Ketika piring kotor tinggal satu, tanpa sengaja tangan mereka menuju pada piring yang sama. Membuatnya saling menatap heran.
"Kalian sedang apa?"
Mereka yang awalnya saling berpandangan itu, serentak menengok ke belakang. Pada sosok berwajah penuh tanya, menatap dengan pandangan menyelidik.
Mentari dan Cakra segera menguasai dirinya masing-masing. Sementara Cakra menghela nafas berat, mengumpulkan kekuatan untuk menjawabnya.
"Maaf, Mas. Kami tadi sedang membersihkan dapur, tidak ada yang kami kerjakan selain mencuci piring kotor," Suara Cakra dibuat sehalus mungkin untuk menghormati Kakak iparnya, yang mungkin saja hendak salah paham. Terlihat dari tatapan menusuk, pria beranak satu itu sudah pasti mengira yang tidak-tidak.
"Ah, sayang," Mentari mendekati suaminya, lantas mengalungkan kedua tangan pada leher Bima yang masih bergeming. Wanita itu bergelayut manja.
"Aku tadi sedang mencuci piring di
Siang ini, Cakra baru saja pulang dari sekolah. Langkahnya tergesa-gesa, menuju kamar temen istrinya berada. Di sana, Mega duduk di sofa, tempat biasa Cakra menjalani tidur malamnya. Gadis itu sedang asyik dengan gawai di tangan. TV yang terpasang pada sisi ruangan depan ranjang juga menyala. Ia tak menyadari ketika suaminya masuk."Mega?" Cakra menyapa sambil melepas tas ransel dan menggantungnya di dekat gantungan baju. Ia mendekati Mega, duduk di sebelahnya.Tak ada kata terucap dari gadis itu setelah lirikannya tadi. Mungkin masih marah dengan suaminya. Hanya sesekali melirik, ketika Cakra mencuri pandang ke arahnya. Dan kembali membuang muka, ketika tatapan mata mereka ternyata bertemu.Mega akan kembali tertunduk menatap layar pipinya, tentunya dengan rona merah di sepasang pipi. Hal itu, membuat Cakra menggeleng sambil terkekeh dalam hati. Menyadari betapa besar gengsi yang dipunyai seorang Mega.Cakra berdiri
Sudah adakah cinta untukku? _Seperti biasa, ketika malam tiba, seluruh anggota keluarga pak moko berkumpul mengelilingi meja makan besar. Aneka makanan terhidang di sana. Acara makan malam itu, selain untuk makan bersama juga untuk saling bercurah keluh kesah. Tentunya selain Cakra. Hingga saat ini, sepertinya ia belum mendapatkan tempat di hari bapak dan ibu mertuanya.Malam ini, ada yang berbeda dari raut wajah mentari, sejak beberapa hari yang lalu. Sejak wanita itu hendak berbuat jahat pada Cakra, lalu terhalang oleh Mega. Perubahan wajah mentari itu, hanya Cakra yang bisa memahaminya. Tanpa ada siapapun di keluarga itu yang tahu, selain mega tentunya."Pak, Buk," Cakra membuka percakapan yang sejak tadi belum terdengar. Semua orang menoleh, termasuk Mega yang duduk disebelahnya."Saya mau minta ijin, sebulan lagi akan mengikuti tes CPNS di luar kota," Ucap Cakra agak ragu."Apa? Tes PNS? Emang kamu sepintar
Langkahnya gontai mendekati sang istri yang sudah menunggu tak sabar. Tangannya terulur memperlihatkan secarik kertas bertuliskan catatan hasilnya tadi."Aku minta maaf," Ucapnya lirih, disertai tatapan sendu penuh penyesalan. Sementara itu, Mega yang sudah menunggu dengan harap cemas seperti mendapatkan jawaban sendiri dari pertanyaan bersarang dalam benaknya.Namun, perempuan itu tetap berjalan mendekati suaminya dan bertanya, "ada apa?" Padahal dalam hati ia telah memiliki firasat."Maaf. Aku, aku gagal," Suara Cakra bergetar, ia menghempaskan badan di sebelah istrinya.Ia takut. Bukan takut karena gagal jadi pegawai negeri lantas tak memiliki uang banyak. Namun, takut karena jika hidupnya belum berubah, maka lima tahun yang akan datang harus berpisah dengan Mega. Wanita pertama yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya. Meski dengan cara paksaan, tetapi ternyata rasa cinta itu muncul dengan seiring berjalannya waktu.&nb
