Angin datang saat teduh sudah hilang. Hembusannya menelusup ke sela tangan. Ada sejuk yang dirasakan. Sungguh dalam kenikmatan. Vania menggeliat. Menatap gunung yang menjulang sendirian. Gunung yang jauh dari gunung manapun. Gunung yang hanya dikelilingi oleh bukit-bukit kecil di kakinya. Mentari mengintip dari pundak gunung. Memberi Vania kehangatan dalam tubuhnya.
“Pagi..” sapa Sidik.
“Pagi.” Jawab Vania.
“Teh Raninya ada?” tanya Sidik.
“Ada. Masuk aja.” Vania mempersilahkan Sidik masuk.
“Emhh.. terimakasih, Teh.” Sidik mengangguk.
“Sama-sama.” Jawab Vania.
Vania kembali menatap gunung yang menjulang sendirian. Seakan disana ada dirinya sedang mendaki, menuju kemenangan. Kaki Vania berjingkat-jingkat seperti orang yang sedang melakukan pemanasan. Tangannya bertolak pinggang. Ia menghitung semua gerakannya dari satu sampai delapan dan terus mengulanginya. Ya. Ben
Vania menemukan hari dimana ia hanya bisa mengetuk mimpi dari pintu yang jauh. Vania tak menyesal tentang apa yang baru saja ia dapatkan. Tempat baru, kisah baru, dan rasa yang baru tentang kehidupan. Semua Vania nikmati dalam kesesakkan dadanya. Vania duduk di tengah-tengah majlis. Hatinya sedang merindukan sang ibu yang selalu membuatkan masakan untuknya di siang hari."Ma.. " Gumamnya dalam hati.Santriah lalu lalang di luar, ada yang bergegas mandi, ada yang membersihkan halaman majlis, ada yang mencuci piring, ada juga yang menuju warung untuk membeli makanan. Vania tak tergubris sedikitpun oleh ketuk kaki yang mungkin jika bagi orang lain, akan menjadi kekacauan. Hatinya dalam keteguhan rindu. Vania mulai meneteskan air mata di pipinya."Hei, kamu kenapa?" tanya seorang gadis berjilbab merah.Vania mengangkat kepalanya yang menunduk. Ia menghaous air matanya. Menatap mata gadis yang berbicara kepadanya
Sebulan telah berlalu. Vania merasa dirinya menemukan sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya. Vania kehilangan jati drinya sendiri. Ia berhenti sekolah. Pamannya sendiri tak mendaftarkan Vania untuk sekolah. Entah apa yang ada di pikiran David. Vania merasa dirinya kurang beruntung pindah ke tempat yang kini ia pijak. Vania terjatuh dalam tangisan yang seharusnya tak ia rasakan.“Sekarang sudah bukan jamannya lagi kalau anak seusia kamu tidak sekolah.” Kalimat itu terngiang di kepala Vania.Vania terlahir dari keluarga intelektual yang tinggi. Dirinya tak akan sebebas orang lain. Ia akan menjadi bahan pergunjingan jika ia berpacaran. Ia akan menjadi bahan pergunjingan jika ia melakukan kesalahan besar. Ia akan menjadi bahan pergunjingan jika ia melakukan keburukan. Vania akan menjadi orang yang paling hina di mata keluarga jika ia tidak melakukan apa yang menjadi kebanggaan keluarga besarnya.Dalam satu bulan itu pula Vania sangat berhati-hati me
Vania masih menatap langit dengan mata cokelatnya. Ia menyilangkan tangan di dadanya. Meratapi hari yang ia rasa tak pernah menjadi miliknya. Mentari masih mengganggunya dengan kehangatan yang lebih dari apa yang Vania minta. Pagi pergi perlahan. Meninggalkan gadis itu dalam kesendiriannya. Langit tak memberinya tanda apapun. Tentang kesetiaan, tentang pengkhianatan, bahkan tentang kejujuran.Vania duduk di teras depan. Membiarkan mengintipnya dari ujung pohon. Ia melamun.“Lagi apa, Van?” tanya Rani.“Lagi duduk, Om. Eh. Tan,” Ucap Vania gugup.“Duduk terus,” ucap Rani sambil berlalu menggendong anak bungsunya.Vania hanya tersenyum menanggapinya. Ia melihat ketuk kaki istri sang paman yang semakin tak beraturan langkahnya. Vania kembali memandang langit yang terlihat tenang. Dadanya bergemuruh, tak ia mengerti apakah artinya itu. Ia kemudian tertunduk. Vania masuk ke kamar. Membiarkan pagi tak menemaninya lagi.
