Ciko dengan sengaja malah menjatuhkan paha ayam itu ke lantai.“Tuh, makan sana!” suruh Ciko semena-mena.Nana terbelalak melihatnya.“Tuan, jangan begini ....” cicit Nana yang tidak tega melihat kejadian yang berlangsung di depannya. “Pak Marcel pernah keracunan, jadi ....”“Bibi diam saja kalau masih mau bekerja di sini,” kata Ciko dengan nada mengancam. “Cel, cepat makan.”Marcel terdiam mematung.“Ayam ini enak sekali lho,” pancing Ciko sambil terkekeh. “Cepat ambil!”Marcel membungkuk untuk meraih paha ayam itu menggunakan tangannya.“Ambil pakai mulut kamu!” perintah Ciko sambil menendang lutut Marcel hingga dia tersungkur.“Pak Marcel!” seru Nana tertahan.“Aku tidak ....”“Ambil pakai mulut!” potong Ciko tegas.“Aku bukan anjing, paham?” sahut Marcel, melawan untuk pertama kalinya. Meskipun perutnya melilit perih, dia tidak ingin menuruti perintah gila Ciko. “Aku adalah suami adikmu ....”“Dan aku adalah kakak iparmu, bodoh!” umpat Ciko sambil menempeleng kepala Marcel. “Cepat ambil atau aku suruh orang-orang untuk mencari jejak orang tuamu dan menjebloskan mereka ke penjara?”Marcel mendongak menatap Ciko dengan penuh benci, Nana sampai gemetar melihat situasi yang sedang berlangsung di hadapannya.“Cepat!” suruh Ciko lagi.Sambil menahan marah, Marcel terpaksa menuruti perintah kakak iparnya. Dia menundukkan kepala dan menggigit paha ayam itu dengan bibirnya.Nana memalingkan wajah karena tidak tiga.Ciko tertawa terbahak-bahak dan berseru, “Sayangnya aku tidak bawa ponsel! Kak Ronnie pasti suka melihat pemandangan ini, ha ha ha!”Nana yang merasa sangat bersalah, segera memeluk bahu Marcel begitu Ciko pergi meninggalkan dapur masih dengan lengkingan tawanya yang keras.“Maafkan saya, Pak Marcel! Gara-gara saya ...! Gara-gara saya, Anda jadi begini! Seharusnya saya tidak memaksa Pak Marcel untuk ....”Marcel meludahkan paha ayam itu kemudian mengusap bibirnya.“Tidak apa-apa, Bi. Suatu hari nanti aku akan balas perlakuan mereka berkali-kali lipat lebih pedih dari yang pernah mereka perbuat terhadap aku,” sumpah Marcel dengan kilat yang menyala-nyala di matanya.Bersambung—Setelah Ciko puas mempermalukannya di depan Nana, Marcel pergi ke lab dengan perut kosong karena dia tidak ingin menyantap apa pun yang diberikan keluarga Delvino lagi. Venya baru saja selesai membersihkan tubuh Meru ketika Marcel muncul. “Kamu dan ayahmu makannya bagaimana?” tanya Marcel ingin tahu. “Kamu betah-betah saja tinggal di sini? Apa perlu tempatnya dibersihkan dulu ....?” “Tidak usah, justru lebih baik seperti ini biar anggota keluarga Delvino tidak ada yang berminat masuk ke lab ini.” Venya menggeleng tidak setuju. “Yang penting ada tempat untuk aku dan ayahku tidur ....” Marcel mengangkat bahu dan tidak memaksa. “Ngomong-ngomong soal makan tadi bagaimana?” ulang Marcel ingin tahu. “Tenang saja, kami ada formula yang kalau diminum bisa menimbulkan sensasi kenyang selama dua-tiga hari ke depan.” Venya menjelaskan. “Kamu serius?” Marcel terbelalak. “Bagaimana bisa seperti itu?” Venya menarik napas dan menyahut, “Mau bagaimana lagi ... kami harus hidup serba hemat sete
