"Baik, Nona," jawab Haneul dengan tangan kanan mendekap di dada dan badan membungkuk.Dengan gemulai, Yeona mengambil tas branded yang ada di sudut meja. Wanita itu beranjak lalu mendekati pemuda yang kini tengah memandangnya.Tangan Yeona di sambut oleh Haneul, mereka berjalan bergandengan bak pasangan yang sangat romantis.* * *Lampu remang-remang dan musik klasik yang di putar pegawai kafe membuat suasana menjadi romantis.Banyak meja kosong, namun, yang di pilih Yeona, meja yang berada di sudut ruangan. Meja bulat yang berisi empat kursi berhadapan, Yeona dan Haneul duduk di satu sisi berhadapan.Tidak lama mereka duduk, seorang waiters menghampiri meja meraka. "Selamat malam, Mas, Tante, mau pesan apa?" Tanya seorang wanita yang berdiri dengan tangan memegang buku berukuran kecil bersiap untuk mencatat."Yeo, kamu pesan apa?""Pasta, sama kopi. Aku sudah lama enggak minum kopi, kangen," ucap Yeona sambil tersenyum.Waiters mencatat apa yang di pesan oleh Yeona, wanita itu menata
"Sayang, dengarkan mama. Papa kamu dulu meninggal karena kecelakaan waktu kamu belum lahir.""Jadi, papa belum lihat Emil?"Yeona menggelengkan kepala sambil tersenyum memandang putranya. Wanita itu memegang tangan mungil putranya lalu berkata, "Sayang, kalau papa barunya, Om Haneul, mau?""Enggak mau," sahut Emilio tegas sambil memandang mamanya."Kenapa?""Om Han, itu sudah jadi teman untuk Emil, Ma. Masa' mau di jadikan ayah sih?""Memangnya kenapa?""Ma, kalau mama menikah dengan Om ganteng, mau?" Tanya Emilio mendongak ke atas menatap mamanya."Om ganteng? Siapa?" "Ada deh, besok Emil kenalkan dengan om ganteng ke mama. Oke?"Emilio berdiri di ranjang, bocah itu memeluk ibunya dengan erat. Wajah semringah tergambar di wajahnya ketika melihat sang mama menganggukkan kepala.Emilio mengambil sebuah bantal berwarna putih lalu dia merebahkan kepalanya di sana.Dreett ...Dreett ...Yeona mengambil gawai ysng bergetar di meja rias lalu menjawab panggilan."Halo, Han? Ada apa?""Aku m
“Ma, tadi di sekolah semua teman-teman menyebutkan nama Papanya,” mulut mungil itu mulai berbicara saat sedang menyantap makan siang. Yeona menatapnya dan menyikapinya dengan tenang, dia mengambil sebuah tisu lalu mengelap bagian area mulutnya. “Lalu?” “Aku tidak tahu siapa Papaku dan aku tidak tahu di mana dia sekarang,” jawab Emilio dengan nada datar. Yeona tersenyum, dia memegang gawainya lalu mengirim pesan kepada seseorang di sana. [Carikan nama Dareen, di pemakaman umum. Aku dan Emilio akan ke sana,] pesan di kirim pada, Haneul, teman yang setia menemaninya saat ini. “Habiskan makannya, nanti kita ke tempat, Papa,” ujar Yeona sambil menopang dagu menunggu putranya makan siang. “Bener, Ma?” mata sipit keturunan dari Korea Selatan itu melebar. Terpancar di matanya berharap ingin bertemu seorang Papa karna dari bayi dia belum mencium aroma, Papa. Dengan lahap Emilio menyantap makanan. Di meja makan yang penuh dengan lauk pauk komplit beserta sayur, Emilio lebih memilih makan
Asih—wanita paruh baya yang bekerja sebagai pembantu di rumah suaminya dulu. Karna penasaran secepatnya Yeona membalik badan untuk melihatnya lagi. Tapi wanita itu sudah tidak terlihat. Yeona celingukan, dia berjalan sampai ke tepi jalan. Melihat kanan kiri tapi wanita itu tidak terlihat. Yeona kembali masuk ke kafe, untuk bertemu dengan Haneul. Yeona celingukan mencari Haneul, keduanya melambaikan tangan saat sama-sama melihat. Haneul—pria berambut ikal sebahu, dia memiliki karakter yang masa bodo, tidak peduli kata orang yang penting senang. Dia bar-bar, suka sembarangan dalam berpakaian. Dia tidak pernah memedulikan penampilan karna yang dia cari adalah kenyamanan. Dengan luesnya Yeona berjalan, semua mata tertuju padanya. Termasuk Haneul, sahabatnya. “Hei, sudah lama, ya?” tanya Yeona sambil duduk di kursi. “Belum, baru juga kok,” sahut Haneul sambil mengangkat tangan saat pelayan kafe memandangnya. Pelayan kafe mendatangi meja mereka dengan membawa sebuah buku dan pulpen.
