"Ibu mau ikut juga?" tanya Aurora"Yaiyalah..""Maaf ya, bu. Kirain ibu udah tidur. Ibu gapapa keluar malam?""Ibu masih kuat, kok!" Bu Firah memaksakan diri dan langsung mengambil hijab yang ada di kursi. Lalu, ikut berjalan bersama anak dan menantunya untuk naik mobil. Sesampainya di depan mobil, Aurora membukakan pintu belakang untuk beliau. Bukannya diterima dengan senyum, Bu Firah justru memasang wajah ketus. Bahkan ketika baru saja Antony menyalakan mobil, celetukan Bu Firah keluar tanpa jeda. "Antony itu pinter, lho ra. Dalam beberapa bulan dia bisa adaptasi kerja di perusahaan sebesar itu.""Iya, alhamdulillaah. Saya juga bangga bu.""Makanya, kamu juga harusnya bisa imbangi Antony. Masa mau jalan ke mall aja kucel gitu?""Ekhem!" Antony menyela mereka. Beberapa kalimat pujian untuk Antony terus saja terdengar. Lagu yang diputar dlam mobil pun kalah oleh seruan memuji Antony. Ditengah-tengah percakapan, Bu Firah meminta Aurora untuk tukar posisi duduk. Ia ingin
"Ngapain chat segala, sih?" gumam Antony yang kesal. Ia membuka ponsel tersebut tanpa diketahui Aurora. Istrinya itu justru melepas genggamannya dan beralih memegang tangan Bu Firah. Sayang, pesan itu memang hanya dibaca tanpa membalasnya. Ia mencari genggaman tangan Aurora. Kini, kedua tangan Aurora dipegang sekaligus oleh suami dan mertuanya. Ia tersenyum tipis dan sesekali menatap ke arah mereka. Ada hal lucu yang menghiasi suasana menonton. Tangis Bu Firah terdengar cukup kencang karena menghayati jalannya cerita. Sontak membuat orang-orang di sekitarnya kaget. "Sabar bu, ini hanya film." Aurora melepas sejenak genggaman Antony. Ia memilih mengelus kepala mertuanya itu agar tenang. "Dia jahat banget, sih! Beraninya bawa pasukan, kalau lawan sendiri pasti dia ciut. Mana beraninya sma perempuan. Dasar cemen!""Ya ampun, ibu.." Antony menggelengkan kepala sambil memijat jidatnya sendiri. Selama hampir 2 jam lamanya, Bu Firah terus saja bergelut dengan perasaanya. Tang
"Maksud ibu apa, ini? Masa iya aku hamil?" Neira terus bertanya-tanya.Sayangnya, ia tak membalas pesan ibunya sama sekali. Meski sudah dibaca, Neira langsung mematikan ponsel sekaligus mematikan lampu untuk mengelabui ibunya bahwa ia sudah tidur. Sementara itu, ibunya mencoba mengetuk pintu beberapa kali. Beliau datang untuk mematstikan anaknya baik-baik saja. Sesekali ia mengintip ke arah jendela dimana kamar Neira masih terlihat sedikit terang dengan lamput tidurnya. "Ouh apa dia tadi mengigau ya? Hmm." Setelah melihat Neira sudah terlelap tidur sambil memeluk guling, beliau pergi. Tak ada lagi ketukan pintu yang terdengar beberapa kali. Ervin yang juga belum tidur hanya bisa mendengar suara mertuanya dari dalam kamar. Ia juga keheranan, kenapa mertuanya bisa menduga-duga anaknya hamil. Dalam benak Ervin, tak mungkin rasanya seorang wanita bisa hamil hanya melakukan satu kali berhubungan. Sambil mengubah posisi dari tidur menjai duduk, Ervin mulai berpikir keras.