Mereka berdiri tertegun di depan pintu rumah saat hari telah gelap, dan tak ada seorang pun berada di luar. Ketukan pintu yang dilakukan beberapa kali, menggiring seseorang berjalan membukakan pintu untuk mereka berdua.Wajah yang muncul sangat datar, menatap penuh selidik sambil menyedekapkan kedua tangan."Apa hasil yang kamu bawa pulang?" Sosok itu bertanya sinis. Membuat kedua orang yang baru datang berpandangan sejenak, lalu serentak menundukkan wajah."Kenapa diam? Kamu gagal, kan?" Dengan entengnya bu moko bertanya demikian. Seperti kompetisi itu bisa dengan mudah di rebut kejuaraanya."Maaf, Buk. Saya masih belum bisa memberikan yang terbaik," Jawaban cakt akhirnya."Sudah ku duga. Kamu itu orangnya bodoh, sok-sokan mau ikut seleksi segala!" Selorohnya sambil berkacak pinggang."Ada apa sih, Buk? Sudah malam begini kok ribut-ribut?" Tiba-tiba Pak Moko muncul dari dalam rumah. Mendadak Cakra
"Kemana suamimu?" Sang Ibu tiba-tiba masuk tanpa permisi, membuat Mega terkejut bukan main. Mata garang itu langsung tertuju pada sosok yang masih tertidur pulas di balik selimut."Bangunkan dia!" Perintahnya pada Mega yang kemudian membelalak sambil menggeleng cepat. Tentu saja ia tak berani mengganggu tidur sang suami, yang jelas-jelas terlalu kelelahan itu."Cepat, bangunkan dia, Mega!""Tapi, Buk .... ""Nggak ada tapi-tapian. Cepat, bangunkan dia, atau aku siram dia pake air bekas cucian!""Tidak perlu, Ibuk."Keduanya menoleh serentak. Begitupun sang ibu yang baru saja usai dari teriakan melengking di pagi hari ini."Ibuk tidak perlu memerintah dengan berteriak seperti itu pada Mega. Kasihan dia, buk. Ibuk paham kan, bagaimana kondisinya selama ini?" Cakra berkata dengan tenang. Sambil beranjak dari atas ranjang, mendekati mereka berdua yang kebingungan. Sejak kapan ia bangun? Mungkin itu ya
Cakra terkesiap ketika mendengar gawainya berdering. Nama pak Hendra terpampang di layar lima inchi itu, hatinya sempat berdebar sebelum menjawab telepon darinya."Iya, Pak?""Pak Cakra, besok anda bisa ke sekolah, kan? Ada hal penting yang harus kita bicarakan. Terkait dengan beberapa kali kali anda tidak masuk tanpa ijin," Suara dari seberang ujung telepon membuatnya tersentak. Baru menyadari bahwa ia tak masuk hari ini, tanpa ada pemberitahuan sama sekali pada pihak sekolah."Iya, Pak. Besok saya akan masuk, maaf jika hari ini saya tidak ijin dulu. Karena ada aktivitas mendadak yang tidak bisa ditinggalkan," Ia berkilah.Ketika sambungan telepon telah terputus, ia lemparkan gawai itu ke atas sofa hingga terpental beberapa kali. Mega yang melihatnya langsung berdiri, hendak mendekatinya meski ada rasa ragu. Ragu bila sikapnya kini malah akan memancing kemarahan suaminya."Mas?" Ia menyapa. Pertama kalinya memanggil C
Siang ini, Cakra pulang dari sekolah dengan keadaan hati gundah gulana. Setelah hampir setahun lamanya, sejak peringatan oleh pak Hendra waktu itu, kali ini ia benar-benar diberhentikan oleh pihak sekolah. Memang selama itu, ia tak bisa berubah lebih baik.Hampir tiap mingu Bu Moko menuntut Cakra dengan pekerjaan yang tiada habisnya. Hingga ia terpaksa harus lagi-lagi membolos dari tanggung jawabnya di sekolah, sebagai seorang guru. Meskipun beberapa kali ia katakan, tetapi mertuanya yang menghiraukan sama sekali.Tak terasa, perjalanan menuju rumah telah tiba. Pada siang menjelang sore ini, setelah memarkir kendaraan bututnya di garasi, ia duduk lunglai di depan pintu. Ragu, untuk segera masuk rumah. Bagaimana menjelaskan semuanya pada Mega? Itulah yang ia risaukan saat ini."Mas?" Ia menoleh, tiba-tiba orang yang ada dalam pikiran berada di ambang pintu."Mega?" Suaranya gugup, ekor matanya mengikuti langkah sang is
Kalimat tajam yang diucapkan oleh Bima itu rasanya tetap membekas dalam ingatan Cakra, hingga ia berada di kamar bersama istrinya saat ini. Wajahnya kini mengarah pada jendela kaca dengan pandangan hampa, hingga lamunannya terpecah karena ada notifikasi pesan dari gawai di tangan.[Pak Cakra. Ada rekrutmen CPNS lagi tahun ini, ikut lagi ya, pak?] pesan dari Bu Nur, beserta file PDF terkirim di bawahnya.Cakra menghembuskan nafas kasar, hingga Mega yang berada di pinggir ranjang menatap penuh tanya ke arahnya. Sebenarnya, ini yang ia tunggu. Ada kesempatan lagi untuk ikut berkompetisi, tetapi entah mengapa kali ini semangatnya kurang membaik. Tak seperti tahun lalu.[Saya pikirkan dulu, Bu,] hanya itu balasan yang ia kirimkan untuk Bu Nur, melalui aplikasi hijau dari gawainya. Semenjak bukan lagi menjadi bagian dari keluarga besar SMP itu, hanya Bu Nur lah satu-satunya rekan guru yang masih bersikap baik seperti sebelumnya.