Marcel memandang datar ke arah kakak-kakak iparnya.“Aku rasa ini bukan saat yang tepat untuk menyiksa adik ipar kita,” komentar Ronnie. “Ayah dan ibu bilang kalau memang Marcel tidak mau makan, kita tidak boleh memaksanya.”Ciko mendengus.“Astaga, itu sih dari dulu ibu bilang begitu sama kita.” Dia berkomentar. “Kita tidak perlu bilang ibu ....”“Huft, membosankan!” celetuk Alvon, dia adalah kakak ipar Marcel yang bersikap netral—tidak pernah membela Marcel, tapi juga tidak pernah berusaha mencegah penganiayaan itu terjadi di depan matanya.“Kak, hari ini biar aku saja yang suruh Marcel membereskan semua sisa makanan.” Shirley menengahi. “Jangan ada keributan lagi, ingat! Kemarin dia hampir saja bunuh diri gara-gara kalian.”Marcel heran kenapa kali ini Shirley mau membelanya, meskipun tentu saja hal itu justru memantik suara tawa dari mulut Ronnie dan juga Ciko.“Itu sih karena suami kamu saja yang mentalnya lemah!” cemooh Ciko. “Laki-laki sejati tidak akan selemah dia!”Ma
Alvon melirik salah satu kakaknya itu.“Aku tidak tertarik, kecuali penelitian mereka tentang astronomi.” Dia menegaskan.“Siapa yang ajak kamu?” tukas Ciko sambil meraih sehelai tisu untuk membersihkan bibir. “Bagaimana, Kak?”Dia menoleh ke Ronnie yang masih menikmati secangkir susu hangat miliknya.“Malam-malam begini?” tanggap Ronnie sambil menimbang-nimbang.“Ini belum malam, lagipula Marcel hanya punya waktu luang ya sekarang ini.” Ciko menjelaskan. “Kalau siang kan dia harus jadi pembantu.”Ronnie terkekeh, sementara Shirley diam saja. Dia masih dendam karena Marcel pernah memintanya untuk menyantap makanan sisa dari saudara-saudaranya.Di dalam lab, Marcel memperhatikan bagaimana Venya bekerja. “Kita harus bersih-bersih dulu,” kata Venya sambil memeriksa persediaan tabung-tabung yang ada di lemari. “Ini harus kita pilah mana yang masih bisa dipakai.”Marcel mengangguk dan menyahut, “Aku harus bersih-bersih bagian mana? Masih ada tabung-tabung yang berisi cairan kimia
“Ini untuk mulut lancangmu itu!” seru Ronnie sambil menghantam rahang Marcel dengan kepalan tangannya. “Argh, bangsat!”Dia mengumpat ketika tangannya memukul sesuatu yang keras.“Ada apa, Kak?”“Kenapa sih?”Coki dan Alvon mengalihkan perhatian mereka ke arah Ronnie yang menggosok-gosok buku jarinya.Marcel sendiri kebingungan saat tiba-tiba kakak iparnya berteriak sedangkan dia tidak memberikan perlawanan apa-apa.“Kamu diapakan sama Marcel?” tanya Coki dengan nada menyelidik. “Kok kesakitan begitu?”Ronnie tidak segera menjawab, apalagi dia masih belum tahu pasti apa yang menyebabkan tangannya seperti menghantam sebongkah besi.Padahal Ronnie yakin betul kalau dia telah memukul rahang Marcel, tapi kenapa adik iparnya itu hanya berdiri bergeming saja?“Jawab, Kak! Kamu diapakan sama Marcel?” tanya Ciko mendesak.“Sudahlah, tidak usah dibahas!” jawab Ronnie tegas. “Kita tinggalkan saja tempat ini, biarkan mereka melanjutkan penelitian gagal itu ... dan kita harus mempersiap
“Apa kamu tidak bisa menceritakan kepadaku seperti apa ciri-ciri dari cairan yang kamu minum?” tanya Venya sambil mencari di antara lemari kaca. “Aku tidak ingat,” jawab Marcel segera. “Namanya juga pikiranku saat itu sedang kalut, jadi aku asal ambil cairan kimia yang ada dan menenggaknya.” Venya kemudian menghadap Marcel dan menatapnya dengan serius. “Apa kamu masih ingat tabung mana yang kamu ambil?” Dia bertanya lagi. “Tidak, aku kan sudah bilang kalau aku hanya asal ambil.” Marcel menjelaskan. “Memangnya penting bagi kita untuk mengetahui cairan apa yang aku minum? Kan yang penting aku baik-baik saja pada akhirnya.” Venya menghela napas. “Tentu saja itu penting, karena sepengetahuan aku stok formula di sini tidak ada yang aman untuk dikonsumsi.” Dia menjelaskan. “Tapi ya sudahlah ... kita akan susah mencari jejaknya karena tidak ada sisa-sisa dari cairan yang kamu minum itu.” Marcel mengangguk, dia memang tidak ingat sama sekali tentang apa yang terjadi setelah dia minum ca
