Share

7 Orang Tua Kamu Gagal Total

Setelah Ciko puas mempermalukannya di depan Nana, Marcel pergi ke lab dengan perut kosong karena dia tidak ingin menyantap apa pun yang diberikan keluarga Delvino lagi.

Venya baru saja selesai membersihkan tubuh Meru ketika Marcel muncul.

“Kamu dan ayahmu makannya bagaimana?” tanya Marcel ingin tahu. “Kamu betah-betah saja tinggal di sini? Apa perlu tempatnya dibersihkan dulu ....?”

“Tidak usah, justru lebih baik seperti ini biar anggota keluarga Delvino tidak ada yang berminat masuk ke lab ini.” Venya menggeleng tidak setuju. “Yang penting ada tempat untuk aku dan ayahku tidur ....”

Marcel mengangkat bahu dan tidak memaksa.

“Ngomong-ngomong soal makan tadi bagaimana?” ulang Marcel ingin tahu.

“Tenang saja, kami ada formula yang kalau diminum bisa menimbulkan sensasi kenyang selama dua-tiga hari ke depan.” Venya menjelaskan.

“Kamu serius?” Marcel terbelalak. “Bagaimana bisa seperti itu?”

Venya menarik napas dan menyahut, “Mau bagaimana lagi ... kami harus hidup serba hemat setelah lab ini berhenti beroperasi, Pak Herman menghentikan aliran dana—lalu ayahku sakit seperti ini ....”

Marcel lantas berpikir keras tentang apa saja yang ingin dia lakukan hari ini.

“Aku ada uang sedikit,” kata Marcel, dia ingat tentang sebagian uang yang telah dia ambil kemarin. “Kamu dan ayahmu biasa makan apa? Kamu bisa beli dengan uang ini.”

Venya tertegun ketika Marcel mengeluarkan beberapa lembar uang di hadapannya. “Ini, belilah makanan untuk kamu dan ayahmu.”

“Tapi ....”

“Tidak apa-apa, pakai saja. Kalian berdua tetap harus makan,” ucap Marcel. “Aku tahu betul bagaimana rasanya hidup kelaparan.”

“Tapi kamu tinggal bersama keluarga Delvino,” sahut Venya dengan kening berkerut. “Kamu tidak akan kurang suatu apa pun.”

Marcel tersenyum miris.

“Kamu tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana kehidupan di dalam sana terasa seperti neraka,” katanya terus terang. “Setiap hari aku hanya diizinkan makan hidangan sisa, dan baru kali ini aku memiliki sedikit uang untuk bisa membeli apa pun yang aku mau.”

Venya ternganga, tidak menyangka jika keluarga Delvino tidak hanya serakah, tapi juga kikir.

“Kalau begitu aku akan beli makanan!” kata Venya sembari menerima uang yang diberikan Marcel. “Aku titip ayahku sebentar ....”

“Maaf merepotkanmu,” ujar Marcel. “Ini karena istriku tahunya aku bantu-bantu di rumah untuk membayar utang, jadi bisa gawat kalau dia lihat aku keluar rumah tanpa izin.”

Venya mengangguk mengerti.

“Jangan sampai kamu terlihat oleh mereka,” pesan Marcel. “Jadi kamu harus hati-hati!”

“Tenang saja, ada pintu lain di lab ini.” Venya memberi tahu seraya mengambil mantel yang ada di lantai. “Ayah, aku pergi sebentar. Jangan merepotkan Marcel ....”

Meru tidak menjawab, melainkan hanya duduk dan menatap ke arah langit-langit.

Begitu Venya menyelinap pergi melalui bagian belakang lab, Marcel berjongkok di dekat Meru dan menatapnya lurus-lurus.

“Pak Meru, apa Anda ingat pernah kerja sama dengan orang tua saya?” tanya Marcel mencoba membuka obrolan. “Saya ingin lab ini beroperasi kembali, bagaimana menurut Anda?”

Meru tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia menyimak dengan baik apa yang Marcel ucapkan.

Meskipun begitu, Marcel tidak mempermasalahkannya.

“Pasti menyenangkan berada di sini, ya?” komentar Marcel sambil berdiri dan berjalan ke arah lemari kaca yang usang.

“Penelitian yang membuat kita merasa menjadi diri kita sendiri,” sambung Marcel dengan pandangan menerawang, teringat kembali dengan momen di masa lalu ketika orang tuanya masih aktif bekerja di lab ini.

Dia tidak pernah tahu apa yang dilakukan orang tuanya sehari-hari di lab ini, karena saat itu dirinya fokus kuliah demi meraih pendidikan yang lebih baik.

