Setahun kemudian.Udara sore hari sangat cerah. Bambang mengajak anak-anak dan istrinya bersepeda keliling perumahan tempat mereka tinggal. Kakinya yang kini pincang tidak menyurutkan semangatnya untuk selalu menghadirkan kebahagiaan dan senyum anak istrinya. Bambang menaiki sepeda lipat bewarna abu-abu yang memiliki duduk boncengan di belakangnya dan diberi sandaran penyangga. Risti juga menggunakan sepeda lipat bewarna merah, yang juga memiliki duduk boncengan. Mereka sengaja membeli sepeda seperti itu agar dapat membawa si kembar bersepeda keliling kompleks perumahan. Tawa riang balita kembar mampu mengisi hari-hari mereka lebih bewarna.“Main di lapangan, yuk, Pa!" ajak Risti yang masih mengayuh sepeda mendekati sebuah taman di dalam perumahannya.“Ayo!” Bambang juga ikut mengarahkan kayuhannya menuju taman tersebut. Sudah banyak anak-anak seusia si kembar sedang bermain bersama orang tua mereka. Lingkungan asri, bebas polusi, dan sangat jarang kendaraan bermotor melewati area ta
Dengan perasaan gembira, ia mulai menyusun pakaian yang akan dibawa. Sepertinya satu koper besar pakaian dia dan suami. Satunya lagi pakaian si kembar. Lala dan Lulu baru saja mengetahui bahwa abang dan kakak iparnya akan jalan-jalan, raut wajah mereka cemberut. Kenapa mereka tidak diajak? Risti dan Bambang memberi pengertian dan berjanji akan membawakan oleh-oleh yang banyak untuk keduanya. Akhirnya, saat ini Lala dan Lulu yang membereskan pakaian si kembar di dalam koper.“Ada ransel lama papa di dalam koper itu, Bun. Papa bawa itu aja!” Risti kemudian, membuka koper lama suaminya. Mencari ransel yang dimaksud."Ini, Pa? Udah butut begini, masih mau dipakai?" tanya Risti dengan nada tidak yakin. Ia mengangkat tas ransel tersebut dan menunjukkannya pada suaminya.“Eh, iya, ya. Udah jelek banget. Ya udah, buang, deh. Kayaknya sobek juga itu, Bun.”Risti memeriksa isi tas tersebut, di dalamnya ada dua buah kaos polos dan satu celana bahan bewarna hitam. Saat Risti melipatnya kembali,
Suara halus mesin mobil sedan keluaran terbaru memecah keheningan pagi di salah satu sudut ibu kota. Tepatnya, mobil tersebut baru saja keluar dari pelataran apartemen elite di kawasan Jakarta Selatan. Mobil melaju pelan, berbaur bersama kendaraan yang lain. Suara saling sahut klakson kendaraan begitu nyaring terdegar.Suasana cukup padat pada jam kerja, tidak menyurutkan niatnya untuk berangkat pagi ini ke kantor. Ada banyak masalah yang harus segera ia selesaikan, berkaitan dengan perusahaan ekspedisi dan properti yang saat ini dibawah naungannya. Sesekali wanita cantik itu melirik spion, memastikan riasannya sempurna untuk menjalani padatnya agenda hari ini. Ponselnya bahkan tidak berhenti berdering sepanjang perjalanan, ia hanya melirik sekilas, lalu mengabaikannya.Siapa, sih? Berisik! Gumamnya tanpa melirik ponsel yang berdering dari dalam tas merk H****S keluaran terbaru miliknya. Ia masih fokus menatap jalanan padat di depannya. Memberikan jalan bagi seorang lelaki muda pejal
Mata sayu itu mencoba dengan kesusahan membuka kelopaknya, seakan ada batu besar tertimbun di sana, berat dan menyakitkan. Tak hanya matanya yang terasa berat, namun seluruh tubuhnya menegang, urat sarafnya seakan hampir putus menahan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya, terutama di area intimnya. Sekali lagi, suaminya mendatanginya dalam keadaan mabuk dan berlaku kasar. "Yah, dalam keadaan mabuk dia baru akan menyentuhku, saat kesadarannya sempurna, maka melirikku pun seakan sangat menjijikkan." Mata sayu itu mengembun, bulir-bulir air bening menetes tanpa bisa ditahan. Entah kapan semua ini berakhir, karena ini saja baru dimulai.Di sinilah ia, Fani Fadillah menjadi seorang istri yang tak diinginkan suami, setiap ku membuka mata, ku berharap kepedihan ini hanyalah mimpi, namun takdir masih ingin menaungiku dengan air mata yang tak berkesudahan.Tuk!Tuk!Pintu kamar diketuk."Permisi Nyonya, ini saya Bik Ina, membawakan sarapan," suara bik Ina memanggil Fani dari balik pintu k