"Kamu kenapa, sih? Makanya kalau jalan itu harus berdekatan. Jangan sok jual mahal gitu.""Siapa juga yang jual mahal. Kamu harus ngerti, Vin. Aku lagi sensi aja sama aroma kamu!""Halah, aneh banget. Udah, kasih tahu aku. Kamu lagi dimana sekarang?" Ervin terlihat cukup kesal. Ia baru saja sampai di depan pintu apartemen dan menyimpan beberapa barang lebih dulu. Sesekali ia menyeka keringat dan menatap area linkungan apartemen yang cukup sepi. Dalam perjalanannya menuju tempat Neira berada, ia juga menoleh ke beberapa pintu. Berharap bisa bertemu dengan sosok teman lama sekaligus manta pacarnya, Aurora. Sayang, lirikan itu tak cukup membuat matanya puas. Ponselnya berdering karena Neira yang terus saja memanggil. Tak langsung diangkat, Ervin mempercepat langkahnya untuk menemui Neira. "Hmm.. sabar dikit bisa kan, Nei?" Ervin menggerutu di hati kecilnya. Sementara itu, Aurora yang sedang duduk di salah satu area loby bersama Neira tampaknya sedang asyik ngobrol. Kedua
"Sebentar, kamu kok kelihatan pucat?""Biasa, mas. Gara-gara kurang minum kayanya. Belum lagi hari ini banyak kerjaan dan rapat terus. Menguras energi kan?""Oh, pantesan." Sekretarisnya mulai terkecoh. Antony menawarkan diri untuk mengantarkan wanita pujaannya itu pulang bareng. Tanpa penolakan, mereka pun pergi bareng dalam satu mobil. Sepanjang perjalanan jalan kaki menuju parkiran, kantor tempat Antony kerja itu sudah cukup gelap. Tersisa hanya beberapa petugas kebersihan dan satpam yang berjaga. Mereka mengucapkan salam kepada Antony dan sekretarisnya dengan hangat. "Baru pulang, pak?""Oh, iya pak." Setelah mereka pergi menaiki mobil, sisa petugas tadi berkumpul di pos. Mereka tampak semangat ngobrol dan mungkin sedang membicarakan Antony. Seolah tak peduli, Antony hanya fokus pada jalanan dan wanita yang duduk di sampingnya. Tangan wanita itu Antony pegang dan sesekali menciumnya. "Gak inget istri ya, pak?""Ingetlah..""Kalau ingat, harusnya dilepas dulu.""Heh
"Kenapa cemberut? Ayo jawab, Neira.""Aku pengen bareng aja. Aku kan bisa duduk di kursi paling belakang?" Neira menjawabnya sambil mengunyah kerupuk. Dengan jawaban sederhana itu, Ervin pun duduk. Padahal, ia sudah berpakaian rapih dan bergegas pergi ke kantor. Ia menunggu Neira makan sampai selesai. Dengan jarak kursi yang cukup jauh, Ervin tak bisa menahan tawa. Sesekali ia menoleh dan menetap istrinya. Saat ia ditatap balik, Ervin mengelak. Ia langsung membuka ponsel pura-pura mengetik pesan untuk seseorang. Kejadian lucu itu tak berlangsung lama. Hingga pada saatnya ia mulai kesal dan menatap jam tangan karena sudah menunjukkan pukul 8.20. Neira baru selesai makan."Aku mau mandi dulu, ya!""Gausah mandi, gapapa. Mending cuci muka saja. Kita udah kesiangan.""Serius? Aduh! Yaudah, cuci muka doang kok." Ervin kembali harus menunggu istrnya cuci muka dan ganti baju. Sambil menunggu, ia membuka grup rekan kerejanya. Beberapa diantara mereka sudah sampai di kantor.
"Perantau kok sok-soan tinggal di apartemen, sih!" gumam Aurora. Ia mencatat rincian alamat yang dibagikan wanita itu. Lalu, bergegas mandi dan merias wajah secantik mungkin lebih dari hari-hari biasanya. Tekad Aurora semakin kuat. Ia berjalan untuk turun ke lantai dasar apartemen. Disanalah, Aurora memesan taxi online tujuan apartemen tempat tinggal wanita yang merebut hati suaminya. Ia beberapa kali mondar-mandir menunggu taxi. Ia sudah tak sabar melihat dengan jelas wanita itu. Tanpa perlu menunggu lama, ternyata taxi datang 2 menit kemudian. Aurora masuk ke dalam mobil. Bukti-bukti perselingkuhan itu semakin jelas. "Kamu mau kemana, ra? Ibu sendirian disini.""Aku ada perlu dulu, bu. Mas Antony lagi butuh bantuan." Tak disangka, Bu Firah baru sadar menantunya tak ada di rumah. Padahal, Aurora mendapati dirinya sudah terlelap tidur di kamar. Beruntung, beliau bisa mengerti. Aurora bisa pergi dengan hati lapang. Fokusnya hanya tertuju pada kebenaran adanya wanita
"Udah nanti aja, Nei.""Aku tambah penasaran, Vin!""Nanti kita bahas kalau paket datang!" Ervin meninggikan nada bicara. Neira kaget bukan main. Ia menunduk dan memainkan buku yang ada di depannya. Ervin yang posisi duduknya memang jauh dari Neira, perlahan mendekat. Ia mencoba mengelus pundaknya untuk meminta maaf. Baru saja ia mendekat, Neira justru menutup hidung. Sadar dengan kode tersebut, Ervin kembali ke tempat semula. Untuk memulai pembicaraan, Ervin membuat segelas teh manis hangat. Dirinya menyempatkan diri ke dapur untuk mempersiapkan 2 gelas teh manis hangat. Lalu, ia bawa dan simpan di meja. Tentu saja, Ervin menawarkan istrinya itu untuk minum sambil menungu paket makanan itu datang. "Oh, makasi Vin.""Hmm.. aku mau nanya serius boleh ya?""Apa?" Ervin mulai membuka obrolan. Disela-sela setelah terdengar seruput teh yang diminum. Ervin mulai bertanya-tanya terkait pernikahan. Sampai detik ini, ia masih bingung dengan perasaan yang sebenarnya. Yang a