“Nadina, bangun, Nadina!” bisik Nadhif sembari sedikit mengelus rambut yang menutup wajah istrinya itu.“Nadina, sebentar lagi subuh, ayo bangun!” imbuhnya lagi saat tak melihat istrinya berusaha bangun dari rasa kantuknya itu.“Kenapa dia susah bangun kali ini? Biasanya alarm saja sudah bisa membangunkannya?” gumam Nadhif lalu meraih gelas minuman yang ada di nakas sebelah ranjangnya.Sambil menuangkan sedikit air itu ke telapak tangannya, Nadhif mengucapkan basmalah. Kini ia memercikkan air itu berulang kali ke wajah Nadina.“Mas, jangan!” teriak Nadina lalu langsung membuka matanya lebar-lebar. Nadhif yang terkejut atas apa yang terjadi pada Nadina segera mengembalikan gelas ke atas nakas dan memegang kedua bahu Nadina sambil memandangnya cemas.“Nadina, ada apa?” tanya Nadhif.Tak ada balasan yang keluar dari mulut Nadina, namun sejak mata mereka saling bertemu pandang, Nadina langsung memeluk Nadhif erat.“Nadina mimpi buruk. Tolong peluk Nadina sebentar saja,” ujar Nadina masih
Nadhif menghentikan langkahnya kembali meskipun tampak membalik tubuhnya lagi. Sementara itu, Putri Azalea tampak menyusulnya dan mendekatinya. Nadhif segera memundurkan dirinya dan membuat Putri Azalea merasa sedikit asing. “Apakah Abi dan Umi ada di dalem? Bolehkah Aza menemui mereka?” “Silakan saja, Aza! Sepertinya mereka ada di dalem saat ini.” Nadhif benar-benar mencoba menjaga jaraknya. Setiap kali pemuda itu melihat atau mendengar Azalea berbicara, ingatannya selalu memutar apa yang dua santriwati itu katakan mengenai Putri Azalea dan perasaan wanita itu kepadanya. “Bolehkah mengantar Aza ke sana, Gus? Aza sedikit canggung karena lama tak datang kemari! Gus tenang saja, ini tidak akan menimbulkan fitnah!” pekik Aza. “Lebih baik urus kedatanganmu dulu, Aza. Baru setelahnya kamu bisa datang menemui Abi dan Umi di dalem. Lagi pula barang-barangmu itu belum menemukan tempat yang pas bukan? Datanglah saja nanti, kamu tidak perlu terlalu asing.” “Maafkan saya, Aza! Ada keperluan
“Waalaikumsalam,” jawab Azalea sedikit lirih. Wajahnya benar-benar tak bisa bohong. Ia benar-benar terkejut melihat apa yang ada di hadapannya saat itu.“Wanita itu? Bukankah ia yang kutemui di kantor umum tadi? Mengapa Gus Nadhif berani menyentuh tangannya? Apakah ia saudara Gus?” tanya Azalea dalam hatinya.Nadhif dan Nadina tampak semakin dekat hingga keduanya berhenti di tengah ruangan itu bersama Ali, Aminah, juga Azalea.“Putri Azalea, ada yang ingin saya kenalkan kepadamu,” ujar Nadhif lalu tangannya tampak merangkul mesra Nadina dan sedikit mengelusnya.Tampang Azalea semakin kebingungan, kerutan pada dahi, mata yang menyipit jelas menunjukkan kebingungannya saat itu.“Nadina Hafisa Rahmi, istri saya, Aza!” pekik Nadhif.Bagaikan tersabar petir di siang bolong, Putri Azalea membulatkan matanya. Ia benar-benar tak menyangka pengakuan itu keluar dari mulut pemuda yang selama ini menjadi pemilik hatinya itu.“I–istri?” lirih Azalea tampak kaku.“Ayo duduk dulu, lebih baik berbinc
Nadina menurunkan teh itu di meja tepat di hadapan Ali, Aminah, Azalea, juga suaminya, Nadhif. “Mengapa hanya empat cangkir, Nadina? Ke mana milikmu?” tanya Aminah mendongakkan wajahnya memandang sang menantu. “Ehm, Nadina hendak pamit umi. Ada sesuatu yang harus Nadina kerjakan di kantor umum. Kalian lanjutkan saja bersama, Mas Nadhif juga akan tetap di sini kok! Iya ‘kan, Mas?” Nadina menoleh ke arah Nadhif. Dengan jelas Nadhif mengerutkan keningnya, pemuda itu mulai menelisik tatapan sang istri padanya. “Apa?” lirih Nadhif tanpa bersuara. “Mas di sini saja dulu menemani Abi dan Umi, Nadina pamit ke kantor umum dulu, ada pekerjaan yang belum Nadina selesaikan semalam,” tutur Nadina sambil sebentar memundurkan dirinya. “Assalamualaikum!” pekik Nadina lalu berbalik meninggalkan sang suami juga dengan keluarganya dan Azalea yang masih berada di sana. “Apa-apaan ini Nadina? Kenapa tiba-tiba kamu pergi seperti ini?” batin Nadhif sembari memandang ke arah kepergian Nadina. Pembicar