“Tidak salah lagi, maksudnya. Ya, masihlah, Ye, masih jauh dari nyawa ini,” ceplos Haneul seenak jidat. Yeona menghela nafas yang beberapa menit telah tertahan di dada. Yeona mendengus kesal lalu konsentrasi lagi menghadap ke depan. “Ye, sebenarnya perempuan tua ini siapa?” Tanya Haneul saat mobil berhenti di lampu merah. “Dia, pembantu di rumah suamiku dulu,” sahut Yeona sekilas memandang ke belakang. “Oh,” ucap Haneul singkat. Sejak belakangan ini jika Yeona berbicara tentang suami, nafas Haneul menjadi sesak. Dari situlah Haneul yakin kalau dia sudah kenal dengan cinta sesungguhnya. * * * Mobil Yeona terparkir tepat di teras ruang ICU, tim medis dengan cepat membawa hospital bad mengarah pada mobil Yeona. Yeona membuka pintu, Haneul mengangkat punggung Asih. Di bantu dengan dua tim medis, akhirnya Asih kini sudah terbaring di hospital bad. Asih di bawa tim medis untuk di rawat. “Han, Aku masuk dulu, ya, isi formulir dulu,” ucap Yeona memandang Haneul. Haneul mengangguk. Ye
“Maaa, Mamaaa ...,” Suara Dareen terdengar sampai ke dalam kamar. Yeona semringah setelah mendengar suaminya pulang, dengan bahagia dia berlari ke arah pintu lalu membukanya. Seketika bibir Yeona mengerut setelah melihat Dareen menggandeng, Arshinta, sahabatnya. Yeona terpaku di depan pintu. Dareen dan Arshinta menatap Yeona. Arshinta malah memeluk lengan Dareen sebelah kiri. Arshinta—wanita tinggi semampai, berambut lurus nan panjang sepinggang, bodi yang melingkuk bagai gitar spanyol, membuat Dareen tergoda. “Apa maksud kalian?” Sentak Yeona lirih. “Aku hamil anak, Dareen, dan kami akan segera menikah,” sahut Arshinta tersenyum sinis menatap Yeona. Yeona terpaku menatap mereka, pandangannya kabur terganggu oleh air mata yang menggenang di kelopak mata. Tangan Arshinta beralih merangkul pinggang Dareen, dia memanjakan diri dengan menempelkan kepalanya ke pundak Dareen. Pemandangan itu membuat amarah Yeona menyala-nyala. “Dasar kamu pelakor!” sentak Yeona berjalan cepat menuju
Kusuma beranjak, mengejar langkah putra bungsunya sampai ke depan pintu kamarnya. “Han! Haneul!” Panggil Kusuma sambil mengetuk pintu. Kusuma membuka hendel pintu, ternyata tidak di kunci. Kusuma melihat Haneul sedang duduk di tepi ranjang dengan kedua tangan menyangga kepala. “Han, kamu kenapa? Calon kakak ipar kamu datang kok malah masuk ke dalam kamar, itu nggak baik, Nak,” ucap Kusuma memandang Haneul dengan tangan memegang pundak Haneul sebelah kanan. “Ma! Apa Mama percaya kalau itu pacar, Erlangga?” Ucap Haneul dengan suara keras. “Maksudnya?” tanya Kusuma tak mengerti. Haneul beranjak dari duduknya, dia berdiri membelakangi Kusuma, lalu memandangnya. “Ma! Dengar sendiri tadi ‘kan? Jawaban mereka itu nggak ada yang benar,” sahut Haneul kesal. Kusuma terdiam sambil berpikir. Dia menyeka rambut ke belakang telinga lalu beranjak dari duduknya. “Han! Biarkan mereka berakting dulu. Mama yakin lama kelamaan mereka bakal ada rasa yang sesungguhnya,” ucap Kusuma lalu meninggalka
“Halo, selamat pagi, Bu,” sapa Yeona gugup. “Pagi, Ye, saya hari ini tidak ke kantor. Kamu tunda jika ada pertemuan hari ini, juga rekap semua berkas yang ada di meja kami, ya. Tadi saya sudah suruh staf untuk meletakkan di meja kamu, ada kan?” “Mh-ad-ada, Bu,” sahut Yeona terbata-bata. Dia terpaksa berbohong bahwa dia sudah ada di kantor untuk menyelamatkan dirinya pagi ini. * * * Di perjalanan dia merasa ada yang aneh di area mulut. Dia memicingkan mata saat teringat bahwa dia belum menggosok gigi. “Bu, kelihatannya Den Emil akrab, ya, dengan Mas Han,” ucap Erina memandang bos wanitanya. Yeona hanya mengangguk mengingat dia belum menggosok gigi. “Bu, itu gedungnya mau di buat swalayan, loh, ibu temannya, Den Emil yang bilang kemarin,” ucap Erina sambil tersenyum dan sekilas memandang ke arah gedung bertingkat 4. Yeona mengangguk lagi tanpa berkata. Erina merasa bersalah, dia diam sambil memperhatikan Nyonyanya diam saja seperti ada masalah. Yeona menurunkan Erina di sekolah