***

“Apakah kamu jadi melanjutkan penelitian orang tua kamu?” tanya Herman ketika dia berpapasan dengan Marcel di pertengahan tangga.

“Aku ... itu masih dalam rencana, Yah!” Marcel mengubah keterangannya di tengah-tengah. “Karena aku pikir, apa yang Ayah katakan dulu betul ... Meneruskan penelitian itu membutuhkan dana yang tidak sedikit, sedangkan aku hanyalah lulusan bisnis—ditambah lagi aku harus mencari orang yang kompeten untuk membantuku memahami penelitian itu.”

Herman menatap Marcel dengan sorot mata yang tidak terbaca.

“Berarti kamu sudah tahu kalau hal itu nyaris tidak mungkin untuk dilakukan, bukan?” komentar Herman seraya memandang sang menantu.

“Mungkin Ayah benar,” sahut Marcel diiringi helaan napas berat. “Belum lagi alat-alat di lab itu kemungkin juga sudah rusak karena jarang digunakan ... tapi aku akan mencoba cari sponsor yang mau mendanai penelitian lanjutan ini!”

Herman tersenyum samar.

“Apa kamu yakin?”

Marcel mengangguk kuat-kuat.

“Aku akan berusaha, Yah!” Dia menyahut. “Aku tetap ingin melanjutkan apa yang sudah orang tuaku mulai ... Sekaligus untuk mencicil ganti rugi yang mereka timbulkan terhadap keluarga Ayah.”

Herman tidak dapat lagi menahan senyumnya.

“Kamu yakin sekali seolah penelitian itu akan menghasilkan sesuatu yang mengejutkan,” komentar Herman lagi. “Kamu sepertinya lupa kalau orang tua kamu telah gagal total dalam penelitian mereka sendiri.”

Marcel mengerjabkan kedua matanya.

“Aku paham, Yah. Tapi setidaknya aku ingin tetap mencoba,” tegas Marcel. “Bukankah keringatku saja tidak akan cukup banyak untuk bisa membayar seluruh ganti rugi yang Ayah alami?”

Herman mengangkat tangannya.

“Terserah kamu, yang jelas kamu ingat semua yang saya katakan sebelumnya kan?” Dia menatap Marcel lurus-lurus. “Saya tidak mau lagi keluar uang sepeser pun untuk mendanai penelitian kamu ....”

“Aku mengerti, Yah.” Marcel mengangguk. “Tapi aku minta tolong sama Ayah untuk tidak mengizinkan Kak Ronnie dan yang lainnya masuk ke lab itu.”

Herman mengangkat bahu.

“Mereka tidak akan tertarik dengan tempat kotor kumuh dan penuh debu seperti lab kamu itu,” katanya terus terang, setelah itu dia melanjutkan langkahnya dan meninggalkan Marcel sendiri.

Tidak ingin menyerah sebelum memulai, Marcel bertekad untuk tetap melanjutkan penelitian orang tuanya.

Hari itu aktivitas di rumah keluarga Delvino berlangsung seperti biasanya, Marcel tetap membantu menyajikan sarapan di dapur dan menyingkir ketika seluruh anggota keluarga sudah berada di meja makan.

“Ini ada sedikit roti, Pak Marcel bisa makan dulu.” Nana berbisik sambil menyelipkan sepotong roti bolu ke tangan Marcel ketika dia berpapasan dengannya di pintu dapur.

“Terima kasih, Bi.” Marcel mengangguk tanpa suara dan meneruskan langkah ke arah tempat cuci pakaian yang dipisahkan oleh pintu kaca yang bisa digeser.

Dia duduk, kemudian menyantap roti itu dengan lahap.

Anehnya, dalam sekejap saja Marcel sudah merasa perutnya kenyang seakan dia menyantap satu porsi nasi dengan lauk lengkap.

Seperti biasa begitu Herman dan istrinya menyingkir dari dapur, suasana akan berubah tegang karena Ronnie memimpin adik-adiknya untuk memaksa Marcel menghabiskan makanan sisa mereka yang tertinggal di piring-piring.

“Cel, makan!” teriak Ciko.

“Jangan teriak ke telingaku!” sergah Alvon sambil menutupi indera pendengarannya.

Ciko tertawa ketika Marcel muncul dengan wajah waspada.

“Aku tidak ingin makan,” kata Marcel. “Tidak apa-apa kalau kalian tidak mau memberiku makan ....”

Ciko melirik kakak pertamanya dan berkata, “Harus kita hukum apa nih?”

Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status