Nadhif mengerutkan dahinya lalu Nadina menunjukkan map yang berisi surat tersebut.“Kita bisa mengganti tanggalnya, Nadina! Tidak harus tanggal itu bukan? Atau kita minta jadwal lain pada Meydina untuk pemotretanmu!” tutur Nadhif cepat.“Tidak bisa, Mas! Abi sendiri yang memilih tanggal ini untuk acara itu, sementara Nadina tidak bisa langsung mengajukan perubahan jadwal. Nadina baru di sana, Mas. Akan sangat tidak profesional nanti,” tutur Nadina.Tangan Nadhif perlahan menyentuh punggung tangan sang istri lalu mengelusnya sebentar sembari menatap mata Nadina dalam-dalam.“Kalau begitu biarkan pemuda lain yang menjadi pembawa acaranya,” ujar Nadhif.“Mas Nadhif tidak boleh egois seperti itu! Ayolah, Mas. Ini hanya satu hari saja! Biasanya Mas Nadhif juga menjadi pembawa acara tanpa Nadina bukan?” ujar Nadina sambil tersenyum dan membalas mengelus tangan sang suami.“Tapi itu sebelum saya memilikimu, Nadina. Sekarang saya telah memiliki kamu. Semestinya kamu yang menemani saya, atau s
Nadina kini saling berpandangan dengan Sadewa saat keduanya menunduk agar tak terlihat pada kaca mobil depan oleh orang yang berada di luar mobil. “Siapa yang datang, Nadina?” bisik Sadewa. “Santriwati yang ada di pondok. Nadina takut dia melihat Nadina di sini dan mengadu pada Mas Nadhif. Tolong bersembunyi dulu,” ujar Nadina. “Bagaimana jika aku membawamu pergi dari sini? Dia tak akan curiga nanti,” ujar Sadewa. “Jangan! Nadina tak bisa meninggalkan pondok lebih jauh dari pada ini. Akan panjang urusannya jika sampai Mas Nadhif tahu nanti! Biarkan wanita itu pergi dulu,” tutur Nadina sambil berusaha mengintip. Sementara Nadina memantau luar melalu kaca depan dengan sedikit mendongakkan kepalanya, Sadewa malah asik mengamati wajah Nadina. “Kenapa saya baru menyadari kecantikan wajahmu, Nadina? Andai saya bisa bertemu denganmu sebelum dirimu menjadi milik pemuda lain, pasti tidak akan sesulit ini. Tapi aku janji akan mengeluarkanmu dari tempat yang tak kau sukai ini, Nadina!” bat
Nadhif berdiri di dekat pintu dengan segenggam balon berwarna biru bercampur merah muda bening yang tampak estetik digenggamnya. Wajah Nadina jelas menunjukkan ia amat terkejut atas apa yang ia lihat. Kebohongan yang ia buat untuk menutupi kesalahannya kini semakin membuatnya merasa bersalah. Nadhif berjalan ke arahnya dengan senyuman tulus di wajahnya, pemuda itu menyodorkan segenggam balon itu kepada Nadina. “Jangan mengejarnya di jalan lagi, ya! Saya bawakan untukmu!” tutur Nadhif sambil menatap Nadina dalam tanpa kedipan. “Mas? Mas tidak perlu seperti ini,” lirih Nadina terdengar gemetar. Nadhif segera duduk di sebelah Nadina dan mengelus punggung tangan sang istri sembari meletakkan balon itu di sebelahnya. “Selama keinginanmu bisa saya penuhi, saya janji akan saya penuhi sebaik mungkin, Nadina. Jangan ragu untuk memintanya kepada suamimu. Itu akan menjadi sebagian usaha saya untuk memuliakanmu sebagai seorang istri yang saya cintai,” tutur Nadhif. Tak ada yang Nadina bisa
Beralih pada kediaman Sadewa, pemuda itu tampak terkejut dengan penuturan yang Nadina berikan. Wajahnya dengan cepat mengerut tajam. “Apa yang kamu maksud Nadina? Suamimu tidak melakukan hal buruk bukan? Kamu dipaksa mengatakan hal ini? Katakan Nadina, saya yang akan melindungimu!” pekik Sadewa. [“Mas, Mas Nadhif tidak melakukan apapun yang menyakiti, Nadina. Semua ini datang dari keinginan Nadina sendiri. Mas Dewa mau membantu Nadina bukan?”] tutur Nadina dari seberang. “Tapi, Nadina! Jangan memaksakan cinta dan dirimu padanya jika memang kau tak mencintainya. Cinta itu bukan paksaan!” [“Tidak ada hal yang pantas untukku mengeluh sebagai istrinya, Mas! Selama ini Nadina selalu kalah dengan ego Nadina sendiri. Nadina terus menyakiti dan mengkhianatinya sementara Mas Nadhif selalu memuliakan Nadina. Ini tidak adil untuknya, Mas.”] [“Jadi mulai saat ini, Nadina akan membatasi pertemuan dan komunikasi kita. Jika memang ada hal yang Mas Dewa perlu katakan, Mas Dewa bisa menyampaikan