Nadina dengan cepat berlari menuju Aminah yang terlah meringkuk di lantai, ia segera bersimpuh dan memeriksa Aminah yang tampak sesak napas itu. “Umi, apa yang terjadi, Umi? Kenapa umi seperti ini?” pekik Nadina tampak amat khawatir. Aminah tak mampu membalas dan hanya bisa memandang wajah menantunya itu. Nadina tak bisa menunggu lebih lama, ia bangkit kembali lalu berteriak sekencang yang ia bisa. “Abi!! Mas Nadhif!! Siapapun tolong!!!” teriak Nadina sambil terus melirik ke arah Aminah yang amat kesakitan itu. Tak ada yang menyahut. Saat itu, dalem memang tak ada orang, Nadhif dan Ali pun memutuskan untuk pergi dari dalem usai membiarkan Nadina bertemu dengan Aminah tadi. Nadina kembali ke dalam kamar dan merangkul Aminah kembut. “Umi, maafkan Nadina. Nadina tidak bisa memanggil orang lain. Kita berjalan ke mobil saja ya, Umi! Kita ke rumah sakit sekarang!” pekik Nadina lalu langsung berusaha membantu Aminah untuk berdiri. Dengan cukup sempoyongan dan kesulitan, keduanya berja
Nadina akhirnya menurut untuk melaksanakan titah sang umi. Meskipun dengan ribuan tanya di enaknya, akhirnya ia berhasil meminta sang suami dan abi untuk kembali ke pondok dengan susah payah. Kini Nadina duduk di brankar sebelah Aminah sambil menundukkan pandangannya, sesekali ia melirik ke arah Aminah yang mendongak ke atas. Nadina tampak hendak sesekali mengajak sang umi berbincang, namun rasa takutnya lebih besar dan mengalahkan keinginannya yang satu itu. Hingga akhirnya seorang perawat datang dan membawakan sebuah nampan berisi makanan untuk Aminah. “Umi mau makan sekarang? Akan Nadina suapi,” tutur Nadina bangkit sembari tersenyum ke pada sang umi sebisanya. “Umi akan makan sendiri, kamu bantu letakkan makanannya di ranjang saja!” ketus Aminah. Kini wanita paruh baya itu dengan susah payah berusaha mengangkat sendok yang telah berisi makanan itu ke arah mulutnya. Tangannya sedikit bergetar dan membuat Nadina sedikit merasa cemas hingga tak bisa mengalihkan pandangannya dar
Nadhif mengerutkan dahinya mendengar apa yang Azalea tuturkan sementara sudut matanya menangkap sebuah mobil yang melenggang pergi dari sisinya. “Apa lagi yang kau rencanakan Azalea? Tidak bisakah kau berhenti merusak pernikahan kami?” celetuk Nadhif. “Tidak bisa! Setidaknya sampai Aza menjadi istri mas atau tak membiarkan siapapun memiliki mas!” bisik Azalea. “Berhenti memanggil saya dengan kata itu, Azalea! Saya haramkan itu untukmu!” Azalea tampak menghembuskan napas sinis sembari melipat tangannya di depan dada dan menatap Nadhif dengab wajah menantang. “Biarlah, Mas Sayang! Hitung-hitung pemanasan sebelum kita melakukannya setiap hari esok usai pernikahan kita! Mas harus mulai terbiasa mendengar Aza memanggil seperti ini,” ujar Azalea dengan cenderung memanjakan suaranya. “Istigfar, Aza! Kau sangat menjijikkan!” pekik Nadhif lalu berlalu pergi dari sana. Hari berganti malam, seorang santriwati tampak membawa sebuah tas kecil yang berisi pakaian ganti untuk Aminah dan Nadin
Sepanjang malam itu, Aminah memikirkan foto yang ia temukan dari tas milik Azalea. Ia juga sesekali memikirkan Nadina yang mesti ada di depan sana kedinginan tanpa selimut sementara pakaiannya tadi sedikit basah akibat tumpahan minuman yang ia lakukan. Aminah menoleh ke arah Azalea yang tampak telah tertidur beberapa saat lalu meninggalkan dia sendiri. Setelah banyak memikirkan sesuatu, Aminah akhirnya memutuskan untuk membangunkan Azalea. “Pulanglah, Sayang! Umi akan pulang besok dan kamu mesti sehat untuk itu. Pukang dan tidurlah dengan nyaman di ranjangmu. Biar Nadina yang mengurus Umi!” tutur Aminah. “Ehm– umi yakin? Aza takut jika umi akan stress melihat Mbak Nadina nanti,” ujsr Azalea dengan sedikit nada sinis. “Tidak, Aza! Pulanglah dan panggil ia kemari,” ujar Aminah. Singkat cerita akhirnya Azalea pulang kembali ke pondok dan Nadian tang menemani Aminah di dalam kamarnya. Tak ada pembicaraan yang penting, Aminah tampak terus memandang ke atas sambil sesekali melirik Nad