Biasanya, Vania menatap atap kamar dengan tenang. Lambai lampu yang menyala membuatnya terus memperhatikannya. Namun, kini lain lagi yang ia lakukan. Atap kamar tak lagi ditatapnya. Kini, atap kamar itu berubah menjadi atap kehancuran. Vania menatap atap klinik dengan lekat. Tiada sarang laba-laba di sana. Sungguh, bersih sekali. Selain itu, warna putihnya tak terlihat putih, tapi menguning. Karena pandangannya luluh oleh rasa sakit."Om.." Vania melirik David yang tertidur di sampingnya.David tak terbangun juga. Ia tertidur dengan begitu pulasnya. Vania menatap ke arah lain. Ia begitu haus melihat air yang ada dalam botol di atas meja pasien. Namun, tak dapat Vania raih. Vania menyerah dengan menunggu David terbangun. Hingga di jam berikutnya, David terbangun mendapati Vania melek sendirian."Kenapa belum tidur?" tanya David yang baru saja terbangun. Ia mengucek matanya."Gak apa-apa, Om. Vania ingin minum." Ucapnya sambil berusaha untuk
Vania terbangun di sana. David mendapatinya sejak pukul tiga pagi. Mereka mengobrol kesana kemari. Sampai Vania terlihat cukup segar. Vania duduk dan minum. Sepertinya, ia cukup membaik"Om.." kata Vania."Kenapa?" tanya David."Kapan kita bisa pulang?" kata Vania sambil menunjukkan wajah sedihnya."Sebentar lagi kita bisa pulang, kamu mau makan dulu, sekarang?" kata David."Makan apa, Om?" tanya Vania."Roti mau enggak? Biar Om belikan." Ucap David."Boleh, Om." Vania tersenyum menatap pamannya."Sebentar, ya.. Om ke depan dulu beli roti." David mengusap-usap kening Vania.Vania mengangguk. Ia menunggu.David keluar klinik. Ia melihat lalu lalang kendaraan berjalan lancar. Ia mencari toko yang sudah buka. Hingga akhirnya pencariannya berlabuh di toko bercat hijau. Kaki David mengetuk lantainya. Ia melihat-lihat jajanan yang ada di rak dagangan. Ia mengambil 3 bungkus roti, 5 susu kotak rasa cokelat, dan satu pak kue marie untuk Va
Vania masih tertidur di tempat tidurnya. Dia bernafas degan berat. Rintik kecil mengetuk genting rumah David. Vania tak jua terbangun. Ponselnya terus bergetar membiarkan gerimis terdengar samar. Rani yang mendapati hal tersebut mengintip ke dalam kamar, lalu masuk. Ia memeriksa ponsel milik Vania. Namun, urung saat melihat Vania menggerakkan kepalanya."Tante.. mau minum." Kata Vania yang membuka matanya perlahan.Rani menoleh ke arah Vania. Tersenyum. Menyimpan kembali ponsel Vania. Lalu mengangguk. Rani beranjak keluar kamar dan kembali dengan membawakan segelas air putih yang masih hangat."Tante simpan di sini airnya, ya?" kata Rani."Iya, Tan, terimakasih." Ucap Vania."Sama-sama." Ucap Rani sambil meninggalkan Vania.Vania menatap punggung istri sang paman. Ia melihat hal lain di sana. Entah apa. Vania tidak mengerti dengan penglihatannya. Vania mengucek matanya. Ada kotoran di pelupuk kerinduannya.Dingin menyusut di hamparan di
Hari ini, rasanya keterlaluan sekali. Dinding lembab yang terbentang di sekeliling sisi kamar gadis itu tak membangunkan tidurnya. Aldy didapatinya sedang pergi dari percakapan sehari-harinya. Begitu pula Reno, ia pergi entah kemana. Tubuh Vania panas. Kulitnya putih pucat. Lalu Vania membuka matanya perlahan.Di pembaringannya, ia menatap atap kamar berubah menjadi gelap. Padahal, baru saja terlihat jelas oleh kedua matanya."Ada apa ini?" gumamnya dalam hati.Dunia sungguh gelap. Ia tak dapat melihat apa pun yang nampak di hadapannya. Vania memejamkan matanya sejenak dan membukanya kembali. Namun, hasilnya tetap sama. Ia mendapati alam yang tiada setitik pun cahaya di sana. Vania bingung dengan apa yang kini ia rasakan."Tuhan.." ia meneteskan air matanya.Pikirnya, ia buta. Ia mencoba memanggil David, Rani, dan yang lainnya. Namun, tiada satupun diantara mereka yang terpaut pada suara gadis yang sedang mengeluh. Vania kembali memanggil mereka.
Vania masih berbaring di klinik yang menjaganya. Ia tersudut oleh rasa sakit. Membuat hatinya lebih gundah dari biasanya. Vania merasa dirinya sangat terluka. Batinnya sedang sakit. Raganya pun terluka. Namun, tiada yang bisa dilakukannya. Ia tak berdaya melawan tantangan semesta."Van," seseorang memegang tangan Vania.Kedua mata Vania terbuka. Ia mendengar suara yang familiar dengan suara yang selalu terdengar. Senyumnya terlihat ramah. Vania berdebar melihatnya."Sudah enakan?" katanya lagi.Vania mengatakan dirinya baik-baik saja. Namun, hanya dengan senyuman. Dan ia mengangguk"Sudah makan?" ia bertanya lagi.Vania menggelengkan kepalanya."Makan, yuk?" ajaknya.Vania kembali menggeleng. Ia meneteskan cintanya di sudut mata itu."Kenapa? Kamu enggak mau sama aku?" tanyanya.Vania menangis tersedu di hadapan lelaki itu. Ia melihat bibir manis di wajah lelaki yang sedang ada di hadapannya. Matanya yang khas, membuat Va