Share

Menantu Yang Selalu Salah
Menantu Yang Selalu Salah
Author: IrmaSuda_87

Salahkah Aku Beristrikan Orang Kaya

"Perempuan itu harus pandai masak!"

"Jadi seorang istri harus bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan cekatan, jangan klemak-klemek!"

"Masa, beli baju harganya sampai 500 ribu, itu mubazir namanya!"

Masih ku ingat beberapa deretan kata-kata ibu untuk Arumi istriku dalam sebulan ini.

Ada saja yang dilakukan Arumi salah dimata ibu. Dia yang tidak jago memasaklah, tak gesit dalam pekerjaan rumahtanggalah, bahkan dia yang belanja barang mahal menurut ibu. Padahal istriku belanja dengan uangnya sendiri, tabungan dari hasil dia bekerja ketika masih gadis. Apalagi uang saku dari papanya dulu sebelum dia menikah juga sangat banyak dan tersimpan dalam tabungannya. Banyak bagiku, tapi standar bagi mereka. Karena mertuaku memang orang mampu dan berada. Lebih tepatnya keluarga kaya. Jauh dari ekonomi keluarga kami.

Aku Raga, seorang lelaki yang beruntung. Punya istri baik dan mertua baik yang mau menerimaku dari keluarga sederhana sedang mereka kaya raya.

Asal anaknya bahagia, aku suaminya setia dan bertanggung jawab cukup sudah bagi mereka. Karena Bapak mertuaku pernah mendapat petuah dari Ayah beliau--kakek Arumi--bahwa jangan pernah memandang orang dari harta karena kakek Arumi dulu juga orang biasa, karena doa, keuletan dan tekad serta tanggung jawablah yang bisa membuatnya sukses bahkan sampai mewariskan usaha keanak cucu seperti sekarang, ditambah dengan Bapak mertua yang memang ulet hingga membuatnya makin sukses dan berjaya. Itulah mengapa dia tidak memandang menantunya dari materi.

Baginya kekayaan juga bukan syarat seorang lelaki mempersunting anaknya. Apalagi dia melihat Arumi sangat bahagia bersamaku.

***

Baru tiga bulan ini kubawa Arumi tinggal di rumah Ibu. Atas permintaan beliau juga kami tinggal di sini. Ketika ibu mendengar aku pindah tugas di daerah kelahiranku ini.

Sebagai wujud bakti aku tidak mau membantah karena alasan jauh dari tempat kerja, walau rumah Ibu dan tempat kerja cukup jauh. Jarak dari tempatku bekerja hampir satu jam. Jadi, meskipun memakan waktu agak lama masih bisa ku tempuh dari rumah Ibu pulang pergi setiap hari.

Arumi memang istri yang baik dan penurut. Tidak masalah baginya dimana saja asal bersamaku.

Wanita yang sangat ku cintai itu juga menantu yang pandai membawa diri menurutku, tapi tidak bagi ibu.

Meskipun Arumi yang sudah berusaha belajar memasak selama menikah denganku, padahal selama gadis ada bibik yang mengurus semuanya. Dia yang berusaha belajar mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, padahal masa sebelum menikah tak pernah menyentuh karena semua itu urusan pembantu.

Selama dua bulan awal semua baik-baik saja, karena mungkin ibu lagi rindu-rindunya berkumpul dengan kami berdua. Menginjak bulan ketiga, mulai ada gesekan-gesekan kecil antara metua dan menantu itu.

Ibu mulai mengomentari tentang yang Arumi lakukan. Arumi hanya bisa diam. Karena dia memang kuat menghormati ibuku dan juga tak suka cari gara-gara. Apalagi dengan mertua sendiri.

Tak pernah sekalipun dia menjawab kekesalan ibu. Juga tak pernah mengadu padaku. Kalau hatinya sakit dengan ucapan ibu, dia hanya menangis. Walaupun dia tak pernah mengadu, tapi aku suaminya tetap tahu apa yang ia rasakan. Aku tahu istriku orangnya sangat peka. Apalagi Ibu orangnya ceplas-ceplos. Arumi hanya bisa terdiam, dan kadang tak sengaja ku lihat dia mengusap air matanya.

Hal yang menurutku wajar saja karena Arumi tak biasa, baru belajar dan beradaptasi. Namun, tidak bagi ibuku.

Punya menantu orang kaya yang tak biasa memasak, tak gesit dan lihai mengerjakan pekerjaan rumah tangga bagi ibuku itu salah dan beliau tak mau memaklumi itu.

Dulu, waktu ibu datang menginap di rumah kami, ke kota asal istriku. Wanita yang telah melahirkan ku itu oke-oke saja dengan semua yang dilakukan Arumi. Melihat cara Arumi mengerjakan pekerjaan rumah, melihat Arumi memasak. Ibu tidak pernah berkomentar, tapi entah kenapa? setelah kami tinggal dengan ibu. Bagi ibu semua itu salah.