Dua pekan lagi, usia kehamilan Fani memasuki empat bulan. Rasa mual dan pusing yang dirasakannya di awal-awal kehamilan, saat ini perlahan berkurang. Makannya juga lebih berselera, apalagi sudah dua hari ini Munos keluar kota, begitu juga dengan Bu Sundari dan Pak Karim. Fani benar-benar merasa rileks dan tenang."Non Fani nanti siang mau makan apa, Non?" tanya Bik Ina saat menghampiri Fani yang tengah duduk di taman belakang."Mmm..makan apa ya Bik?" alisnya bertaut memikirkan menu apa yang kiranya menggugah selera makannya."Bibik bisa masak sambel goreng kentang hati sapi ga?" tanya Fani kemudian diikuti senyum hangatnya."Wahh, gampang itu mah Non, itu kan makanan kesukaan tuan muda Munos," jawab Bik Ina tanpa memperhatikan raut wajah Fani yang berubah sendu.Fani terdiam, seketika perutnya bergejolak dan bayangan sambal goreng kentang hati tadi pupus sudah. Tak sudi juga rasanya makan makanan kesukaan drakula labil itu."Oh gitu yaa..," sahut Fani malas."Baik Non, saya ke dapur
Seminggu sudah Fani tak sadarkan diri sejak insiden yang menimpanya. Fani bahkan kehilangan i kembar buah hatinya yang baru berumur hampir enam belas minggu. Kejadian mengenaskan yang menimpa Fani, membuat Bu Sundari dan pak Karim stres, bahkan bu Sundari harus dirawat empat hari di rumah sakit yang sama, karena serangan jantung. Hampir tak percaya mendengar ucapan dokter mengenai kondisi Fani saat dilarikan ke UGD.Flashback" Maaf, keluarga ibu Fani," panggil dokter memanggil. Bu Sundari dan Pak Karim masuk ke dalam ruangan yang tertutup tirai, sedangkan Munos berada di balik tirai dengan wajah pucat pasi dengan aksesoris lebam biru di pipi kanan dan kirinya, papanya telah memukulinya di rumah sakit, hingga babak bekur, jika tidak dipisahkan security tentu Munos bisa mati saat itu juga."Saya sebenarnya tidak tahu apa yang terjadi dengan anak ibu, yang jelas lebam bekas pukulan di tubuhnya cukup banyak, bibirnya juga harus dijahit, organ intimnya juga terlihat ..." dokter menarik na
"Sayang, kalau masih pusing ga usah ikut ke rumah sakit," ucap Bambang pada istrinya yang saat ini sedang bersiap-siap menjenguk Fani."Ga papa Mas, aku mau ikut, jujur aku sedih Fani dan Munos kehilangan calon bayi kembarnya," ujar Risti dengan tatapan sayu. Yah, kabar yang beredar adalah menantu keluarga Karim mengalami keguguran setelah terjatuh dari tangga, namun Bambang dan Fani masih kurang percaya dengan kabar yang beredar."Ya sudah, Mas tunggu di bawah ya, jangan kelamaan dandan, kalau terlalu cantik dandannya, bisa-bisa semua pasien rumah sakit nanti jatuh cinta sama kamu, Yang," goda Bambang sambil mengecup pipi istrinya."Siap Bos," jawab Risti membalas kecupan Bambang.Mereka sudah sampai di ruang perawatan Fani, setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam, tak ada tanda-tanda orang di dalamnya. Bambang membuka pintu, lalu masuk dengan perlahan, diikuti oleh Risti.Bambang dan Risti menatap miris kondisi Fani, masih terlihat bekas jahitan di pinggir bibir kanan dan kirin
Sebentar lagi, bis yang ditumpangi Fani memasuki area terminal Arjosari kota Malang. Suasana di luar tampak gelap karena memang hujan yang masih penuh semangat membasahi setiap inci sudut bumi. Padahal baru pukul tiga sore tapi sudah seperti pukul enam sore. Fani mengeluarkan secarik kertas tulisan tangan Risti, dari dalam tas ranselnya.[Mami Purwanti Jalan Bendungan Sutami (Kos-kosan Mami-Belakang kampus UMM) terminal Arjosari Kota Malang]Fani mengukir senyum di bibirnya, semua akan dia mulai dari sini. Hidup baru dengan semangat barunya. Setelah turun dari bis, Fani berjalan masih sedikit lemas, di pelataran terminal mencari warung makan, perutnya sudah keroncongan, rasanya sedikit mual, wajahnya juga masih terlihat pucat. Jahitan bekas kuretan masih begitu terasa. Matanya berbinar melihat warung makan yang tidak terlalu ramai, ia memasukinya lalu memesan makanan juga segelas teh manis hangat. Selesai mengisi perut dan tenaganya kembali, kini Fani menatap ke arah jalanan, hujan su