Begitu Shirley melenggang pergi dan tidak terlihat lagi, Marcel segera mengangkut baju-baju kotor istrinya ke tempat cucian, dia masukkan hampir semuanya ke mesin cuci kecuali dia potong gaun berbahan tipis dan belahan dada rendah untuk dicuci secara terpisah.Sebagai laki-laki normal, Marcel tentu pernah berhasrat untuk melakukan hubungan suami istri dengan Shirley. Namun, itu sebelum dia diusir tepat pada malam setelah mereka resmi menikah.“Pergi sejauh-jauhnya dari kamarku! Jangan pernah sekali-kali kamu tidur di ruangan yang sama denganku, ngaca dulu sana!”Sejak saat itu, Marcel memupus naluri laki-lakinya dan menganggap bahwa dirinya tidak pernah menikah.“Pak Marcel, sarapan!” Nana melongok ke tempat cucian, di mana Marcel sedang duduk di depan ember dan mencuci gaun Shirley menggunakan kedua tangannya. “Makanan sisanya saya buang di mana ...?”Marcel menoleh ke arah Nana dan menyahut, “Biar aku yang urus, Bi. Anak-anak Bibi jangan lupa disuruh makan.”“Baik, Pak.” Nana
“Kamu serius?” Venya mengenakan masker dan mendekati Marcel yang sedang berbaring di atas meja praktek yang sudah dibersihkan. “Aku tidak bisa menjamin reaksinya akan bagaimana ... Kenapa kita tidak menggunakan tikus atau sejenisnya?”Marcel menatap langit-langit di atasnya sambil berpikir.Beberapa waktu yang lalu dia memang telah menawarkan dirinya kepada Venya untuk menjadi kelinci percobaan dalam uji coba mereka.“Ide bagus,” ucap Marcel. “Setiap formula yang kita hasilkan harus diuji coba ke manusia dan hewan, dari situ barulah kita tahu perbedaannya.”Venya mengangguk dan segera mengambil sebuah tabung berisi cairan berwarna hijau terang dan meminumkannya beberapa tetes ke mulut Marcel.“Bagaimana rasanya?” tanya Venya hati-hati setelah Marcel menelan cairan hijau itu. “Apa yang kamu rasakan, mual? Perasaan ingin muntah ... atau apa?”Marcel mencecap cairan itu, dia merasakan sensasi pahit selama beberapa detik. Setelahnya tidak ada yang dia rasakan selain hambar seperti a
“Ayah sama ibu akan ke luar kota selama satu minggu!”“Oh ya? Menyenangkan sekali!”“Hidupku bebas, telepon Kak Ronnie! Minta dia untuk cepat pulang ....”“Kita bisa bikin pesta selama tiga hari tiga malam!”Suasana dapur sudah riuh ketika Marcel muncul untuk membantu Nana menyiapkan makanan.“Ayah liburan sama ibu atau apa?” tanya Alvon ingin tahu.“Entahlah, siapa peduli sih? Yang penting kan kita bisa bebas ngapain saja di rumah!” jawab Ciko segera. “Pasti seru kalau kita bikin pesta ....”“Jangan ngawur, aku justru mau menggunakan momen sepi ini untuk menonton film fiksi ilmiah.” Alvon menyela. “Pesta membuat rumah ini jadi berisik dan aku tidak terlalu suka.”“Kamu bisa di kamar, kunci pintu dan nonton sepuas kamu.” Ciko menyarankan. “Aku jamin tidak akan ada yang mengganggumu!”Sementara kakak-kakaknya berdebat, Shirley lebih memilih untuk bermain ponsel dan tidak ikut serta dalam pembicaraan.“Cel, mana makanannya!” teriak Ciko tidak sabar. “Lelet sekali kamu!”“Iya,