Ibu tidak terima dengan kebiasaan Arumi yang sudah biasa hidup enak di bawa ke rumah kami.

Hingga kemarin terulang lagi Arumi beli baju harga 300 ribu menjadi bahan omelan ibu. Padahal Arumi selain untuk dirinya juga membeli untuk ibu dan sekali lagi aku katakan dia belanja bukan dengan uangku, suaminya. Bahkan bagi Arumi 300 ribu itu sudah sangat murah karena dia sudah menyesuaikan diri untuk hidup sederhana.

Namun, masih sangat salah bagi Ibu. Entah kenapa ibu seperti sangat tidak suka padanya sekarang.

Aku bingung sebagai suami dan sebagai anak. Pernah ku katakan pada ibu. Kalau Arumi sudah berusaha menyesuaikan diri untuk hidup sederhana standar ibu. Dan sedang menyesuaikan diri dan belajar piawai dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Namun, ibu masih tidak terima.

***

Dan pada malam ini ketika ibu duduk di dapur lagi makan cemilan yang Arumi buat tadi sore.

"Apaan ini? gak enak!" Ucapan ibu sambil ngunyah kue dari singkong yang Arumi buat.

"Buuu--" ucapku pelan.

"Kenapa? kan emang iya."

"Hargailah usahanya buat nyenangin Ibu, kan Ibu yang minta di bikin lepat singkong tadi."

"Dasar, bikin lepat aja gak bisa!"

"Arumi kan lagi belajar Bu, ini kan kue tradisional daerah kita, di rumahnya dulu mana pernah ada beginian."

"Halah, gak usah kamu bela istrimu, nanti kebiasaan!"

"Bukan ngebela,Bu. Apa juga yang mau dibela, karena menurutku gak ada yang salah."

"Gak salah gimana? Ibu usia dia sudah lihai mengurus pekerjaan rumah tangga, apalagi cuma bikin beginian"

"Bedalah Bu," tukasku pada Ibu.

"Beda apanya?! kan sama semuanya ... sama punya tangan! sama punya kaki! sama-sama punya otak buat mikir!" Terdengar jelas ada penekanan pada intonasi ibu mengucapkan kata otak.

Astaghfirullahal'ajiim. Aku bingung pada Ibu, pada jalan pikiran beliau, pada pendapatnya ini kali ini.

Aku diam saja bingung bagaimana lagi cara agar ibu memaklumi menantu yang memang dari kalangan jauh di atas kami itu.

"Kenapa diam, lagi cari kalimat yang pas buat bela istrimu? Buat memujinya di hadapan ibu? Lagi cari Kata-kata pembelaan untuknya lagi!"

"Gak Bu, bukan gitu." Masih dengan suara pelan.

"Kenapa? kamu mau jadi anak durhaka karena selalu membela istrimu daripada Ibu!" jawaban ibu berapi-api.

Sia-sia saja ku rasa berusaha berbicara dari hati ke hati padanya. Malah sepertinya wanita yang paling ku hormati itu semakin membenci Arumi karena pembicaraan kami ini.

Kalau sudah begini percuma saja aku yang berusaha membuat beliau memaklumi dan mengerti kalau tidak semua orang sama, apalagi dari latar kehidupan yang berbeda, ekonomi yang berbeda dan dalam hal ini sangat jauh berbeda. Antara hidup kami dan hidup istriku dan keluarganya, beda kasta. Dia terlahir dari orang berada, dari orok dia sudah biasa hidup enak semua di layani.

Baru setahun ini dia berumah tangga denganku. Berusaha membiasakan diri mengikuti penghasilan aku suaminya.

Berusaha belajar mengerjakan pekerjaan rumah semua sendiri. Dan apa salahnya kalau dia masih belum lihai dan tak secekatan ibu di usianya dulu? Tak ku ungkapkan pada ibu tentang ini. Karena hanya bikin panas hati ibu saja.

"Arumiii! Kamu senang, hah! sudah buat aku dan anakku berdebat gara-gara kamu! membuat Raga melawan padaku! Sebelum menikahi kamu tak pernah dia melawan barang sedikit pun!" Ibu lantang mengucapkan kalimat itu.

Padahal Arumi sedang membaca novel di ruang tamu. Aku takut Arumi mendengar karena memang rumah kami ini tidak besar, walaupun Arumi mendengar dia pasti akan bersikap biasa, tapi tentu hatinya akan sakit. Aku jadi kasian pada istriku.

Ibuku beranjak dari dapur menuju ruang tamu. Tiba-tiba.

Bug...

Terdengar sesuatu jatuh di ruang tamu, aku bergegas ke dalam dan aku terkejut dengan apa yang ku lihat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status