Nadina mendongakkan kepalanya menghadap ke arah Sadewa yang kini juga tengah menatapnya. Saat kedua mata itu saking bertemu, Nadina dengan segera mengalihkan pandangannya. “Nadina tidak bisa ikut dengan Mas Dewa, akan ada banyak masalah yang nanti muncul ketika seseorang melihat kita bersama nanti,” lirih Nadina. “Lalu kamu hendak pergi ke mana Nadina? Ke pondok itu? Bukankah mertuamu telah secara tidak langsung mengusirmu? Apa kau akan datang untuk penghinaan yang nantinya akan kamu dapatkan?” sahut Sadewa. “Nadina tidak akan ke pondok untuk saat ini, tetapi Nadina juga tidak bisa pergi bersama Mas Dewa. Nadina minta maaf, tetapi terima kasih untuk tawarannya!” Nadina bangkit dari bangkunya lalu sedikit menunduk sebagai salam perpisahannya. Wanita itu kini berjalan meninggalkan Sadewa. Wajah Sadewa tampak mengeras ia dengan cepat mengambil ponselnya lalu mengirimkan sebuah pesan kepada seorang suruhannya. [Rencana B!] Nadina tengah berdiri di depan rumah sakit sambil menunggu s
Sementara itu, Nadhif yang telah berada di pondok terus berusaha menelepon sang istri yang sampai sekarang belum ia temui semenjak semalam. Ponselnya mati dan tak sama sekali ada tanda-tanda bahwa wanita itu menerima panggilannya. “Nadina belum mengangkat teleponnya, Nadhif?” tanya Ali yang tiba di sebelah Nadhif dan baru keluar sari kamar Aminah itu. “Belum, Abi! Perasaan Nadhif jadi campur aduk. Tidak mungkin Nadina sengaja pergi bukan? Nadhif juga menelepon rumah sakit dan mengatakan Nadina tak ada di kamar umi. Nadhif harus bagaimana Abi?” tanya Nadhif dengan tatapan cemas. “Coba hubungi Abi Ghafi siapa tahu ia berada di sana. Setelah itu temui umimu dulu, ia terus meminta abi untuk memanggilmu ke dalam.” Nadhif mengangguk sembari menekan nomor telepon Ghafi. [“Assalamualaikum, Nadhif! Apa kabar? Semuanya baik?”] Suara Ghafi terdengar dari seberang. “Waalaikumsalam, Abi! Sebenarnya ada yang ingin Nadhif tanyakan. Apa Nadina pergi ke sana? Nadhif tidak bisa menghubungi ponseln
Di tengah hujan hari itu, Nadhif mendatangi salah satu apartemen tengah kota dan menanyakan keberadaan Sadewa. Namun jawaban yang ia harapkan datang bersamaan dengan jawaban yang tak ia harapkan. “Untuk saat ini Bapak Arif Sadewa sedang tidak ada di tempat. Beliau sudah meninggalkan apartemen pukul enam pagi tadi. Adakah yang ingin bapak titipkan untuk kami sampaikan kepada beliau?” ujar sang resepsionis. “Tidak ada, terima kasih!” Nadhif langsung membalik tubuhnya dan menghubungi nomor Sadewa. Seperti yang ia duga, nomor itu tak lagi aktif. Sama seperti milik Nadina, pemuda itu sepertinya tak menerima panggilan telepon darinya. “Ya Allah, ujian apa lagi ini? Kenapa sulit sekali membangun rumah yang nyaman untuk kami?” ujar Nadhif. Tak berhenti di sana, Nadhif akhirnya mendatangi kantor Sadewa dimana pemuda itu mendirikan grup fotografernya. Namun hasil yang ia dapat sama saja. Seluruh warga kantor Sadewa malah tampak tak melihat batang hidung pemuda itu sejak dua hari yang lalu.
Nadhif cukup terkejut dengan apa yang kini berada di depan matanya, begitupun Aminah yang mendengarkan pasal keributan itu akhirnya pun keluar dari kamarnya. “Nadina!” pekik Nadhif langsung menghadang Sadewa dan mulai hendak mengambil alih sang istri dari pemuda itu. “Apa yang kau lakukan padanya, Sadewa!” pekik Nadhif kini menatap tajam mata Sadewa. “Apa yang kau pikirkan, Nadhif? Kau selalu membuatnya sakit hati, aku menemukannya, dan apa selain itu? Kami melakukannya bersama, mungkin dia kelelahan karenanyalah dia pingsan!” pekik Sadewa sembari membaringkan Nadina ke sofa ruang tamu dalem. Tak menunggu hal lain, usai Sadewa melepaskan tubuh Nadina, dengan kuat Nadhif menarik kerah pakaian Sadewa hingga pemuda di hadapannya itu sedikit terjingkat. “Dengarkan aku baik-baik, Sadewa!! Jaga bicaramu! Jika tak bisa menjaganya tak usah bicara sedikitpun terlebih terkait istriku! Atau aku tak akan melewatkan sedikitpun sesi untuk memukulimu!” bisik Nadhif ketus. “Terserah maumu, Nadh